Jumat, 23 Desember 2016

Diyah Puspitarini : Perhatian Khusus Pada Masalah Perempuan dan Anak-Anak Melalui Nasyiatul Aisyiyah.


Pada akhir Agustus 2016, organisasi otonom Muhammadiyah, yakni Nasyiatul Aisyiyah, menggelar muktamarnya yang ke-13 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dalam momen tersebut, Diyah Puspitarini ditetapkan menjadi ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Nasyiatul Aisyiyah periode 2016-2020. Ia menggantikan ketua sebelumnya, Norma Sari, yang menjabat ketua umum sejak 2012. Setelah didaulat menjadi ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah, Diyah memiliki beberapa misi yang hendak diraihnya. Fokus utamanya adalah penyelesaian berbagai masalah yang berkaitan dengan anak-anak dan kaum perempuan. Menurutnya, hal tersebut merupakan dakwah yang terjewantah dalam bingkai gerakan sosial.

Diyah mengungkapkan, ia memang telah akrab cukup lama dengan dunia aktivis atau pergerakan, khususnya berafiliasi dengan Muhammadiyah. Dahulu, ayahnya, yakni Gunardi Guna Garjito, adalah seorang anggota Hisbul Wathan Muhammadiyah. Sedangkan ibunya, Sri Hartati, pernah menimba ilmu di Muallimat. Bekal pendidikan yang ditanamkannya adalah pendidikan agama. Tak ayal, dengan latar belakang keluarga demikian, Diyah, sedari kecil, sudah diajarkan tentang pemahaman agama. Sebelum masuk ke taman kanak-kanak, ayah dan ibunya menyekolahkannya dulu di taman pendidikan Alquran. Hal ini yang membuatnya memiliki bekal agama yang cukup hingga berakhirnya masa sekolah dasar.

Memasuki periode sekolah menengah pertama, Diyah mulai berlatih berorganisasi. Ia pernah aktif sebagai anggota Remasa Masjid al-Mujahidin, Wonosari, Yogyakarta. Menjelang berakhirnya masa sekolah menengah pertama, ayahnya mengajaknya untuk aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) daerah Yogyakarta. Awalnya, Diyah sama sekali kurang tertarik dan tak bersemangat bergabung dengan IRM. Tapi lama-kelamaan, setelah aktif menekuni kegiatan/program IRM, Diyah pun mulai menikmati. Ketika aktif di IRM, Diyah sempat mengisi beberapa posisi strategis. Antara lain, ketua Pengkajian Ilmu Pengetahuan Pengurus Wilayah IRM Yogyakarta, sekretaris bidang Studi Islam Pengurus Wilayah Yogyakarta, ketua Irmawati Pimpinan Pusat IRM, dan lainnya. Ketika IRM berubah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Diyah juga sempat menjadi ketua perkaderan PP IPM.

Pascapurna di IPM, otomatis Diyah pun mengalami transfer kader ke organisasi otonom, yakni Nasyiatul Aisyiyah. Tahun 2010, ia mulai aktif di PP Nasyiatul Aisyiyah menjadi anggota Departemen Kader. Ketika menjadi anggota Departemen Kader, ia terlibat dalam menginisiasi "Gerakan 1000 Ranting". Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara turun ke akar rumput, mendatangi pimpinan cabang atau ranting yang berada di sekitar Yogyakarta. Selain memperkuat basis, gerakan ini juga memberi manfaat lain, yakni diketahuinya masalah-masalah dan hambatan dalam berNasyiatul Aisyiyah. Selain itu, Diyah bersama rekan-rekannya di Departemen Kader PP Nasyiatul Aisyiyah juga rutin menggelar lokakarya berkenaan dengan proses perkaderan atau kaderisasi. Ia mengaku cukup mendapat banyak pengalaman ketika menjadi anggota Departemen Kader PP Nasyiatul Aisyiyah. Bahwa memikirkan dan memperbincangkan tentang kader dan persoalannya adalah sebuah nilai, integritas, serta kontribusi, sehingga perlu memikirkan dengan matang dan komprehensif. Yang pasti, menurutnya, dalam kaderisasi, yang utama adalah prosesnya, bukan hasil.

Pada 2012 hingga 2016, Diyah menjabat sebagai sekretaris PP Nasyiatul Aisyiyah. Ketika mengemban jabatan tersebut, terdapat beberapa hal yang ia kerjakan berkaitan dengan administrasi organisasi, baik ke dalam maupun ke luar. Ia juga menggarap data pokok Nasyiatul Aisyiyah, mulai dari pengurus ranting hingga pusat. Kemudian, pada Agustus 2016, Diyah terpilih menjadi ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah. Kendati telah menjadi ketua baru, Diyah tetap mempertahankan jargon utama PP Nasyiatul Aisyiyah ketika masih dijabat oleh Norma Sari, yaitu "gerakan sosial ramah perempuan dan anak". Dipertahankannya jargon tersebut, menurutnya, adalah untuk mempertegas bahwa Nasyiatul Aisyiyah sejatinya adalah sebuah gerakan sosial. Fokus utamanya adalan berperan aktif dalam memberi solusi atau menangani berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak-anak dan perempuan.


Diyah menerangkan, selama masa jabatannya, ada beberapa program yang akan menjadi concern utama Nasyiatul Aisyiyah. Antara lain, perihal perdagangan perempuan, kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi perempuan, pelayanan edukasi tentang kesehatan reproduksi, hingga kemandirian ekonomi melalui ekonomi kreatif. Selain itu, yang juga perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus adalah soal kejahatan seksual. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia pernah diguncang beberapa kasus kejahatan seksual, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Pada intinya, lanjut Diyah, perhatian khusus Nasyiatul Aisyiyah berangkat dari masalah-masalah negara yang berkaitan dengan perempuan dan anak-anak.

Diyah menilai, semua program atau kegiatan yang akan dilaksanakan Nasyiatul Aisyiyah sejatinya adalah sebuah wujud dakwah. Sebab jika yang dilakukan adalah mengajak kebaikan, maka korelasinya memang adalah dakwah. Ia juga ingin agar masyarakat Indonesia jangan sampai fobia dengan kata 'dakwah', sehingga terasa berat untuk melakukannya. Diyah menjelaskan, selama ini masyarakat memang kerap mengotak-ngotakkan antara dakwah dan gerakan sosial. Padahal, jika paradigma tersebut diubah, dalam konteks ini adalah bila menyelaraskan pengertian dakwah dengan sebuah gerakan sosial, hal itu bisa menjadi spirit tersendiri.

Jadi, menurutnya, dakwah tidak hanya sebatas di mimbar atau masjid saja, tapi juga aktif bergerak memberikan solusi sosial. Diyah pun yakin, bahwa Nabi Muhammad dan KH Ahmad Dahlan telah mencotohkan hal ini, bahwa masalah sosial yang dipecahkan, secara otomatis adalah rangkaian dalam dakwah. Ke depan, Diyah berharap, organisasi yang dipimpinnya dapat bekerja aktif serta bersinergi dengan beberapa lembaga lainnya, dalam menangani dan menuntaskan masalah-masalah perempuan dan anak-anak, serta juga bisa menjadi gerakan perempuan muda untuk kemandirian bangsa. 




Selasa, 06 Desember 2016

Shelfi Lailatul Latifah : Peduli Pendidikan Anak Jalanan Melalui Save Street Child.


Pada 23 Mei 2011 lalu, Shelfi Lailatul Latifah membuat akun Twitter bernama Save Street Child (SSC). Melalui akun tersebut, Shei, biasa akrab disapa, hendak mengajak masyarakat untuk memiliki kepedulian sosial terhadap anak-anak jalanan, khususnya perihal kondisi pendidikan mereka. Ajakan tersebut direspons cukup positif oleh publik hingga akhirnya SSC menjadi sebuah gerakan masif. Masyarakat berduyun-duyun berpartisipasi dalam gerakan SSC. Gerakan ini bahkan telah tersebar di sekitar 16 daerah di Indonesia.

Ketika menginisiasi gerakan SSC melalui jejaring sosial Twitter, Shei masih berkuliah di Universitas Paramadina, Jakarta. Pada awalnya, ia memang tidak memiliki niat untuk terjun dalam dunia gerakan semacam ini. Sebab, rutinitasnya sebagai mahasiswi sudah membuatnya cukup sibuk. Shei memang cukup aktif dalam berbagai kegiatan internal kampus. Misalnya, dia pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina. Tak pelak, hal tersebut cukup menyita waktunya. Namun, pada suatu malam, ketika dia dan beberapa temannya tengah menikmati waktu senggang di sebuah warung angkringan, terdapat dua anak perempuan berpakaian lusuh dan kumal di dekat warung tersebut. Mereka memang tidak mengganggu Shei dan teman-temannya. Melihat mereka, Shei merasa iba. Tak pikir lama, ia pun mengajak kedua anak perempuan berpakaian lusuh tadi untuk makan bersama dengannya di warung angkringan. Mereka pun makan dengan sangat lahap.

Shei mengatakan, dua anak perempuan yang diajaknya makan kala itu berusia sekitar 12 tahun. Namanya adalah Wati dan Lisa. Menurut Shei, ketika itu mereka memang terlihat sedikit teler, seperti di bawah pengaruh obat-obatan. Setelah pertemuan pertama dengan Wati dan Lisa, karena rasa iba, Shei berjanji untuk menemui mereka lagi sepekan kemudian. Janji Shei itu pun disambut gembira oleh keduanya. Pada pertemuan berikutnya, Shei memberikan pakaian layak pakai untuk Wati dan Lisa. Tak hanya itu, Shei juga menawarkan Wati dan Lisa, yang sehari-harinya mencari makan dengan mengamen, untuk tinggal di kosnya di Mampang, Jakarta Selatan. Hal itu Shei lakukan karena memang tidak tega melihat mereka yang tidak punya tempat tinggal. Mereka biasanya tidur di emperan toko, pasar, bahkan semak-semak.

Sejak saat itu, Shei selalu menaruh kunci indekos-nya di atas ventilasi agar Wati dan Lisa bisa datang kapan saja. Ia juga tidak merasa khawatir mereka akan mencuri barang-barang miliknya. Karena saat itu Shei memang tidak punya barang berharga. Satu-satunya barang berharga yang ia miliki mungkin hanya alat penanak nasi, yang kalau pun dicuri, paling ia tidak bisa memasak lagi. Namun, firasat Shei memang terbukti. Wati dan Lisa dapat menjaga kepercayaannya dengan tidak mengusik atau mencuri barang-barang miliknya. Selain itu, kendati diberikan keleluasaan oleh Shei untuk tinggal, keduanya hanya memanfaatkan indekos untuk tidur. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengamen.


Dari sini, Shei mulai berhasrat untuk merangkul lebih banyak lagi anak-anak jalanan. Dia merealisasikannya dengan membuat akun Twitter SSC. Melalui akun ini, ia mengajak dan mengkampanyekan agar masyarakat dapat mencurahkan kepeduliannya kepada anak-anak jalanan. Responsnya memang cukup bagus. Sejumlah orang mulai dari kalangan pekerja, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga bersedia bergabung di SSC. Setelah cukup banyak yang ingin berpartisipasi, pertemuan pertama para relawan SSC akhirnya dilaksanakan di Universitas Paramadina. Pertemuan tersebut membuahkan beberapa ide kegiatan, antara lain pemeriksaan gigi gratis untuk anak jalanan, berbuka puasa bersama, dan lainnya.

Di sela-sela kegiatannya membesarkan SSC, Wati dan Lisa tiba-tiba menyatakan kepada Shei bahwa mereka ingin bersekolah. Shei pun mengabulkan keinginan mereka dengan mendaftarkannya ke sekolah terbuka di Depok, Jawa Barat. Ia bahkan rela untuk pindah indekos dari Mampang ke Depok untuk memudahkan akses keduanya. Di indekos barunya, Shei menampung dan mengasuh lagi sekitar 10 anak jalanan. Karena hal itu adalah keinginan pribadi, Shei terkadang menyisihkan sebagian uangnya untuk kebutuhan mereka. Perempuan kelahiran Jombang ini bercerita, pernah uangnya tinggal Rp 25 ribu, padahal ia harus memberi makan 10 anak asuh. Akhirnya, ia hanya mampu menyediakan nasi dan lauk seadanya saja, asalkan semuanya kebagian.

Di sisi lain, Shei tetap berupaya untuk mengembangkan gerakan SSC. Ia menginginkan gerakan ini memiliki kegiatan atau program yang berkesinambungan. Karena gerakan SSC mulai diadopsi dan berkembang di daerah-daerah lain, Shei mengambil sebuah istilah yang dipakai SSC Surabaya untuk programnya, yakni "Pengajar Keren." Program tersebut cukup mirip dengan gerakan Indonesia Mengajar. Shei mengajak dan mencari para relawan untuk menjadi pengajar anak-anak jalanan. Peminat program ini pun cukup banyak. Kendati demikian, Shei tetap menerapkan prosedur pendaftaran untuk menjaring mereka. Menurut Shei, program ini memang memiliki motivasi tersendiri. Yakni, agar generasi muda dapat memiliki pola pikir bahwa mereka bisa keren ketika berbagi ilmu dan mengajar. Dari lifestyle positif ini diharapkan akan berkembang menjadi program pembentukan karakter relawan dan anak-anak jalanan juga. Untuk awal program ini, Shei mendapat kelas di daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Tetapi, tak lama kemudian, kelas tersebut pindah lokasi karena terlalu jauh.


Singkatnya, hingga akhir 2012, Shae telah membuat tiga kali program Pengajar Keren. Kelas-kelasnya pun tidak terpusat di satu lokasi, tetapi tersebar di beberapa daerah, seperti Jakarta, Depok, dan Tangerang. Sedangkan, untuk relawan-relawan SSC di luar Jabodetabek, Shei memang tidak menitahkan untuk membuat program serupa. Mereka dibebaskan membuat program masing-masing sesuai kreativitas, karena SSC basisnya memang komunitas. Karena kegigihannya membentuk dan mengembangkan gerakan SSC, pada 2013 lalu, Shei meraih penghargaan dalam ajang Telkom Indonesia Digital Women Award 2013. Ia dinobatkan sebagai perempuan inspiratif kategori "Socio Activist" Penghargaan itu diberikan karena ia dinilai memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap masalah sosial, dalam konteks ini adalah persoalan pendidikan anak-anak jalanan. Shei mengaku senang mendapat penghargaan tersebut. Dengan penghargaan ini, setidaknya SSC lebih dikenal dan bisa membuka mata masyarakat bahwa masih banyak anak yang tidak memiliki akses pendidikan.


Selasa, 22 November 2016

LUTFIAH HAYATI : Membangun Muslimah Melalui Komunitas Hujan Safir.


Kaum perempuan memiliki peran vital bagi perkembangan sebuah peradaban. Kuat dan rapuhnya sebuah negara bergantung pada perempuan-perempuannya. Kesadaran inilah yang mendorong Lutfiah Hayati untuk mendirikan sebuah komunitas bernama Hujan Safir. Komunitas yang lahir pada September 2014 ini bertujuan untuk menambah ilmu dan wawasan para Muslimah. Komunitas Hujan Safir fokus bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan kesenian. Menurut Lutfiah, ide membentuk Hujan Safir lahir berkat kolaborasi dengan aktris Muslimah, Meyda Sefira. Lutfiah dan pemeran tokoh Husna dalam film Ketika Cinta Bertasbih itu sama-sama berjuang untuk menggagas terwujudnya komunitas Hujan Safir.

Ide membentuk komunitas Hujan Safir diinspirasi oleh jalinan kerja sama Lutfiah dan Meyda pada 2013. Keduanya berkolaborasi untuk menerbitkan sebuah buku dan mini album bertajuk Hujan Safir. Sebenarnya, buku itu adalah autobiografi Meyda Sefira. Tapi di dalamnya berisi juga album musikalisasi puisi yang berduet dengan Lutfiah. Seluruh keuntungan dari hasil penjualan buku dan mini album Hujan Safir itu disumbangkan Lutfiah dan Meyda untuk dimanfaatkan sebagai bantuan kemanusiaan atau korban bencana alam.


Berkat buku dan mini album itu, Lutfiah bersama Meyda berkeliling ke beberapa kota di Indonesia, termasuk pesantren-pesantren serta perguruan tinggi untuk mempromosikan karyanya. Perjalanannya berkeliling Indonesia membuka sebuah kesadaran pada diri Lutfiah. Ia harus bisa menjadi seorang perempuan yang lebih baik di masa depan dan harus menyadari potensi dan keahliannya. Bukan hanya menjadi perempuan yang hafal tutorial berjilbab dan cara berdandan, melainkan juga harus mampu meneladani para pejuang perempuan masa silam. Sehingga, nantinya akan lahir perempuan yang tajam pemikirannya, tetapi tetap lembut hatinya.

Pemikirannya itu senapas dengan Meyda Sefira. Pada titik inilah Lutfiah terpikir untuk membuat sebuah komunitas yang dapat memberikan pendidikan kepada para Muslimah. Tidak hanya pendidikan akidah atau keagamaan, tetapi juga pendidikan kesenian dan keterampilan. Akhirnya, pada September 2014, Lutfiah dan Meyda menggagas terbentuknya komunitas Hujan Safir. Lewat komunitas ini, Lutfiah berharap dapat memberikan sedikit kontribusi untuk sesamanya, yakni para Muslimah. Gebrakan awal yang dilakukan komunitas ini adalah menggelar pesantren kilat khusus Muslimah, terlebih saat itu bertepatan dengan Ramadhan.


Tak disangka, dalam waktu singkat, program yang diluncurkan komunitas Hujan Safir ini berhasil membetot perhatian sejumlah Muslimah dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Riau, dan Lampung. Usianya pun beragam, mulai dari 18 tahun hingga 30 tahun. Program pesantren kilat itu dihelat di Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, selama tiga hari. Sedangkan, untuk pemateri, Lutfiah mengundang atau melibatkan tokoh-tokoh di luar komunitasnya. Pesantren kilat itu pun mendulang sukses. Pascaprogram itu, Lutfiah mulai mengajak para anggota komunitas untuk terlibat dalam sebuah proyek pementasan teater atau lebih tepatnya drama musikal.

Untuk kegiatan tersebut, Hujan Safir bekerja sama dengan komunitas teater Kabaret di Bandung. Tema cerita yang dipilih untuk pementasan ini adalah tentang kisah sukses seorang sultan bernama Muhammad Al-Fatih. Ia adalah sultan Turki Ustmani yang berhasil menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur dan Konstantinopel. Lutfiah sendiri yang menulis naskah untuk pertunjukan ini bersama perwakilan dari Kabaret. Karena bentuknya berupa drama musikal, maka Lutfiah pun turut bernyanyi. Setelah melalui berbagai persiapan dan latihan, drama musikal Muhammad Al-Fatih pun dipentaskan di Dago Tea House, Bandung. Jawa Barat, pada Januari 2016. Menurut Lutfiah, banyak anggota komunitas Hujan Safir yang mendapatkan pengalaman baru ketika menggarap proyek pementasan tersebut. Mereka banyak belajar dan proyek pementasan ini menjadi tempat aktualisasi diri.

Setelah proyek pementasan drama musikal tuntas dan cukup sukses, Lutfiah kini juga sedang mendorong beberapa anggota komunitas Hujan Safir untuk menerbitkan sebuah buku, yang rencananya buku tersebut akan diberi judul Hujan Safir Pecinta Hujan. Untuk proses penerbitan buku tersebut, Lutfiah menghadirkan pembimbing yang memang pandai, mahir, dan mengetahui seluk beluk dunia kepenulisan atau sastra. Dengan begitu, anggota komunitasnya memiliki kemampuan menulis dengan baik. Ia tentu berharap karya atau hasil tulisan para anggotanya memiliki kualitas cukup baik. Menurut Lutfiah, buku tersebut akan berbentuk antologi cerita pendek. Di dalamnya tersaji sekitar 15 cerita pendek, termasuk karyanya sendiri.  

Selain pendidikan dan kesenian, Lutfiah juga mengajak para anggota Hujan Safir untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Salah satu aksi sosial yang digagas Lutfiah adalah membagikan paket pendidikan gratis, berupa perlengkapan alat tulis dan uang tunai, untuk para santri berprestasi. Untuk kegiatan tersebut, ia bersama anggota Hujan Safir telah melakukan penggalangan dana dengan memanfaatkan sosial media. Aksi ini juga mendapat sokongan dari beberapa anggota komunitas Forum Indonesia Muda. Komunitas Hujan Safir akan menyalurkan hasil penggalangan dana itu kepada para santri berprestasi yang tengah menimba ilmu di pondok pesantren di Desa Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.

Lutfiah berharap semoga gerakan ini nantinya bisa dilaksanakan juga untuk beberapa pesantren lainnya. Lutfiah mengaku mendapat pelajaran dan ilmu agama yang cukup banyak dari pesantren. Ia pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Modern Gontor Putri 1. Karena itulah, ia memutuskan untuk membuat program atau kegiatan berbagi paket pendidikan gratis untuk para santri dengan bantuan para anggota Hujan Safir. Hal itu ia lakukan semata-mata untuk membalas jasa atau peran pesantren dalam hidupnya. Berkat gemblengan pondok pesantren pula, ia selalu berupaya mengaktualisasi dirinya. Karena dulu saat masih berada di Gontor, salah satu kyainya pernah berkata bahwa pergerakan kita atau badan kita harus bergerak dengan beberapa nilai dan tujuan, yakni ibadah, seni, luhurnya budi pekerti, serta akhlak. Kata-kata ini yang selalu menjadi motivasinya.

Kini, komunitas Hujan Safir yang digagasnya kian berkembang. Jumlah anggota komunitas itu telah mencapai sekitar 150 orang. Lutfiah berharap keberadaan Hujan Safir dapat menjadi bagian dari solusi untuk memecahkan problem-problem bangsa, terutama yang berkaitan dengan isu perempuan, pendidikan, dan sosial. Ia yakin benar kaum perempuan memiliki peran vital dalam berkembangnya sebuah peradaban. Seperti Mahatma Gandhi pernah berkata, mendidik perempuan sama dengan mendidik peradaban. Karena kuatnya sebuah negara tergantung dari perempuan-perempuannya.


Kamis, 10 November 2016

ROCHMA INDRAWATI FIRDAUS : Berbagi Kebahagiaan Lewat Sedekah Nasi.


Sudah sejak awal 2016, Rochma Indrawati Firdaus, mojang asal Bandung, Jawa Barat, terlibat dalam sebuah gerakan bernama Sedekah Nasi. Sesuai dengan namanya, gerakan ini terwujud dalam sebuah kegiatan berbagi nasi bungkus atau nasi kotak gratis kepada mereka yang membutuhkan, seperti kaum dhuafa, jompo, dan yatim. Awalnya, Rochma memang hanya sendirian melakukan kegiatan sosial tersebut. Namun, setelah kegiatannya diunggah ke Facebook, ternyata cukup banyak orang yang mengapresiasi aksinya. Tak sedikit pula dari mereka yang menawarkan diri untuk bergabung dalam gerakan tersebut.

Saat ini, gerakan Sedekah Nasi telah menjalar ke 43 daerah di Indonesia. Meliputi daerah Jawa, Sumatra, Kalimantan, bahkan Papua. Rochma mengatakan, ketika masih kanak-kanak, dia memang telah tertarik dengan berbagai kegiatan amal. Tak ayal, ketika beranjak dewasa, ia kerap terlibat dalam berbagai kegiatan kemanusiaan, seperti menggalang dana atau bantuan untuk korban bencana alam dan lainnya. Misalnya, ketika salah satu daerah di Bekasi, Jawa Barat, terendam banjir. Rochma langsung mempublikasikannya dalam status Facebook, dan bertanya kepada teman-temannya, siapa yang ingin ikut ke sana untuk menyalurkan bantuan. Atau bisa juga yang ingin menitip makanan, mainan, dan pakaian. Setelah terkumpul, barulah ia dan teman-temannya berangkat ke lokasi bencana. Waktu itu Rochma menamai gerakannya Peduli Perempuan.

Menjelang akhir 2014, Rochma masih aktif dalam menggalang berbagai bantuan untuk para korban bencana alam. Kegiatan penggalangan tersebut selalu dia unggah dalam akun Facebook-nya untuk menarik lebih banyak partisipasi dari teman-temannya. Hingga akhirnya, seorang temannya yang bernama Muri Handayani membuat tagar (tanda pagar) #Kecanduan Sedekah untuk setiap kegiatan sosial yang diinisiasi oleh Rochma. Maksud dari tagar yang dibuat oleh temannya itu adalah berbagi atau sedekah itu bisa membuat bahagia dan kecanduan. Jadi, kalau tidak sedekah, rasanya seperti 'sakau'.


Berselang satu tahun setelah dibuatnya tagar Kecanduan Sedekah, tepatnya pada awal 2016, Rochma mencetuskan gerakan Sedekah Nasi. Sedekah Nasi merupakan gerakan atau program dari Kecanduan Sedekah. Bermodalkan uang pribadi, Rochma menyiapkan 20 nasi kotak untuk dibagikan secara gratis kepada orang-orang dhuafa, jompo, dan yatim yang terdapat di sekitar daerah rumahnya, yakni Ujung Berung, Bandung Timur, Jawa Barat. Seperti kegiatan sosial sebelumnya, kegiatan berbagi nasi tersebut pun diunggah ke akun Facebook-nya. Dan ketika ia posting, ternyata banyak yang memberikan like, share, dam bahkan juga berkomentar ingin ikut berpartisipasi.

Melihat respons yang cukup positif, Rochma kemudian mengajak mereka yang ingin berpartisipasi untuk bergabung dalam gerakan Sedekah Nasi. Bagi mereka yang berlainan daerah dengannya, tapi hendak bergabung, Rochma menyarankan agar mereka memulai gerakan Sedekah Nasi di daerahnya masing-masing. Setelah mengetahui cukup banyak yang ingin bergabung, untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi, Rochma menampung mereka dalam sebuah grup obrolan Whatsapp. Dari grup inilah, dipilih siapa yang akan menjadi penanggung jawab gerakan Sedekah Nasi di daerah-daerah.

Terkait dana, Rochma mengaku awalnya memang belum memiliki donatur untuk gerakan ini. Seluruhnya dilakukan secara swadaya dan sukarela. Kendati demikian, dia maupun anggota gerakan Sedekah Nasi lainnya tetap semangat melakoni kegiatan tersebut. Setelah gerakan Sedekah Nasi mulai berlangsung di berbagai daerah, Rochma pun rutin mengunggah laporan kegiatan tersebut ke akun Facebook-nya. Sejak saat itu, semakin hari, semakin banyak yang share, hingga kegiatannya makin dikenal, dan menular. Dan lebih banyak lagi yang tertarik ingin berpartisipasi untuk membantu bahan-bahan masakan serta donasi.


Ketika mendapatkan sejumlah donasi, Rochma pun selalu menyalurkannya ke daerah-daerah gerakan Sedekah Nasi. Per daerah biasanya mendapatkan Rp 300 ribu. Dari uang sebanyak itu bisa jadi banyak nasi dan lauk, karena sebagian besar memang dimasak sendiri. Semakin hari, Sedekah Nasi pun semakin masif. Gerakan tersebut tidak hanya berlangsung di sejumlah kota di Pulau Jawa, tapi juga merembet ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar (Sulawesi Selatan), Batam (Kepulauan Riau), Madura, Bima (Nusa Tenggara Barat), Palembang (Sumatera Selatan), hingga Merauke di Papua.

Rochma mengungkapkan, gerakan Sedekah Nasi memang tidak dilakukan setiap hari. Kegiatan tersebut hanya dilaksanakan sepekan sekali, tepatnya pada Jumat pagi. Adapun alasan dipilihnya hari Jumat untuk berbagai atau Sedekah Nasi, kata Rochma, karena hari tersebut, berdasarkan hadis, memiliki keberkahan dan keistimewaan dibandingkan hari-hari lainnya. Dalam sepekan, menurut pengakuan Rochma, gerakannya bisa membagikan sekitar empat ribu nasi bungkus untuk dhuafa, yatim, dan jompo yang tersebar di 43 daerah di Indonesia. Bahkan, sebelum Idul Fitri, pernah mencapai lima ribu porsi nasi bungkus.

Rochma memiliki alasan tersendiri mengapa memilih nasi untuk gerakannya. Menurutnya, semua orang pasti membutuhkan makan sebelum mereka bekerja atau belajar. Banyak pula kaum dhuafa yang bekerja, tapi tidak sarapan. Mereka biasanya menunggu penglaris dahulu, baru bisa makan. Padahal, bila mereka bisa mendapatkan sarapan yang enak, layak, juga gratis, hatinya pasti akan senang. Kalau mereka senang, bekerjanya pun jadi lebih semangat. Dan kalau sudah semangat hasilnya juga pasti lebih baik. Kalau lebih baik, kebaikan yang didapat juga bisa dirasakan oleh orang-orang banyak. Jadi, beruntun efeknya,


Walaupun hanya membagikan nasi bungkus, Rochma sering menyaksikan betapa kaum dhuafa sangat menghargai pemberian tersebut. Ketika mendapatkan nasi bungkus itu, mereka berdoa sangat panjang dan khusyuk, sampai-sampai, kata Rochma, ia ingin menangis melihatnya. Padahal, yang diberikan hanya nasi senilai sepuluh ribu, tapi dimaknai begitu lebih oleh mereka. Rochma berharap gerakan Sedekah Nasi ini dapat bertahan dan para aktor yang terlibat di dalamnya senantiasa istiqamah. Sebab, menurut Rochma, memulai kebaikan memang mudah. Namun, mempertahankan jalan kebaikan dan mati dalam keadaan baik itu yang cukup sulit dilakukan. Dengan demikian, gerakan Sedekah Nasi nantinya mampu membantu lebih banyak lagi kaum dhuafa, yatim, dan jompo. Setidaknya dalam mengisi perut mereka yang lapar dengan makanan yang layak setiap Jumat pagi.

Selasa, 01 November 2016

SARTIKA ULFAH : Berdakwah Sambil Berbisnis Kaus Kaki.


Berbisnis sambil berdakwah. Itulah yang dipikirkan oleh Sartika Ulfah ketika memutuskan untuk terjun dalam dunia wirausaha. Melalui My Hayra, kaus kaki khusus Muslimah, Sartika berdakwah agar para Muslimah tidak melupakan bagian aurat yang patut ditutup, yakni kaki. Ketika baru saja lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), tepatnya pada 2009 lalu, Sartika bekerja sebagai staf keuangan di Yayasan Jantung Indonesia. Ketika bekerja di sana, ia memang mulai menjajal kemampuannya dalam berdagang. Di tengah-tengah rutinitas pekerjaan, Sartika menyempatkan diri untuk berdagang berbagai macam barang kepada rekan-rekan kantornya. Dari makanan, mukena, tas, dan lain-lain. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tapi cukup melatihnya dalam berjualan.

Ia bekerja sebagai pegawai selama empat tahun. Pada Juli 2013, satu bulan setelah pernikahannya, Sartika memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Saat itu, berbekal pengalaman berdagang kecil-kecilan ketika bekerja, Sartika terpikir untuk membangun sebuah bisnis. Karena suaminya juga pernah mencecap pengalaman berdagang pakaian anak-anak secara daring, ia pun memutuskan untuk merintis usaha bersama dengan suaminya. Ketika itu, Sartika dan suaminya memang belum terpikir untuk memproduksi perlengkapan busana Muslimah. Apalagi, sepasang kaus kaki khusus untuk Muslimah. Namun, pasangan ini memang telah memilih kaus kaki sebagai salah satu produk yang akan mereka jual. Mereka menjual kaus kaki biasa yang bisa dipesan sesuai keinginan pembeli (custom), yang ternyata cukup bagus peminatnya.


Melihat potensinya cukup baik, Sartika mulai mencari ide atau inovasi untuk mengembangkan bisnisnya tersebut. Kemudian, ia pun terpikir untuk memproduksi kaus kaki khusus untuk Muslimah. Dia menilai, saat itu masih cukup jarang pelaku usaha busana yang fokus untuk Muslimah. Selain itu, alasan dia memilih produk kaus kaki Muslimah juga didorong keinginan pribadinya untuk berdakwah. Tapi karena Sartika dan suami kurang ahli berdakwah seperti layaknya para ustaz, mereka memutuskan untuk berdakwah dengan cara yang lain, yakni berdakwah dari sisi aurat. Sartika menilai, alasan dia memilih kaus kaki sebagai media bisnis dan dakwahnya adalah karena bagian kaki kerap dilupakan para Muslimah. Bahkan belum semuanya paham bahwa kaki juga aurat yang harus ditutup.

Akhirnya pada 10 November 2013, Sartika dan suaminya menciptakan merek untuk setiap produk kaus kakinya, My Hayra. Melalui produk ini, mereka ingin bisa berbisnis sekaligus berdakwah. Kendati sudah membuat merek dagang, Sartika tidak seketika memesan produk kaus kaki untuk dipasarkan. Karena produk dan pasarnya cukup khusus. Dia terlebih dahulu melakukan riset kepada sekitar seratus Muslimah. Tujuannya agar Sartika dapat memproduksi kaus kakinya sesuai kebutuhan para Muslimah. Dalam prosesnya, ia mewawancarai teman-teman terdekatnya terlebih dahulu. Teman mengaji, teman sekolah, teman kuliah, dan para Muslimah yang aktif dalam berbagai kegiatan di luar ruangan. Pun kepada yang gemar olahraga atau mereka yang hobi pelesiran ke berbagai daerah.


Adapun pertanyaan-pertanyaan yang Sartika ajukan kepada mereka antara lain seputar alasan mereka ketika membeli kaus kaki baru, warna-warna favorit, mengutamakan harga atau kenyamanan, serta kaus kaki yang mereka idamkan, tapi belum tersedia. Dia juga menanyakan bila ada kaus kaki bertuliskan nama-nama hari bagaimana. Ini menjadi salah satu produk andalan My Hayra, yakni kaus kaki Muslimah bertuliskan nama hari. Dari hasil survei tersebut, Sartika juga mendapatkan berbagai keluhan para Muslimah terkait kaus kaki yang biasa mereka beli dan kenakan. Antara lain, bahannya kurang nyaman, terlalu ketat dipakai sehingga menyebabkan kemerahan di kaki, mudah melar, dan bolong serta lainnya.

Selain melakukan survei, Sartika juga membeli produk-produk kaus kaki dari mereka yang mungkin menjadi kompetitornya. Ini dia lakukan untuk mempelajari dari segi harga dan kualitas. Sartika juga mengetes ketika dipakai, dicuci, dan lainnya. Ketika semua data telah terkumpul, barulah Sartika mulai mendesain kaus kaki My Hayra. Desain dan kualitasnya disandarkan kepada keterangan hasil survei dan wawancara. Hal itu dilakukan agar produknya dapat langsung diterima pasar. Sekaligus menjadi solusi dari berbagai keluhan para Muslimah ketika mengenakan kaus kaki. Tanpa disangka, ketika proses produksi dan promosi tengah berjalan, sekitar seribu pesanan antre menghampirinya. Padahal, Sartika awalnya berharap barangnya jadi dulu, baru menerima pesanan. Tapi ternyata barang belum siap semua karena masih produksi, tapi sudah terpesan dan terjual semua. Totalnya sekitar 1.200 pak yang langsung terjual.


Respons pasar yang positif membuat Sartika mulai menambah kapasitas produksinya. Ia juga mulai merekrut beberapa pegawai untuk membantunya dalam memasarkan produk My Hayra tersebut. Selain itu, Sartika aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan bazar atau pameran yang bernuansa atau bertema Islami. Tujuannya agar produk My Hayra dapat semakin dikenal dan akrab dengan kalangan Muslimah. Ia juga menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas Muslim yang kerap menggelar kajian rutin. Misalnya Youth Islamic Study Club (YISC) al-Azhar. Biasanya di sana Sartika memberikan 100 pak kaus kaki secara gratis kepada para jamaah atau peserta (Muslimah), terutama yang belum menggunakan kaus kaki.

Sartika berpendapat, dirangkulnya berbagai komunitas Muslim memang menjadi komitmen sedari awal. Sebab, dengan demikian, proses dakwah juga tidak terabaikan. Saat ini, kata Sartika, My Hayra memang belum memiliki toko secara fisik. Selama ini pemasaran produk hanya memanfaatkan sosial media. Sebab, ia menilai, potensi sosial media untuk memasarkan barangnya cukup bagus. Karena pengguna sosial media selalu meningkat dari hari ke hari. Sartika berharap, dengan hadirnya My Hayra, akan semakin banyak Muslimah yang memahami pentingnya menutup aurat. Serta tidak mengabaikan bagian tubuh yang mungkin dinilai sepele, yakni kaki. Sedangkan untuk bisnisnya, dia berharap, My Hayra dapat menjadi penyedia aksesori Muslimah terbesar di Indonesia. Juga tentunya bisa semakin menebar manfaat dan rahmat, baik untuk internal maupun eksternal perusahaan. 

Kamis, 13 Oktober 2016

INDARI MASTUTI : Membina Ibu Rumah Tangga Menjadi Penulis Melalui Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis.


Indari Mastuti memang sangat mencintai kegiatan tulis menulis. Sejak 1996 lalu, dia kerap mengirimkan karya-karyanya, seperti cerpen, ke berbagai media cetak untuk diterbitkan. Tak ayal, keranjingannya dalam menulis mendorongnya mendirikan IndScript Creative. Sebuah agensi yang bekerja untuk mematok kebutuhan jasa penerbit. Selain itu, Indari juga membentuk Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis. Di komunitas tersebut, Indari membagi pengalamannya sebagai penulis kepada para ibu-ibu yang memang memiliki hobi menulis atau bahkan pernah berangan-angan menjadi penulis. Indari juga memotivasi mereka agar berani menulis dan menerbitkannya menjadi sebuah karya.

Namun, proses terbentuknya IndScript Creative dan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis memang tidak seketika saja terjadi. Indari terpikir untuk mendirikan IndScript Creative setelah menyadari bahwa ternyata menulis bisa dijadikan sebuah pekerjaan atau bisnis. Setelah tulisannya cukup sering dimuat di media-media cetak, pada 2004, Indari berhasil menerbitkan sebuah novel. Kemudian pada tahun 2005, ia dilamar oleh salah satu penerbit untuk menulis teenlit atau novel remaja. Pengalaman-pengalaman tersebut turut meyakinkannya bahwa ternyata menulis bisa menjadi sebuah pekerjaan dan bisnis. Dulu, Indari hanya menjadikan menulis hanya untuk sampingan saja, karena ia masih bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan telekomunikasi.

Akhirnya, pada 2007, tak lama setelah Indari menikah, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan, kemudian mendirikan bisnis jasa penulisan bernama IndScript Creative. Bisnis tersebut dirintis bersama suaminya, Deky Tasdikin. Ketika pertama didirikan, Indari adalah satu-satunya penulis di IndScript Creative. Kendati demikian, hal tersebut tak membuat semangat menulisnya luruh. Ia tetap menulis walaupun hal-hal yang ringan, seperti motivasi untuk remaja, motivasi bisnis, dan lainnya. Seiring laju waktu, permintaan naskah dari penerbit pun semakin meningkat. Dari biasanya hanya tiga naskah per bulan, naik menjadi lima naskah, 50 naskah, bahkan sampai 100 naskah.


Selain permintaan naskah yang kian banyak, penerbit pun mulai meminta IndScript Creative untuk memasok jenis naskah yang variatif. Hal tersebut tentu membuat Indari kewalahan. Karena ia pribadi hanya memiliki keterampilan untuk membuat jenis tulisan tertentu. Sedangkan permintaan penerbit mulai variatif dan beragam. Ketika itu, Indari sadar bahwa dia membutuhkan penulis-penulis baru di IndScript Creative guna membantunya memenuhi kebutuhan penerbit. Namun, ketika itu, ia memang cukup bingung memikirkan cara untuk merekrut penulis-penulis baru. Berkaca dari pengalamannya sebagai penulis dan ibu rumah tangga, yang tetap bisa produktif, baik secara karya maupun finansial, tanpa harus beranjak dari rumah, Indari terpikir untuk membuat komunitas penulis. Target dari komunitas tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga seperti dirinya.

Akhirnya, pada 24 Mei 2010, Indari membentuk Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis. Ia juga mulai membuat grup untuk komunitas tersebut di Facebook. Setelah membentuk grup Facebook, yang dilakukan Indari selanjutnya adalah mengajak para ibu-ibu, yang memang doyan atau hobi menulis, atau pernah bermimpi menjadi penulis, untuk bergabung di komunitasnya. Dan di luar dugaan, Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis berkembang sangat pesat. Tujuh bulan setelah dibentuk, tepatnya pada Desember 2010, anggota komunitas tersebut telah mencapai 1.750 orang. Indari mengaku dirinya memang tidak menerapkan prosedur khusus ketika ada yang ingin bergabung dengan komunitasnya. Syaratnya hanya satu, yakni anggota haruslah seorang perempuan.

Indari mengungkapkan, 99 persen dari jumlah anggota komunitasnya adalah ibu rumah tangga. Menurutnya, memang cukup banyak ibu rumah tangga yang sebelum mereka menikah, pernah menjadi penulis atau menyukai dunia penulisan. Bahkan, sebagian dari mereka pasti ada yang bermimpi menjadi penulis. Tapi keinginan atau angan tersebut buyar ketika mereka menjadi ibu rumah tangga karena aktivitas domestik yang cukup padat. Setelah Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis terbentuk, Indari pun mulai memotivasi para anggota komunitasnya agar berani untuk mengejar kembali mimpi mereka sebagai penulis. Hal tersebut ia wujudkan dengan membagi pengalamannya sebagai penulis, termasuk tips-tips menulis. Proses berbagi pengalaman dan tips menulis pun tidak hanya dilakukan di Facebook. Sebulan sekali Indari mengajak anggota komunitas untuk bertemu dan berdiskusi. Adapun tips yang diberikan Indari kepada para anggota komunitasnya adalah hal-hal yang cukup sederhana. Seperti, cara bercerita dalam tulisan, cara memilih ide sebelum menulis, hingga kiat-kiat ketika mengalami stagnasi ketika menulis.


Berkat tips dan diskusi rutin, anggota komunitas pun mulai tergerak untuk menulis dan menghasilkan karya. Selain menyalurkan naskah-naskah mereka kepada penerbit melalui perantara IndScript Creative, Indari juga menyiapkan berbagai kegiatan guna menyokong anggota komunitasnya yang telah menerbitkan sebuah karya atau buku, seperti bedah buku, promosi buku, dan lain-lain. Sejak didirikan pada 2010 hingga saat ini, telah terbit sekitar 1.500 buku karya anggota Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis. Seluruh buku tersebut merupakan karya dari 300 hingga 500 anggota komunitas. Bahkan saat ini, anggota Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis tidak hanya berasal dari kalangan ibu rumah tangga di dalam negeri. Tapi juga ibu-ibu rumah tangga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Mereka tersebar di sembilan negara. Di antaranya Hongkong, Amerika Serikat, Turki, dan lainnya. Kendati komunitasnya sudah cukup besar, tetapi Indari masih memiliki angan yang hendak dicapainya dengan Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis. Yakni mencetak satu juta penulis dari kalangan perempuan, khususnya ibu-ibu rumah tangga.




Kamis, 29 September 2016

YENI DEWI MULYANINGSIH : Pendiri Yayasan Komunitas Taufan. Peduli Pasien Kanker Anak.


Getir, itulah yang dirasakan oleh Yeni Dewi Mulyaningsih, ketika anaknya, Muhammad Taufan, harus berpulang ke pangkuan Allah SWT pada Mei 2013 lalu. Taufan meninggal setelah dua tahun menjalani perawatan cukup intensif karena leukimia yang dideritanya. Tak pernah terbayang oleh Yeni bahwa peristiwa tersebut akan terjadi dalam hidupnya. Apalagi, bila mengingat Taufan, yang saat menghembuskan napas terakhirnya baru menginjak usia tujuh tahun. Namun, takdir Allah SWT memang tak dapat ditolaknya.

Sepekan setelah Taufan meninggal, seorang pria berkebangsaan Amerika Serikat, Zack Petersen, menyambangi kediaman Yeni. Zack adalah relawan sekaligus pendiri Count Me In (gerakan CSR BeritaSatu), yang kegiatannya fokus dalam beberapa hal, salah satunya menggalang dana untuk membantu keluarga pasien kanker. Menurut Yeni, ketika Taufan dirawat, Zack juga selalu menyempatkan diri datang ke bangsal untuk bercengkerama dan menghibur Taufan. Kedatangan Zack kala itu, kata Yeni, untuk memintanya menjadi relawan. Ia menyarankan agar Yeni memberanikan diri untuk membagi kisah dan pengalamannya ketika merawat Taufan kepada para keluarga yang tengah mengalami hal serupa.

Namun, anjuran Zack tersebut tidak seketika dilakukan oleh Yeni. Karena saat itu hatinya masih berduka. Yeni hanya mengatakan kepada Zack, bahwa niat itu memang ada, tapi ia belum bisa memastikan waktunya. Sampai akhirnya pada Juni 2013, Yeni mulai mencoba melakukan anjuran dari Zack. Ia kembali ke bangsal tempat dulu Taufan dirawat. Tetapi, waktu itu Yeni masih bingung apa yang harus dia perbuat. Karena dia sama sekali belum pernah memiliki pengalaman menjadi relawan. Namun, ketika Yeni bertemu dengan beberapa keluarga dan pasien anak di bangsal tersebut, ia seketika cair dalam sebuah perbincangan hangat. Semuanya mengalir saja manakala Yeni mulai berbagi pengalaman dan menghibur pasien anak di sana.


Aktivitas itu pun mulai rutin dilakukan oleh Yeni. Dalam sepekan, ia menyempatkan tiga kali mampir ke bangsal tersebut dan tak henti-hentinya memberi dukungan moril kepada keluarga dan para pasien anak. Kegiatan mengunjungi bangsal ia lakukan selama enam bulan. Selama kegitan itu dilakukan, Yeni pun selalu membagi cerita dan pengalamannya tersebut kepada Zack. Dan kegiatan Yeni itu lalu disebar oleh Zack di media sosial dan dimuat di media. Hingga akhirnya mulai banyak relawan dan donatur yang tertarik berpartisipasi untuk turut membantu.

Kemudian, pada 14 Desember 2013, Yeni pun memutuskan untuk membentuk Komunitas Taufan. Komunitas yang visinya adalah memberi dukungan moril dan materi kepada para keluarga dan pasien kanker anak-anak. Tak lama berselang, Yeni bersama dengan relawan-relawan yang telah bergabung dalam Komunitas Taufan pun mulai giat mengunjungi beberapa rumah sakit di Jakarta. Tujuannya mencari pasien anak yang tengah mengidap kanker atau panyakit berisiko tinggi lainnya untuk didampingi selama masa perawatan. Dalam hal ini, Komunitas Taufan tidak menerapkan proses atau kriteria yang ruwet untuk membantu mereka. Syaratnya, pihak keluarga pasien memang membutuhkan bantuan dan pasien harus anak usia nol sampai 17 tahun.

Berselang beberapa bulan kemudian, seorang relawan bernama Maya Martini mendorong Yeni untuk berani mengajak lebih banyak masyarakat dalam kegiatan Komunitas Taufan. Akhirnya, pada 23 September 2014, Komunitas Taufan pun berganti nama menjadi Yayasan Komunitas Taufan. Dengan terbentuknya yayasan tersebut, Yeni pun mulai mencetuskan beberapa program kegiatan. Antara lain, Bangsal Visit, yaitu kegiatan yang bertujuan menghibur para pasien dan keluarganya yang sedang dirawat inap di bangsal selama berbulan-bulan. Relawan akan menghibur dengan berbagai aktivitas, seperti mendongeng, mewarnai, menghadirkan badut, dan memberi berbagai bingkisan.

Selanjutnya, terdapat program Home Visit. Yakni, kegiatan mengunjungi pasien lama atau baru di rumah mereka masing-masing. Kegiatan ini bertujuan memberi konseling motivasi dan kebutuhan dasar pasien. Selain itu, ada juga kegiatan Support Visit. Di sini relawan mencoba menyuntikkan semangat dan fokus memberi berbagai kebutuhan pasien anak, seperti susu, popok, kursi roda, kereta bayi, mainan, dan lain-lain. Kemudian, Yayasan Komunitas Taufan juga melaksanakan program atau kegiatan Fun Trip. Yakni, mengajak pasien anak beserta orang tuanya jalan-jalan agar mereka keluar sejenak dari rutinitas pengobatan yang kadang membuat jenuh.


Adapun program penggalangan dana yang dilaksanakan oleh Yayasan Komunitas Taufan, salah satunya Care4. Yakni, kampanye menggalang dana melalui media sosial untuk pasien-pasien tertentu guna membantu kebutuhan dasar mereka. Selain itu, ada pula program Charity Art Festival. Ini merupakan kegiatan setiap tahun dalam rangka memperingati Hari Kanker Anak Sedunia. Di sini Yayasan Komunitas Taufan berkolaborasi dengan berbagai komunitas seni untuk menggalang dana dan menghibur pasien kanker anak.

Program penggalangan dana Yayasan Komunitas Taufan berikutnya adalah Kumis untuk Adik atau Movember. Dalam program ini, Yayasan Komunitas Taufan mencoba mengedukasi dan mengajak masyarakat, khususnya kaum pria, untuk menumbuhkan pengetahuan tentang kanker prostat. Di sini mereka juga diajak untuk menumbuhkan kumisnya selama bulan November yang akan dilelang pada akhir bulan. Semua dana yang terkumpul akan digunakan yayasan untuk program-program membantu pasien.

Selain program-program tersebut, Yayasan Komunitas Taufan masih memiliki beberapa program lainnya. Seperti Santunan Pasien Mandiri, yakni memberikan bantuan modal usaha rumahan untuk keluarga pasien. Seminar Publik, yakni kegiatan tahunan Yayasan Komunitas Taufan untuk mengedukasi masyarakat tentang cara deteksi dini munculnya kanker pada anak-anak. Untuk seluruh kegiatan tersebut, Yeni dibantu oleh 30 relawan untuk divisi yayasan dan 87 relawan harian. Relawan tersebut tersebar di sekitar Jabodetabek.

Menurut Yeni, ia sama sekali tidak pernah merencanakan untuk melakukan semua hal tersebut, tapi Allah lah yang seperti menyiapkan segalanya. Semua mengalir saja sampai hari ini dan Allah memudahkan jalannya. Yeni berharap, ke depan akan semakin banyak masyarakat yang peduli terhadap keluarga pasien kanker dan turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Yayasan Komunitas Taufan. Sehingga, visi bisa tercapai, yaitu akan semakin banyak pasien yang bisa mereka dampingi.


Kamis, 15 September 2016

ASA RATNA DINASTY : Pelopori Gerakan Mukena Bersama.




Sejak Desember 2015 lalu hingga saat ini, Asa Ratna Dinasty aktif dalam sebuah gerakan bernama “Mukena Bersama”. Tujuan gerakan ini sederhana, namun sangat bermanfaat, yakni membersihkan mukena-mukena di mushala atau masjid yang berada di ruang publik seperti mal, pom bensin, terminal, dan lain-lain. Gerakan Mukena Bersama memang tidak muncul tiba-tiba. Gerakan ini lahir setelah Asa dan seorang temannya, Amelia Devita, berbincang tentang mukena-mukena yang disediakan Masjid Agung al-Azhar, Jakarta, untuk jamaah muslimah di sana. Menurut Asa, mukena-mukena di Masjid Agung al-Azhar sangat terawat, bersih, dan layak pakai. Namun, ia dan Amelia mengaku cukup heran mengapa tidak semua masjid atau mushala dapat menyediakan mukena yang layak dan terawat seperti di Masjid Agung al-Azhar. Apalagi, bila mushala atau masjid itu berada di terminal, pom bensin, atau mal. Meski berada di tempat yang bagus, tapi mukenanya kadang bau kotor, dan seperti tidak layak.

Berangkat dari pengalaman dan keprihatinan tersebut, Asa dan Amelia terketuk hatinya untuk membantu merawat dan menjaga kondisi mukena di mushala atau masjid di ruang-ruang publik tersebut. Saat itu Asa dan Amelia belum terpikir untuk membuat sebuah gerakan yang lebih masif dan melibatkan banyak pihak. Akhirnya mereka memulai dengan mencari mushala terdekat terlebih dulu. Asa memilih membersihkan dan mencuci mukena yang terdapat di mushala di lingkungan PT Antarmitra Sembada, Pos Pengumben, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sedangkan Amelia, yang waktu itu sudah pindah ke Bandung mencuci mukena yang ada di mushala-mushala mal di sana.

Selain mencuci mukena-mukena di mushala itu, Asa dan Amelia juga membelikan mukena-mukena baru. Hal ini dilakukan agar stok mukena di mushala tersebut tetap tersedia ketika mukena lainnya tengah dicuci di penatu. Untuk mencuci dan membeli mukena baru, Asa menyisihkan uang pribadinya. Karena ia memang belum melibatkan siapa-siapa untuk aksi perdananya tersebut. Setelah aksi perdana, Asa baru terpikir untuk membuat kegiatan ini dalam cakupan yang lebih luas dan menjangkau mushala-mushala di berbagai daerah. Saat memutuskan untuk mengajak teman-teman lain, ia membuat media untuk mensosialisasikannya. Selain menyebar selebaran tentang kegiatan ini, Asa juga memanfaatkan facebook dan instagram.


Ajakan Asa pun mendapat respons positif dari teman-temannya. Banyak dari mereka yang ingin menjadi relawan dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan membersihkan mukena yang terdapat di mushala atau masjid-masjid di ruang-ruang publik. Pada titik ini, Asa kemudian terinspirasi untuk mencetuskan sebuah gerakan, yakni Mukena Bersama. Dinamakan Mukena Bersama, karena semuanya sama-sama punya tanggung jawab merawat mukena ini. Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan, relawan Mukena Bersama telah mencapai 150 orang. Mayoritas dari mereka adalah perempuan dengan ragam latar belakang, usia, dan pekerjaan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, wirausaha, dan lainnya. Mereka semua tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Bandung, Semarang, Surabaya, Magelang, Makasar, Palembang, Bengkulu, Lampung, Medan, Riau, dan beberapa daerah lainnya.

Saat partisipasi relawan mulai meningkat, Asa juga mulai membuka donasi untuk kegiatan ini. Bentuknya tidak perlu uang, tapi bisa berupa mukena baru atau masih layak pakai. Dengan demikian, Asa bisa menyalurkannya ke mushala-mushala yang membutuhkan. Sementara untuk para relawan, tidak diwajibkan memberi donasi atau sumbangan, karena mereka sudah membantu untuk mencuci mukena. Tapi bila ada yang punya rezeki lebih, mereka biasanya juga ikut berdonasi.

Hingga saat ini, gerakan Mukena Bersama masih berlangsung dan tidak banyak menemui kendala. Untuk koordinasi dengan para relawan, Asa juga tidak mengalami hambatan. Ia memanfaatkan grup obrolan WhatsApp guna menjaga komunikasi dengan mereka. Setiap bulannya, Asa selalu mengingatkan para relawan untuk mencuci lagi mukena yang telah dicuci pada bulan sebelumnya. Ia juga meminta setiap relawan untuk melampirkan foto lokasi mushala dan mukena yang telah dicuci sebagai bukti atau laporan kegiatan. Foto-foto itu lalu akan disebarkan di sosial media sebagai bukti kegiatan Mukena Bersama dan pertanggung jawaban pada para donatur.

Sebagian orang mungkin akan bertanya-tanya mengapa para relawan tersebut mau bersusah payah mencuci bahkan menyediakan mukena layak untuk mushala. Menurut Asa, hal itu wajar karena sebagian besar relawannya adalah perempuan, yang mana mereka pasti pernah merasakan tidak nyamannya ketika ingin shalat di masjid atau mushala, tapi mukenanya kotor atau bau. Sedangkan mukena tersebut dibutuhkan saat ingin menghadap Allah SWT. Rasanya memalukan sekali bila ingin beribadah kepada Allah SWT kita memakai pakaian seadanya, dan mukenanya kotor pula. Padahal, ada hadis menyebut kebersihan sebagian dari iman. Selain itu, Asa menilai, para relawan juga memiliki motivasi lain yang menyebabkan mereka berpartisipasi dalam gerakan Mukena Bersama. Yakni mendulang amal jariah dengan cara mencuci mukena-mukena yang kurang layak pakai. Insya Allah, amalan tersebut tidak akan putus sampai wafat nanti.


Sampai sekarang, belum ada pihak pengelola masjid atau mushala yang merasa keberatan dengan kegiatan atau gerakan Mukena Bersama. Mereka merespons positif dan sangat mengapresiasi gerakan ini. Oleh karena itu, Asa berharap, gerakan Mukena Bersama akan tetap langgeng. Dengan begitu, akan semakin banyak mukena-mukena bersih di masjid atau mushala-mushala. Ia juga berharap gerakan ini dapat menjadi pengingat bagi pihak pengurus masjid atau mushala, terutama yang berada di ruang publik, agar tetap memperhatikan, menjaga, serta merawat kebersihan mukena-mukenanya. Sebab, menurut Asa, gerakan mencuci dan menyumbang mukena baru pun akan percuma bila tidak diiringi dengan kesadaran dan kepedulian dari pihak pengelola masjid atau mushala. 

Rabu, 14 September 2016

MULYANI HASSAN : Mensinergikan Syiar Dan Bisnis Busana Muslim Melalui De Mey's



Mulyani membangun De Mey’s dengan niat membantu sesama saudari muslimah. Membantu dalam artian mengajak para muslimah berpakaian sesuai syar’i dengan harga yang terjangkau. Meski tak mudah, namun lambat laun usahanya makin berkembang. Sambil berdagang Mulyani juga fokus membentuk grup Noesantara Project. Sebuah kelompok yang tak hanya mengenalkan budaya tapi menggalang dana bagi kemajuan masyarakat di tepi wilayah Indonesia.

Perjalanan Mulyani Hassan memulai usaha busana Muslim De Mey’s bermula pada Ramadhan 2015. Ketika itu, Mulyani dalam penuh kepasrahan melepas beasiswa studi ke Jepang karena sedang mengandung anak pertama. Pada saat yang sama, keputusan untuk resign dari tempat bekerja sudah diambil. Setelah itu, tekad untuk memulai bisnis pun hadir. Dan akhirnya, alumnus Universitas Indonesia ini pun mencoba berjualan dua mukena di laman Facebook. Butuh waktu bagi Mulyani yang mengaku awalnya anti dengan berdagang. Setelah menemukan nikmatnya berdagang, langkah menjual produk orang lain pun terus berlanjut. Ini disebabkan ketiadaan modal yang mencukupi. Imbasnya, Mulyani hanya bisa menjalankan sistem dropship (sistem yang meminta seller atau supplier untuk mengirimkan barang/pesanan kepada customer) untuk mukena, gamis, hingga kain.

Keteguhannya perlahan mulai membuahkan hasil. Tak lama berselang, tawaran untuk mengajar di salah satu bimbingan belajar hadir. Pada saat yang sama, pelanggan demi pelanggan berdatangan. Berbekal keberanian, Mulyani pun mengambil sebagian dari gajinya untuk memulai produksi sendiri. Jumlahnya tak banyak, hanya sepuluh potong. Prosesnya dilakukan di sebuah usaha konveksi butik. Hasilnya ternyata memuaskan, karena dijual dengan harga murah dengan kualitas bahan dan jahitan yang sangat baik. Dari sini tekad Mulyani makin menguat. Tidak hanya berbisnis, melainkan juga berdakwah via penjualan pakaian syar’i.  Sebelumnya, Mulyani sering melihat produsen baju gamis di pasaran, sering menjual dengan harga yang sangat mahal. Maka dari itu, ia ingin menjual dengan harga yang terjangkau, karena tidak hanya sekedar jualan, tapi ingin sekali juga bisa mengajak para muslimah untuk sama-sama berpakaian syar’i.

Keinginan Mulyani menyinergikan bisnis dan syiar semakin menguat tatkala melihat para penjahit yang didominasi pria paruh baya di tepi jalan. Usaha mereka dalam permak baju dinilainya murah, yaitu hanya Rp 10 ribu per potong. Sementara untuk hal yang sama di konveksi butik bisa menelan biaya Rp 50 ribu sampai Rp 60 ribu. Fakta ini membuat Mulyani semakin mantap melanjutkan bisnis sekaligus berdakwah dan membantu penjahit. Baginya tidak masalah untung sedikit asal dapat membantu orang bergamis dan membantu penjahit. Mulyani pun bersyukur, sampai sekarang selalu dipertemukan dengan penjahit-penjahit yang bagus keahliannya. Para penjahit itu berasal dari Desa Cibalanarik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka tadinya merupakan penjahit-penjahit langganan merek ternama. Namun, setelah merek tersebut maju, para penjahit itu ditinggalkan. Akhirnya, Mulyani pun mengajak kerja sama. Kebetulan, teman-teman penjahit punya misi yang sama dengannya. Tidak mengutamakan kuantitas tapi kualitas, meskipun tidak juga menjual produk dengan harga yang mahal.


Pencapaian Mulyani sejauh ini tentu membuat orang tuanya bahagia. Apalagi sedari kecil, Mulyani mengisahkan, keinginannya untuk memiliki baju begitu sulit. Sebab, sang ibu biasanya harus berhutang kepada penjual baju. Dan Mulyani senang, kalau sekarang bisa memberikan baju terbaik untuk kedua orangtuanya, dan itu produknya sendiri. Walaupun Mulyani mengaku, tadinya kedua orang tuanya sempat kecewa karena mereka berharap setelah berjuang dengan susah payah untuk mencari beasiswa, kelak Mulyani bisa jadi orang kantoran atau dosen, bukan menjadi pedagang. Tapi sekarang, harapan orang tuanya mulai terlihat, walau masih sangat jauh dari bayangan mereka.

Saat ini, De Mey’s masih terus mengembangkan produk-produknya. Ke depan, usaha ini akan merilis gamis maupun mukena dengan bonus gratis tas pandan ramah lingkungan karya pengrajin Tasikmalaya. Selain pengembangan produk, Mulyani juga terus menambah bekal diri berupa ilmu pemasaran. Harapannya tentu agar daya jangkau produknya meluas walaupun ada keterbatasan modal. Dari sisi omzet, setiap bulan De Mey’s menjual sekitar 400 potong mukena hingga gamis. Margin bersihnya sejauh ini tercatat Rp 6 juta sampai Rp 7 juta. Seiring berjalannya waktu, Mulyani meyakini usahanya ke depan akan semakin maju. Semua berkat keridhaan Allah SWT, tekad, kerja keras hingga niat mulia untuk membantu sesama.

Di samping De Mey’s, Mulyani beserta rekan-rekan sejawat yang pernah mengikuti program pertukaran pemuda di Malaysia pada 2012, mendirikan Noesantara Project. Tujuannya adalah menyatukan warisan budaya bangsa seperti seni, bahasa, kerajinan, kuliner, dan kain. Fokus Noesantara Project tidak hanya pengenalan budaya dari pelosok negeri, melainkan juga menggalang donasi melalui wirausaha agar dapat membantu pegembangan kualitas sumber daya manusia di wilayah perbatasan Tanah Air. Mereka memang senang dengan dunia pendidikan dan ingin support pendidikan di daerah perbatasan dengan usaha mereka sendiri. Jadi, Noesantara Project berjalan dengan tujuan keuntungannya didonasikan ke edukasi nonformal anak-anak di perbatasan. Usaha ini diawali dengan pengembangan community development and socioheritagepreneurship kain nusantara. Terdapat dua lokasi pilot project, yaitu di Desa Peltamak Kepulauan Anambas dan Papua. Proyek ini juga melibatkan para penjahit De Mey’s.

Termasuk dari keuntungan De Mey’s Mulyani alokasikan juga untuk kegiatan ini. Produk-produk yang dijual Noesantara Project juga sangat direspons dengan baik oleh pasar. Meski saat ini pengembangan Noesantara Project masih terkendala sejumlah aspek, Mulyani beserta rekan tetap memiliki harapan besar. Mimpinya, program Noesantara Project ini keuntungannya betul-betul bisa dipakai untuk membuka banyak sekolah gratis di perbatasan. Karena dulunya Mulyani dan rekan-rekannya pernah mengabdi dalam pendidikan di perbatasan. Dan bagian sociopreneur-nya juga ingin dikembangkan menjadi online market seperti Tokopedia. Jadi dengan nama Noesantarapedia yang khusus menjual produk etnik dari pengrajin-pengrajin pedalaman yang asli. Hanya saja mimpi ini dikatakan Mulyani masih cukup jauh. Masih banyak PR yang harus ia dan rekan-rekannya lakukan. Namun mereka tetap berharap bisa terus meluruskan niat dan mengajak kawan-kawan seantero nusantara bisa berkontribusi di program ini.




Selasa, 06 September 2016

YENY HERLIANA, Mengisi Hidup Dengan Membantu Sesama Melalui KHADIJAH CHARITY



Yeny Herliana seorang muslimah yang selalu ingin terlibat dalam kegiatan atau aksi-aksi sosial. Ia pernah aktif menjadi anggota Pembinaan Adik Asuh Youth Islamic Study Club (PAYISC) Al Azhar. PAYISC Al Azhar adalah sebuah organisasi yang berada di bawah naungan YISC Al Azhar. Fokus kegiatan PAYISC Al Azhar adalah memberikan pendidikan agama dan umum kepada anak-anak yatim dan dhuafa yang berada atau tinggal di sekitar Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Namun, pada awal 2012 lalu, amanah dan tanggung jawab Yeny di PAYISC Al Azhar telah usai. Setelah itu,  ia berpikir untuk memiliki kegiatan sosial lainnya. Pikiran itu hadir karena ia ingin terus menebar manfaat bagi sesama dan mereka yang membutuhkan. Akhirnya, pada Maret 2012, Yeny menggagas berdirinya Khadijah Charity. Sebuah komunitas yang program dan kegiatannya lebih fokus dalam memberikan bantuan dan layanan kesehatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah atau desa terpelosok.

Menurut Yeny, nama Khadijah dipilih karena dia adalah istri Rasulullah SAW yang pertama, Khadijah juga membantu perjuangannya menegakkan Islam kala itu. Karena semua yang tergabung dalam komunitas itu adalah perempuan, maka tak salah pula bila Yeny memilih nama Khadijah. Yeny mengungkapkan, pada awal berdirinya Khadijah Charity, ia banyak didukung dan dibantu oleh para sahabat seperjuangannya dulu di YISC Al Azhar. Karena mereka juga telah menjadi alumni, dan ingin mencari kegiatan sosial lainnya.

Setelah dibentuk, aksi pertama Khadijah Charity sangat sederhana. Yakni berkunjung ke Rumah Sakit Kanker Dharmais di Slipi, Jakarta Barat. Kemudian memberikan semangat kepada beberapa pasien dan keluarganya untuk tabah menghadapi ujian tersebut. Kendati tidak memberi bantuan materi, namun Yeny yakin dukungan semacam itu juga dibutuhkan oleh pasien di sana. Setelah cukup aktif menggelar kegiatan dan aksi sosial di sekitar Jakarta, Khadijah Charity mulai mencoba menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terpelosok. Ide tersebut muncul setelah Yeni menjalin komunikasi dengan adiknya yang menjadi bidan di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Menurut Yeny, berdasarkan pengakuan adiknya, warga di sana sangat membutuhkan fasilitas dan layanan kesehatan yang layak. Sebab, sebagian besar warga di Hulu Sungai Utara cukup kesulitan untuk mengakses rumah sakit. Di desa tempat adiknya menjadi bidan itu, dibutuhkan waktu enam jam kalau ingin ke rumah sakit. Itu pun pasien juga belum tentu mendapat kamar setibanya di sana. Oleh karena itu, mereka lebih nyaman berobat ke bidan desa. Adiknya pun mengusulkan agar Khadijah Charity bisa membantu warga-warga yang tinggal di Hulu Sungai Utara. Khususnya bantuan berupa layanan kesehatan. Yeny pun lalu mendiskusikan hal itu ke teman-teman Khadijah Charity lainnya. Dan mereka setuju untuk menyalurkan bantuan kesehatan ke sana.

Berkoordinasi dengan adiknya, Yeny pun mulai menyalurkan bantuan kesehatan gratis ke desa di Hulu Sungai Utara. Yang pertama di lakukan adalah mendata para pasien atau warga di sana yang membutuhkan pelayanan kesehatan, beserta estimasi biaya obatnya. Setelah Yeny dan teman-temannya di Khadijah Charity menyetujui, ia pun mengirimkan dana kepada adiknya untuk membeli obat-obatan yang dibutuhkan. Yeny menerangkan, sebetulnya obat-obatan yang dijual di Kalimantan Selatan sudah lumayan lengkap, hanya membelinya saja yang membutuhkan waktu.

Selain itu, pada 2015 lalu, Khadijah Charity, masih melalui perantara adiknya, juga menggelar khitanan massal bebas biaya untuk anak-anak di Hulu Sungai Utara. Untuk khitanan massal tersebut, Yeny dan teman-teman di Khadijah Charity membeli alat dan perlengkapannya di Jakarta, lalu dikirim ke sana. Untuk program menyalurkan bantuan kesehatan kepada warga di Hulu Sungai Utara, Yeny mensosialisasikan kegiatan tersebut di media sosial. Hal ini dilakukan agar Khadijah Charity dapat menjaring para donatur yang ingin mendukung program dan kegiatan mereka. Dan Yeny bersyukur, sekarang Khadijah Charity sudah memiliki donatur yang loyal.

Tidak hanya bantuan kesehatan, Khadijah Charity juga pernah menggelar kegiatan pembagian sembako gratis untuk warga di sana. Pada kegiatan ini, Khadijah Charity, menjalin kerja sama dengan beberapa komunitas lainnya, seperti Pagi Berbagi, Mukena Bersama, dan lain-lain. Tak hanya itu, pada Idul Adha 2015 lalu, Khadijah Charity juga menyalurkan kurban untuk sejumlah masyarakat dhuafa yang tinggal di Lombok dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Untuk kegiatan ini, para anggota Khadijah Charity juga tidak melakukan aksi langsung. Tetapi mengamanahkan biaya kurbannya kepada seorang ustaz dari Al Azhar, yang memang berasal dari sana dan selalu mudik setiap Idul Adha.

Yeny mengungkapkan, saat ini, Khadijah Charity masih memiliki mimpi yang ingin dicapai, yakni membangun sebuah panti jompo. Karena ia kasihan kepada orang tua yang disisihkan anaknya. Orang tua yang pada masa senjanya tidak memiliki pasangan sehingga tak ada lagi yang memperhatikannya. Namun, sebelum mimpi itu terwujud, Yeny dan Khadijah Charity berharap bisa terus hadir dan membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan. Ia juga berharap Khadijah Charity semakin luas lagi menebar manfaat. Karena menurut Yeny, kagiatan dan aksi sosial merupakan salah satu syiar yang ingin ditempuh oleh para anggota Khadijah Charity, dan semoga bisa tetap istiqamah menjalaninya. 

Kamis, 18 Agustus 2016

NABILAH HAYATINA : Aktivis Persatuan Pelajar Indonesia Istanbul, Turki. Menempa Diri Dalam Organisasi.



Kesibukannya menuntut ilmu di Universitas Marmara, Istanbul, Turki, tak membuat Nabilah Hayatina hanya terpaku pada kegiatan-kegiatan akademis kampus semata. Meski sedang berada di negeri orang, ia begitu aktif berorganisasi. Bagi Nabilah, organisasi adalah tempat yang tepat untuk menempa dan mengaktualisasi diri. Sejak 2013 lalu, Nabilah memilih aktif dalam organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul. Ia juga merupakan penggagas berdirinya Forum Lingkar Pena (FLP) Turki.

Perkenalannya dengan PPI Istanbul memang tak terjadi tiba-tiba. Setelah diterima sebagai mahasiswa di Universitas Marmara, Nabilah segera mencari tahu tentang keberadaan perhimpunan atau organisasi pelajar Indonesia di sana. Setelah menyelisik melalui media sosial, ia pun menemukan organisasi bernama PPI Istanbul. Anggota PPI inilah yang mulanya membantu Nabilah mempersiapkan berbagai kebutuhan ketika tiba di Istanbul, seperti mendaftar di asrama, mengurus asuransi, dan lain-lain. Saat mendapat info bahwa PPI Istanbul tengah mencari anggota-anggota baru untuk menjadi pengurus, Nabilah pun langsung bergabung dan aktif di organisasi tersebut. Nabilah langsung diminta menempati posisi sekretaris PPI Istanbul. Amanah dan kesempatan itu tak disia-siakan. Ia mencoba semampunya untuk memberi kontribusi terbaik bagi organisasinya. Usaha dan keseriusannya mengemban tanggung jawab PPI Istanbul pun menuai hasil positif. Setahun kemudian, ia diamanahi jabatan baru sebagai wakil ketua PPI Istanbul.

Sejak didaulat menjadi wakil ketua, Nabilah pun menginisiasi sejumlah kegiatan. Salah satunya, menyelenggarakan Indonesian Association in Istanbul Youth Forum (ISAIYF). Untuk kegiatan ini PPI Istanbul mengundang seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di Turki untuk berpartisipasi. Pada ISAIYF 2015 Nabilah mengusulkan tema “Youth Entrepreneur”. Jadi mereka mengundang salah satu motivator dari Amerika Serikat, dan direktur Indomie di Istanbul, yakni Muhammad Yusuf Ahmad. Selain itu, ia juga mengajak para anggota PPI Istanbul yang berjumlah sekitar 230 mahasiswa untuk terlibat aktif dalam aksis sosial, yakni membantu warga Suriah yang tengah dilanda bencana kemanusiaan. Selain uang, mereka mencoba memberi bantuan berupa makanan, obat-obatan, dan pakaian kepada warga Suriah, baik yang masih berada di negaranya maupun yang sudah mengungsi ke Istanbul. Namun, khusus bantuan langsung ke Suriah, PPI Istanbul tidak melakukannya sendiri. Mereka bekerja sama dengan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk mendistribusikannya. Hal ini karena PPI Istanbul, yang tergolong sebagai organisasi pelajar dilarang mendekati zona perbatasan antara Turki dan Suriah.

Kegiatan lainnya yang dikerjakan PPI Istanbul, adalah mempromosikan kebudayaan dan kesenian Indonesia di sana. Setiap tahunnya, PPI Istanbul selalu berpartisipasi dalam festival kebudayaan internasional yang digelar di Istanbul. Dalam festival tersebut, persatuan atau perhimpunan pelajar asing, seperti PPI Istanbul diharuskan untuk membuat gerai yang memberikan informasi tentang negaranya masing-masing. Nantinya, gerai tersebut akan dinilai oleh pihak panitia. Jadi, di gerai itu PPI Istanbul menyuguhkan berbagai informasi tentang Indonesia, mulai dari makanannya, keseniannya, kebudayaannya, dan lain-lain. Selain itu, peserta festival juga diminta untuk mementaskan salah satu kesenian, dalam konteks ini berbentuk musik, tari, dan nyanyian tradisi untuk dilombakan pula. Dan dengan penuh rasa syukur, Nabilah mengungkapkan, untuk lomba tari dan nyanyi, PPI Istanbul berhasil menang dua kali berturut-turut sejak 2012. Sedangkan untuk gerainya, berhasil tiga kali menang berturut-turut.

Untuk berpartisipasi dalam festival kebudayaan internasional tersebut, PPI Istanbul memang tidak bekerja sendiri. Tapi, dibantu oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Istanbul, terutama untuk penyediaan kostum peserta tari, musik, dan nyanyian tradisi. Menurut Nabilah, keguyuban dan prestasi yang ditorehkan oleh PPI Istanbul telah menginspirasi sejumlah mahasiswa mancanegara di sana. Mereka cukup kagum dengan keakraban anggota PPI Istanbul walaupun sedang jauh dari negara asal. Terlebih lagi, PPI Istanbul memang cukup sering menyelenggarakan berbagai kegiatan. Dan Nabilah berpendapat, berbagai kegiatan yang diselenggarakan PPI Istanbul adalah proses syiar untuk memperkenalkan budaya dan wajah masyarakat Indonesia. Selain itu, karena penduduk Indonesia mayoritas adalah Muslim, hal ini juga merupakan kesempatan untuk mensyiarkan Islam. Anggota PPI Istanbul, terutama perempuannya, kata Nabilah, mayoritas memang berhijab. Karena itu, mereka ingin memperkenalkan kepada lingkungan di sana tentang Islam di Indonesia itu seperti apa. Agar dapat dimengerti bahwa Islam itu  seperti sejatinya, yakni hangat, damai, dan jauh dari sifat kekerasan.
  
Kendati kini tak lagi menempati posisi strategis, Nabilah tetap aktif di PPI Istanbul. Hingga saat ini, ia juga masih sering diminta untuk menjadi pemandu diskusi rutin yang digelar PPI Istanbul. Walaupun waktu dan tenaganya cukup terkuras untuk berorganisasi, pada Februari 2014 lalu Nabilah masih mampu menggagas berdirinya FLP Turki. Ini merupakan wujud dari kegemarannya menulis sastra. FLP Turki berdiri ketika sastrawan Helvy Tiana Rosa berkunjung ke Istanbul pada awal 2014. Nabilah sempat bertemu beliau dan mengusulkan untuk mendirikan FLP Turki. Helvy Tiana Rosa pun sangat bersemangat dan menyambut hangat usulannya. Setelah melalui beberapa diskusi dan persiapan, FLP Turki akhirnya resmi dibentuk dan diresmikan di kantor KJRI di Istanbul.


Tak lama setelah acara peresmian tersebut, FLP Turki segera menerbitkan sebuah buku berjudul Dari Negeri Dua Benua. Buku itu adalah kumpulan cerita pendek, yang juga terdapat karya Nabilah di dalamnya. Saat ini, anggota FLP Turki, telah mencapai 75 orang. Mayoritas anggotanya adalah mahasiswa. Sisalnya adalah warga Indonesia yang tinggal di Turki. Adapun kegiatan-kegiatan rutin yang diselenggarakan FLP Turki untuk para anggotanya, antara lain, seminar dan diskusi sastra. Namun, menurut Nabilah, untuk diskusi sastra tidak bisa terlalu sering diselenggarakan, karena untuk mengundang narasumbernya harus menunggu momen yang tepat, seperti saat kedatangan Helvy Tiana Rosa ke Istanbul. Di tengah kegiatannya yang cukup padat, Nabilah mengaku, kuliahnya sama sekali tak terganggu. Bahkan, saat ini ia sedang menggarap sebuah buku yang rencananya akan diberi judul Hafizah Itu Proyek Hidup. Buku tersebut ditulis semata-mata untuk memotivasi diri yang tengah berupaya menghafal Alquran. Rencananya, Nabilah akan merilis buku itu di Indonesia pada 2017.