Senin, 02 Oktober 2017

Agnes Widyastuti, Sang Inisiator Selamat ( Sosialiasi Edukasi Keselamatan Berlalu Lintas) - Save The Children.

Sosialisasi Edukasi Keselamatan Berlalu-lintas (Selamat) adalah salah satu program milik Save The Children (STC). STC adalah sebuah organisasi yang program atau kegiatannya fokus menangani persoalan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Adapun tujuan dari program Selamat adalah untuk mengedukasi anak-anak, termasuk para orang tua, tentang pentingnya kepatuhan dan keamanan dalam berlalu lintas. Agnes Widyastuti adalah sosok yang menginisiasi lahirnya program Selamat. Muslimah yang juga menjabat sebagai senior program officer di STC ini mengungkapkan, program Selamat telah dilaksanakan sejak Oktober 2014 lalu. Ia mengaku, memiliki beberapa alasan yang mendorongnya menciptakan program tersebut.

Alasan yang paling utama, kata Agnes, adalah meningkatnya angka kematian anak dan remaja akibat berkendara di jalan raya dalam satu dekade terakhir. Menurutnya, naiknya angka kematian anak dan remaja tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dalam lingkup global. Badan kesehatan dunia atau WHO sampai menetapkan, kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebagai penyakit tidak menular. Ini saking masifnya angka kecelakaan di dunia. Di Indonesia, Agnes tak memungkiri, kesadaran masyarakat tentang pentingnya keamanan dan keselamatan anak-anak serta remaja di jalan raya memang masih minim. Dalam konteks ini, Agnes menyoroti satu persoalan utama, yakni masih cukup banyaknya orang tua mengizinkan anaknya, yang notabene secara hukum belum bisa mendapatkan surat izin mengemudi, untuk membawa kendaraan sendiri di jalan raya. Baik berupa motor maupun mobil.

Padahal, pengetahuan dan kesadaran anak-anak serta remaja tentang pentingnya keamanan dan keselamatan berlalu-lintas masih sangat terbatas. Kalangan remaja atau pelajar yang membawa sepeda motor, misalnya, kerap mengabaikan keselamatan diri dengan tidak menggunakan helm saat berkendara. Ini contoh yang sering terjadi. Akibatnya, cukup banyak nyawa anak dan remaja yang terenggut ketika mereka berkendara di jalan raya. Dan, tren atau angka kematian ini (remaja dan anak di jalan raya) terus meningkat di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Fenomena tersebut yang menyebabkan Agnes memelopori lahirnya program Selamat. Menurutnya, pengetahuan tentang keselamatan berlalu lintas adalah hal yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Apalagi kalau mengetahui, anak-anak atau remaja ini tidak hanya menjadi korban kecelakaan lalu lintas saja, tapi terkadang juga menjadi pelaku.

STC yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat ini menyasar sekolah-sekolah di sekitar Bandung, terutama SD dan SMP. Dipilihnya sekolah sebagai target program karena selain anak-anak dan remaja, di sana juga terdapat kalangan lain yang dapat diedukasi, yakni para guru sekaligus orang tua murid. Khusus untuk pelatihan dan pembinaan terhadap anak-anak, proses awal yang dilakukan adalah menyeleksi perwakilan siswa di sekolah. Para perwakilan tersebut, nantinya akan diberikan materi tentang keselamatan berlalu lintas. Kegiatan pembinaan dilaksanakan selama tiga hari. Adapun lokasi yang dipilih Agnes untuk kegiatan ini, yakni di Taman Lalu Lintas dan Taman Pramuka Bandung. Pada kegiatan pelatihan dan pembinaan tersebut, para perwakilan siswa dari sekolah masing-masing akan diedukasi tentang berbagai hal terkait keselamatan berlalu lintas. Mereka diperkenalkan pada rambu-rambu atau marka jalan, termasuk bagian jalan. Tidak hanya diperkenalkan pada rambu atau marka jalan, anak-anak tersebut juga diberitahu tentang alasan dan di mana biasanya rambu tersebut muncul.

Menurut Agnes, selama ini baik para orang tua maupun sekolah, biasanya hanya meminta anak-anak untuk menghafal rambu beserta artinya. Tapi tak diberi pemahaman lebih lanjut tentang fungsi rambu tersebut ketika muncul di jalan raya. Padahal, internalisasi nilai terkait hal ini lebih penting dan signifikan dibandingkan hanya menghafal. Selain rambu, pada sesi pelatihan dan pembinaan tersebut, anak atau siswa perwakilan sekolah juga ditekankan tentang fungsi dan pentingnya perlengkapan keselamatan berlalu lintas, seperti helm atau sabuk pengaman. Hal ini untuk menumbuhkan kesadaran mereka perihal bahayanya berkendara tanpa mengenakan perlengkapan keamanan atau keselamatan.

Dari proses pembinaan dan pelatihan selama tiga hari tersebut, tak sedikit siswa yang menindaklanjuti informasi yang diperolehnya dengan menciptakan karya-karya kreatif. Seperti video, komik, stiker, dan lainnya. Semua konten dari karya kreatif tersebut berisi seputar keselamatan berlalu lintas. Kegiatan pelatihan anak atau siswa ini dinamakan 'Penggerak Teman Sebaya'. Pelaksanaan kegiatan Penggerak Teman Sebaya telah dilaksanakan di 30 sekolah, terdiri dari 15 SD dan 15 SMP. Adapun target siswa yang hendak diedukasi dari kegiatan ini yakni sekitar 9000 siswa di seluruh Bandung. Agnes menjelaskan, program Selamat adalah proyek berjangka empat tahun dari STC. Dimulai pada 2014 dan diakhiri pada 2018.

Pada sesi pembinaan atau edukasi kepada orang tua siswa dan guru, terdapat beberapa poin yang ditekankan. Pertama adalah perihal keteladanan mereka dalam berkendara dan berlalu lintas. Misalnya, ada di antara mereka (orang tua/guru) yang mengendarai motor tanpa mau menggunakan helm karena alasan jaraknya dekat atau tidak ada polisi. Contoh kasus lainnya, adalah ketika mereka tidak mematuhi rambu atau marka jalan yang ada di jalan raya. Hal-hal seperti ini, menurut Agnes, memberikan contoh ketidakdisiplinan dan pada akhirnya diikuti oleh anak mereka masing-masing.

Selain keteladanan, materi lain yang diberikan kepada perwakilan orang tua murid dan guru adalah tentang keamanan dan keselamatan berkendara. Misalnya, tidak menempatkan anak di depan ketika mengendarai motor. Ini memang sering terjadi. Padahal kalau terjadi kecelakaan, potensi anak untuk cedera fatal sangat besar ketika mereka posisinya berada di depan. Begitu juga dengan mobil. Menurut Agnes, belum banyak orang tua mengetahui, anak yang berusia di bawah 12 tahun atau tingginya kurang dari 135 cm, sepatutnya tidak ditempatkan di kursi depan. Tidak kalah penting, perihal ketegasan dan komitmen orang tua untuk tidak mengizinkan anaknya membawa kendaraan bermotor ketika usianya belum mencukupi.

Agnes berharap, program Selamat dapat berkontribusi dalam menekan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak-anak serta remaja di dalamnya. Khususnya anak-anak dan remaja yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat. Secara nasional, Agnes menjelaskan, Jawa Barat menempati posisi ketiga sebagai provinsi dengan angka kecelakaan tertinggi di Indonesia. Menurut Agnes, kesadaran tentang keselamatan berlalu lintas penting untuk ditumbuhkan, tidak hanya kepada anak-anak dan kalangan remaja, tapi masyarakat secara umum. Sebab, patuh dan tertib dalam berlalu lintas adalah sebuah kebaikan. Dan, sebagai seorang Muslimah, ia merasa wajib untuk mengingatkan dan mengajak orang-orang di sekitarnya pada kebaikan. 

Rabu, 26 Juli 2017

Ni Nyoman Indirawati Kusuma : Pendiri Komunitas Perempuan Untuk Indonesia Sehat. Sarana Edukasi Kesehatan Untuk Perempuan dan Remaja


Sebagai seorang dokter, Ni Nyoman Indirawati Kusuma memiliki perhatian khusus terhadap bidang kesehatan, terutama terhadap kesehatan kaum perempuan dan anak-anak. Tingginya angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia menjadi keprihatinan perempuan yang akrab disapa Indirawati ini. Pada Juni 2015, Indirawati menginisiasi berdirinya Komunitas Perempuan untuk Indonesia Sehat (KPIS). Melalui komunitas ini, ia ingin memberikan edukasi pada masyarakat, khususnya kalangan remaja, tentang rawan dan bahayanya hamil dalam usia muda. Terlebih, bila kehamilan tersebut terjadi di luar pernikahan. Dia menjelaskan, faktor-faktor itulah yang menyebabkan peningkatan jumlah kematian ibu melahirkan di Indonesia.

Indrawati terdorong untuk menjadi bagian dari solusi masalah tersebut. Terlebih, Indonesia tidak dapat memenuhi target kematian ibu akibat melahirkan yang telah dicanangkan badan kesehatan dunia atau WHO pada 2015. Padahal, angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia sempat menurun pada 2013 dan 2014. Tapi ternyata, di tahun 2015 angka kematian ibu akibat melahirkan naik lagi. Menurutnya, angka kematian ibu meningkat karena beberapa hal. Dari akses kesehatan yang kurang memadai, minimnya pengetahuan tentang kesehatan kandungan, dan lainnya. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini masih cukup banyak yang memanfaatkan dukun untuk masalah kehamilan.

Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya angka kematian ibu akibat melahirkan adalah degradasi moral. Menurutnya, tak sedikit kalangan remaja di Indonesia yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. Hamil pada usia yang belum ideal tentu sangat rawan bagi seorang perempuan. Potensi si perempuan untuk meninggal cukup besar. Ditambah lagi kehamilannya yang di luar pernikahan, yang pasti tidak diinginkan, hal itu juga akhirnya menekan sisi mental atau psikis dari si perempuan itu sendiri. Bertolak dari kekhawatiran tersebut, Indirawati tergerak untuk membuat sebuah gerakan atau komunitas yang fokus terhadap hal ini, yakni kesehatan perempuan dan pergaulan remaja. Dan, pada pertengahan 2015, ia mendirikan KPIS dengan dibantu beberapa teman-teman kampusnya serta rekan-rekannya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Misi dari komunitas ini adalah gerakan perempuan untuk mewujudkan Indonesia sehat.


Sebelum membuat program kerja, Indirawati dan beberapa anggota KPIS lainnya terlebih dulu melakukan kunjungan kepada tokoh atau pihak yang memiliki perhatian serupa dengan KPIS. Mereka sempat meminta masukan dari anggota DPR RI, seperti Ledia Hanifa, dan Eva Sundari. Tak kurang, mereka pun sowan ke beberapa tokoh KPAI. Dengan demikian, ia mendapatkan pengetahuan teraktual, khususnya tentang isu dan gerakan kesehatan perempuan yang tengah dirintisnya. Indirawati mengaku mendapatkan beberapa masukan dan saran setelah melakukan pertemuan dengan pihak dan tokoh-tokoh tadi. Salah satunya adalah, pentingnya untuk menangani degradasi moral yang terjadi di kalangan remaja. Salah satu penyebab degradasi moral ini adalah karena semakin mudahnya akses terhadap konten pornografi. Hal ini menyebabkan remaja cukup rentan untuk melakukan perbuatan zina.

Oleh sebab itu, salah satu program yang dilakukan KPSI sejak 2015 hingga saat ini adalah membentuk sekolah-sekolah binaan. Khususnya sekolah di tingkat SMA, di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Bengkulu, Pontianak, dan Bandung. Indirawati menilai, salah satu yang paling rentan terhadap perbuatan zina atau melakukan seks bebas adalah kalangan remaja di tingkat SMA. Untuk program sekolah binaan ini, Indirawati telah menyusun kurikulum khusus. Secara umum, kurikulum itu membimbing remaja agar tak terjerembap dalam pergaulan negatif. Bahwa mereka harus memandang dirinya berharga dan bermartabat sehingga tidak boleh sembarangan orang menyentuh dirinya. Selanjutnya, diberikan juga hal-hal yang bersifat pengetahuan.

Ketika mendatangi sekolah-sekolah binaan KPIS di beberapa daerah di Indonesia, Indirawati juga selalu mengisahkan pengalamannya sebagai dokter umum. Dia mengaku pernah menangani pasien remaja yang terpaksa harus kehilangan nyawanya akibat mengandung dalam usia yang belum ideal dan di luar pernikahan. Pasien yang masih berumur 14 tahun itu tidak kuat menahan rasa sakit hingga akhirnya meninggal bersama bayinya. Kasus lainnya, Indirawati pernah mendapatkan seorang pasien perempuan berusia remaja dan mengidap penyakit infeksi menular seksual. Ternyata penyakit tersebut ditularkan oleh pacarnya, yang notabene pernah melakukan seks bebas.

Dari kisah-kisah tersebut, dia pun memasukkan nilai-nilai sekaligus mengimbau siswi-siswi di sekolah binaan tersebut agar tak memiliki nasib serupa dengan pasiennya. Menurut Indirawati, ia paham karena sifat remaja biasanya memang tidak mau dinasehati. Jadi, ia sengaja memakai cerita-cerita dari pengalamannya untuk mendorong mereka agar tidak terjebak dalam pergaulan negatif. Di sekolah-sekolah binaan tersebut, KPIS juga melakukan pemilihan duta pergaulan sehat. Duta tersebut nantinya akan menjadi representasi KPIS di sekolah. Kampanye yang disuarakan KPIS terkait kesehatan perempuan dapat tetap berkelanjutan di sana.

Indirawati mengaku selama ini sekolah-sekolah SMP atau SMA yang didatanginya untuk dijadikan sekolah binaan tak pernah menolak kehadiran KPIS. Ia menilai hal itu terjadi karena pihak sekolah menyadari bahwa mereka belum memberikan materi atau pendidikan tentang kesehatan perempuan. Kendati KPIS baru berdiri di tahun 2015, dan kegiatan atau programnya belum menuai hasil optimal, Indirawati memiliki harapan besar terhadap komunitas dan gerakan yang dirintisnya ini. Harapannya tentu bisa memberikan perubahan yang lebih baik untuk Indonesia, khususnya dalam bidang kesehatan perempuan.

Rabu, 19 Juli 2017

Eva Nukman, Mantan Apoteker Yang Terjun Dalam Pengembangan Literasi dan Buku Anak.


Meningkatkan kualitas buku anak serta memberi kemudahan bagi anak-anak Indonesia di berbagai daerah terpelosok untuk mengakses buku adalah salah satu harapan Eva Nukman. Kendati sempat berkarier dalam bidang farmasi sebagai seorang apoteker, hasrat untuk mewujudkan harapannya itu masih tertanam dalam dirinya. Pada 2014, Eva akhirnya menggagas berdirinya Yayasan Literasi Anak Nusantara (Litara). Yayasan ini merupakan alat yang digunakan Eva untuk merealisasikan harapannya tersebut. Dia mengungkapkan, sejak masih duduk di bangku SMP dan SMA di Padang, Sumatera Barat, ia memang hobi menulis puisi. Pada suatu momen, puisi yang ditulisnya sempat diterbitkan oleh salah satu harian lokal di sana.

Kebiasaan menulis itu berlanjut ketika ia menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sewaktu kuliah, Eva sudah cukup aktif menerjemahkan berbagai buku, seperti buku nonfiksi dan sains populer. Ketika lulus kuliah dan menekuni profesi sebagai apoteker, Eva tak melepaskan kebiasaannya menulis. Ia masih tetap aktif di dunia penerjemahan medis. Ia banyak menerjemahkan dokumen-dokumen kefarmasian, seperti dokumen uji klinis suatu obat, membuat panduan manual alat kesehatan, dan lainnya. 

Setelah menikah dan memiliki tiga orang anak, Eva sering terlibat diskusi dengan dua orang temannya, yang notabene telah memiliki anak pula dan merupakan temannya sewaktu di ITB. Diskusi tersebut berkisar tentang pendidikan anak serta buku anak. Dalam diskusi tersebut, Eva beserta dua temannya memiliki keresahan yang sama tentang buku-buku anak di Indonesia. Keresahan pertama berkaitan dengan konten buku anak, yang menurut mereka, cukup kaku karena hanya didominasi pesan moral berupa teks tanpa disertai ilustrasi gambar atau visual yang pas untuk anak-anak. Bukan berarti pesan moral itu tidak penting, tapi menurut Eva, kalau bisa disampaikan dengan cara yang lebih asyik dan menyenangkan, mengapa tidak ?


Keresahan kedua masih berkaitan dengan buku, tapi dalam konteks pendidikan anak secara menyeluruh. Menurut Eva, hingga saat ini penyebaran buku-buku anak masih lebih banyak di kota-kota besar saja. Di daerah terpencil, anak-anak masih kesulitan untuk mengakses buku. Ia menghendaki kemudahan akses terhadap buku-buku ini dapat pula dinikmati oleh seluruh anak di Indonesia.

Bertolak dari keresahan itu, Eva dan dua temannya merasa perlu untuk membuat sebuah gerakan. Kendati belum terpikir untuk mendirikan sebuah yayasan literasi anak, Eva dan dua temannya telah mencoba menulis buku anak pada 2012. Kegiatan menulis tersebut semata-mata ikhtiar awal untuk menciptakan buku anak yang berkualitas, baik dalam segi pesan, alur cerita, maupun ilustrasi dan visualisasinya. Pada tahun yang sama, Eva dan teman-temannya berhasil merampungkan tiga buku anak dan menerbitkannya secara eksklusif atau belum masif. Adapun buku-buku tersebut berisi tentang kisah anak-anak dengan latar atau setting tempat di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu buku karya Eva adalah Misteri di Pasar Terapung. Buku ini menceritakan petualangan seorang anak di Banjarmasin dengan pasar terapungnya.

Eva memang memiliki alasan tersendiri mengapa menulis buku dengan latar daerah. Menurutnya, keterwakilan anak-anak Indonesia di dalam buku anak memang belum terjadi. Buku anak rata-rata selalu memilih setting di perkotaan. Padahal, mengambil setting dan menciptakan tokoh anak daerah di dalam buku anak tak kalah penting. Sebab, dengan demikian anak tak hanya sekedar membaca, tapi bisa juga mengenal berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia.


Ketiga buku yang dibuat Eva dan dua orang temannya kemudian dibawa ke sebuah festival buku anak internasional di London, Inggris. Selain untuk mengetahui respons masyarakat dunia terkait buku yang dibuatnya,  kehadirannya di sana juga dalam rangka menimba ilmu dan pengetahuan dari beragam tokoh literasi anak dunia, seperti penulis atau ilustrator buku anak tersohor. Dan ternyata, respons hadirin di sana terhadap bukunya cukup bagus. Setahun berikutnya, Eva dan dua temannya telah menulis hampir 15 judul buku anak dengan memperkaya latar daerah-daerah di Indonesia dan ide ceritanya. Buku tersebut kemudian ia hadirkan kembali dalam festival buku anak internasional di Singapura. Sama seperti di London, Inggris, di Singapura buku karya Eva pun mendapat apresiasi positif dari pengunjung di sana.

Setelah berpartisipasi dalam dua festival buku anak internasional tersebut, pada 2014 Eva kemudian menggagas berdirinya Yayasan Litara. Lewat yayasan ini, ia memiliki beberapa misi yang hendak dicapai. Pertama, adalah mengajak penulis dan kreator buku anak, termasuk ilustrator, untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Dalam konteks ini, Eva ingin buku anak tidak hanya sekedar mengedepankan aspek pesan moral semata. Tapi juga harus memperkaya visualnya agar imajinasi anak bisa tumbuh. Seperti disinggung sebelumnya, Eva ingin anak-anak di seluruh Indonesia dapat mengakses buku-buku dengan mudah. Di sinilah sisi sosial Yayasan Litara. 

Pada tahun yang sama, Yayasan Litara berhasil menjalin kerja sama dengan sebuah lembaga yang juga fokus dalam bidang literasi, yakni Room To Read (RTR). RTR adalah organisasi global asal Amerika yang fokus mengembangkan kehidupan literasi anak-anak di negara-negara Asia dan Afrika. Lewat misi yang sama, RTR dan Yayasan Litara bekerja sama dalam menyelenggarakan lokakarya kepenulisan buku anak. Namun, peserta dari lokakarya ini diwajibkan mengikuti seleksi terlebih dulu. Proses seleksinya diserahkan kepada Yayasan Litara. Waktu itu Eva menginformasikan lokakarya ini di media sosial Facebook, salah satunya ke akun forum komunitas bacaan anak yang anggotanya sudah mencapai belasan ribu.


Setelah diseleksi, sejumlah penulis dan ilustrator buku anak pilihan Yayasan Litara dipersilahkan mengikuti lokakarya bersama RTR. Menurut Eva, secara umum, mereka diajarkan tentang metode menulis buku anak yang baik. Eva mengatakan, kerja sama dan lokakarya bersama RTR telah berlangsung dua kali, yakni pada 2015 dan 2016. Dari kegiatan tersebut, peserta lokakarya, yang notabene seorang penulis dan ilustrator, berhasil membuat beberapa karya berupa buku cerita bergambar untuk anak. Buku-buku tersebut akhirnya dicetak secara massal untuk dibagikan gratis ke sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai daerah terpelosok di Indonesia.

Selasa, 04 Juli 2017

Ida Nuraini Noviyanti, Pendiri Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara. Bentuk Wadah Pendidikan Islami Untuk Para Orang Tua.


Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara (HSMN) pada awalnya didirikan untuk memberikan penyuluhan dan pengetahuan kepada orang tua yang hendak mengambil jalur pendidikan home schooling untuk anak-anaknya. Lambat laun, Ida Nuraini, pendiri HSMN, menjadikan komunitas itu sebagai wadah untuk memberikan pendidikan Islam berbasis Al-Quran dan sunah kepada para orang tua guna dipaparkan dan diajarkan kepada anaknya.

Sebelum aktif di HSMN, Ida merupakan seorang dosen di salah satu universitas Islam swasta di Bandung, Jawa Barat. Kala itu, Ida telah memiliki dua orang anak berusia SD. Dan keduanya, ia berikan pendidikan secara home schooling. Menurutnya, cukup banyak yang mempertanyakan alasan dia memilih home schooling untuk anaknya. Terlebih, Ida beserta ayahnya dan suaminya memiliki latar belakang sebagai pendidik, yang biasanya sangat ketat mengenai proses pendidikan anak.

Pada suatu waktu, Ida akhirnya diundang untuk menjadi narasumber oleh Forum Curhat Emak Rempong (Forcer). Forcer merupakan sebuah grup di Facebook yang beranggotkan ibu-ibu dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas pelbagai hal tentang keluarga, mulai dari parenting, pola asuh, dan lainnya. Ketika itu Ida diundang untuk menceritakan pengalaman dan alasannya mengambil jalur pendidikan home schooling untuk anaknya. Diskusi tersebut berlangsung secara virtual melalui forum Facebook Focer. Pada kesempatan itu, Ida pun menerangkan perihal alasan mengambil pendidikan home schooling untuk anaknya. Dia mengatakan bahwa sengaja mengambil home schooling agar anaknya bisa memilih apa yang menjadi minatnya. Jadi, pendidikan home schooling memang lebih ditekankan kepada minat anak, seperti sains.

Kendati memberikan pendidikan sesuai minat anak, Ida juga tidak lupa untuk membekali anaknya dengan ilmu agama. Menurutnya, ilmu agama tetap penting untuk diberikan sedini mungkin. Ketika tengah berdiskusi dengan forum Focer, salah satu anggotanya mengajukan pertanyaan kepada Ida. Dia bertanya apakah ada home schooling khusus Muslim. Sepengetahuan Ida, saat itu memang belum ada home schooling khusus Muslim. Dari pertanyaan itu, Ida terpikir untuk membuat sebuah grup atau komunitas baru, yakni komunitas home schooling Muslim. Salah satu tujuan awal dari komunitas ini tak lain, yakni untuk memberikan wadah tersendiri bagi para orang tua yang memang ingin mengetahui banyak hal atau mungkin berbagi tentang pengalaman home schooling. Tanpa menunggu lama, Ida akhirnya meminta anggota forum Focer untuk mengirimkan nomor ponselnya masing-masing. Jadi, Ida tidak perlu membuat grup Facebook, tapi lebih memilih grup Whatsapp karena lebih mudah dan hampir semua orang pasti pakai aplikasi ini.

Pada awalnya grup tersebut memang bernama Home Schooling Muslim. Tapi, ada yang memberi usulan agar grup ini diberi nama Home Schooling Muslim Nusantara. Akhirnya pada 17 September 2014, HSMN terlahir. Seperti nama grupnya, pada awalnya diskusi antar anggota grup hanya seputar kegiatan atau pengalaman home schooling anak mereka masing-masing. Adapun tema diskusinya, seperti metode belajar bagi anak home schooling, legalitas home schooling, dan lainnya.

Banyaknya orang tua yang hendak bergabung dengan komunitas HSMN membuat Ida membagi grup Whatsapp HSMN menjadi 17. Anggotanya disesuaikan dengan domisili mereka. Jadi, ada 17 daerah di Indonesia, mencakup Jabodetabek, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Solo, Sulawesi, Kalimantan, Medan, dan lainnya. Setelah cukup banyak anggota dan grup, diskusi tidak lagi seputar home schooling saja, tapi juga merangkum berbagai hal. Misalnya, cara orang tua mendidik anak-anak mereka agar memiliki akidah dan akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam. Bertolak dari hal tersebut, Ida pun mulai merancang program tersendiri untuk para anggota HSMN. Jadi, Ida membuat kegiatan kajian online dan offline yang rutin untuk para anggota. Kajian ini tentu mengusung tema keislaman, seperti keimanan, Al-Quran, dan lainnya.


Untuk kajian online, dilakukan melalui grup Whatsapp yang telah tersedia. Sedangkan, penyelenggaraan kajian offline bertempat di lokasi yang ditentukan oleh anggota HSMN wilayah masing-masing. Misalnya, di rumah, di masjid, atau menyewa tempat tertentu. Baik kajian online maupun offline, juga selalu mengundang narasumber dari kalangan ustaz atau ustazah. Ida mengaku, memang memiliki misi tersendiri dari penyelenggaraan kajian-kajian keislaman untuk para anggota HSMN tersebut. Tujuan utama tentu untuk menambah pengetahuan para orang tua tentang berbagai ilmu keislaman yang sahih. Selain itu, tema-tema kajian keislaman yang dihadirkan diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk anak ketika mereka belajar dengan orang tuanya masing-masing. Karena para anggota memang selalu menekankan pentingnya anak untuk belajar persoalan agama agar mereka bisa menjaga keimanannya.

Setelah berlangsung lebih dari dua tahun, HSMN telah bernaung di bawah yayasan dan berbadan hukum. Adapun kantor pusat HSMN berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Ida berharap, ke depan, visi HSMN dapat terwujud. Yakni, menjadi komunitas pendidikan keluarga Muslim berbasis Al Quran dan sunah. Hingga pada akhirnya, para anggotanya bisa membangun keluarga dan generasi penerus Islam berakhlak karimah.

Jumat, 09 Juni 2017

Marctriera Krystiana Putri, Pendiri LBM Quranic Baby Club, Wadah Pendidikan Islami Untuk Balita.

Sebuah playdate dilaksanakan di Universitas Al Azhar Indonesia, akhir 2014 lalu. Kegiatan itu sederhana. Hanya diikuti lima anak yang didampingi ibunya. Kala itu, Marctriera Ktystiana Putri sebagai penggagas playdate itu, membuat simulasi play and movement. Dia hendak mengisahkan cerita Nabi Shaleh dengan cara menyenangkan untuk anak-anak. Bentuknya adalah kreasi membuat wayang unta, kemudian story telling tentang unta Nabi Shaleh. Ibu yang akrab disapa Rera ini mengaku kegiatan tersebut berjalan sesuai rencana. Anak-anak pun cukup antusias mengikuti kegiatan kala itu. Hanya, menurut mantan trainer di Sekolah Karakter Indonesia Heritage Foundation ini, waktu itu kendalanya ada di tempat. Karena diselenggarakan secara dadakan, maka tidak berhasil mendapatkan tempat di dalam ruangan. Sedangkan, anak-anak usia satu hingga dua tahun, ketika bermain di luar ruangan, agak sulit mengkondisikan diri agar tetap fokus.

Melihat antusiasme anak-anak dalam kegiatan playdate perdana itu, Rera terpikir untuk menggelar kegiatan serupa untuk kedua kalinya. Kali ini, ia mulai menawarkan kepada teman-temannya untuk terlibat sebagai relawan penyelenggara, mencakup kegiatan perlengkapan, sewa tempat, dan lainnya. Dua pekan kemudian, playdate anak-anak pun digelar kembali di SMP Al Azhar Jakarta. Jumlah peserta meningkat menjadi 10 anak. Kegiatan yang dibuat Rera cukup beragam. Rera masih memainkan play and movement. Anak-anak berkumpul bersama di lapangan, membentuk lingkaran, lalu membaca doa pembuka al-Fatihah. Ada kegiatan senam dan olah tubuh juga, kemudian memperkenalkan mereka kepada huruf-huruf Hijaiyah, serta kegiatan sentra, yaitu membuat playdough.

Setelah menjalani beberapa kali playdate, Rera memutuskan untuk serius dengan aktivitasnya tersebut. Pada 2015, dia mendirikan Little Bee Meals (LBM) Quranic Baby Club, yakni sebuah wadah pendidikan khusus balita dan anak-anak. Salah satu visi LBM Quranic Baby Club adalah menyelenggarakan pendidikan dini untuk balita dan anak-anak berbasis Al-Quran dan sunah. Rera merupakan Muslimah yang pertama kali mencetuskan ide pembentukan LBM Quranic Baby Club. Sebagai seorang ibu, ia menyadari, pendidikan agama memang perlu diberikan kepada anak-anak sedari dini. Tujuannya tak lain, yakni agar anak-anak kelak menjadi generasi Muslim yang cerdas dan tangguh.

Rera pun mulai membentuk tim yang lebih profesional dan membuat perencanaan yang lebih matang. Dari segi kurikulum, kegiatan, maupun administrasi keuangan diperhatikan. Ia juga meminta kesediaan para orang tua, yang notabene merupakan teman-temannya di tempat pengajian, untuk terlibat dalam tim penyelenggara. Secara khusus, Rera bahkan, merekrut dua pengajar yang memang memiliki latar pendidikan keguruan. Setelah membentuk sebuah tim, Rera mulai memikirkan nama untuk wadah pendidikan anak yang dirintisnya. Istilah akronim LBM pun diambil dari nama grup obrolan Whatsapp Little Boo Meals, grup obrolan untuk ibu-ibu hamil. Seiring berjalannya waktu, Rera lantas mencari nama yang lebih bermakna dan memiliki filosofi yang bagus, maka kepanjangan LBM akhirnya diganti menjadi Little Bee Meals.

Secara harfiah Little Bee Meals, menurut Rera, artinya makanan atau suplemen untuk lebah. Lebah dalam hal ini merujuk kepada anak-anak. Dipilihnya lebah, karena hewan tersebut yang manfaatnya paling banyak, seperti yang dituliskan Al-Quran dalam surat an-Nahl. Sedangkan, kata 'makanan' bermakna ilmu atau kegiatan yang dapat mengasah dan meningkatkan perkembangan anak-anak. Jadi, LBM diharapkan dapat menjadi wadah penanaman akidah, pengembangan akhlak atau adab anak serta fungsi sosio-emosional balita, sekaligus sebagai komunitas orang tua yang tengah mengembangkan pendidikan rumah bagi balitanya (home education).

Kendati proses perintisan telah dilakukan sejak 2014 dan 2015 lalu, LBM Quranic Baby Club terbentuk secara resmi pada 2016. Pada 2016, LBM Quranic Baby Club memiliki struktur kepengurusan dan kurikulum yang cukup matang. Saat ini, LBM Quranic Baby Club memiliki dua kelas utama, yakni kelas Jundi dan Mujahid. Kelas Jundi diisi oleh anak-anak berusia dua hingga tiga tahun. Sedangkan, kelas Mujahid diikuti oleh anak-anak berusia tiga hingga empat tahun. Total anak di tiap-tiap kelas berjumlah 15 orang. Rera juga berencana untuk membuka kelas Ghuraba, yakni untuk anak-anak berusia empat hingga lima tahun.

Adapun jenis-jenis kegiatan di LBM Quranic Club saat ini antara lain jurnal, play and movement, snack time, appetizer, main course, dan dessert. Jurnal merupakan kegiatan untuk mengasah daya motorik anak. Biasanya kegiatannya seputar doodles atau corat-coret serta gambar, menempel, mewarnai, menggunting, dan lainnya. Play and movement adalah kegiatan berupa olah tubuh. Setelah berkumpul di lapangan dan membaca al-Fatihah serta belajar, anak-anak akan melakukan beberapa kegiatan. seperti bermain petak umpat, mencari jejak, bermain bola, dan lainnya. Setiap kegiatan di sini disesuaikan dengan perkembangan motorik kasar tiap-tiap anak.

Kemudian snack time, yakni makan bersama. Menurut Rera, aktivitas ini merupakan kegiatan favorit. Setelah masuk kelas, anak-anak akan mengeluarkan snack yang mereka bawa dari rumah. Mereka harus menyisihkan makanan yang mereka bawa untuk ditaruh di baki bersama. Ini mengajarkan mereka untuk berbagi. Setelah semuanya menyisihkan makanan, nanti makanan di baki itu akan dimakan bersama-sama. Anak-anak pun dikenalkan dengan aktivitas menyenangkan sejak awal. Kegiatan pembuka mereka disebut dengan appetizer. Pada sesi ini, anak-anak, akan dibimbing membaca surah-surah pendek Al-Quran secara bersama-sama. Ada pula kegiatan hijaiyah words, yakni pengenalan huruf-huruf hijaiyah. Lalu ada muwasofat untuk menanamkan karakter pribadi Muslim. Acuannya adalah 10 Muwasofat Imam Hasan Al Banna. Metodenya bisa dengan bercerita, menonton video, menceritakan gambar, dan acting feeeling.

Kegiatan utama biasanya disesuaikan dengan tema yang diusung saat itu. Adapun jenis kegiatan pada sesi ini antara lain eksplorasi, imajinasi, rancang bangun, fun cooking, ibadah, dan lainnya. Kemudian, dessert adalah kegiatan penutup. Pada sesi ini, pengajar biasanya akan menyampaikan doa harian atau hadis pendek dengan peraga berupa gambar. Atau dengan menempel stiker asmaul husna di pohon asmaul husna. Setelah itu, doa penutup majelis dan doa penutupan. Kegiatan di LBM Quranic Baby Club tersebut dilaksanakan dua pekan sekali. Kendati belum memiliki tempat tetap atau masih harus menyewa ruangan PIA Al Azhar Jakarta, hal tersebut tak menyurutkan semangat Rera dan anggota tim lainnya. Sebab, mereka menyadari bahwa yang tengah mereka lakukan merupakan sebuah ikhtiar untuk mencetak generasi penerus Muslim yang tangguh, cerdas, serta tetap berpegang teguh pada tuntunan Al Quran dan hadis.

Rabu, 31 Mei 2017

Anna Farida, Mengajarkan Ilmu Menulis Kepada Ibu Rumah Tangga Melalui Sekolah Perempuan.


Menjaga kesinambungan pendidikan kaum ibu rumah tangga dengan kegiatan menulis adalah misi dari Sekolah Perempuan. Sekolah tersebut merupakan wujud ide Anna Farida yang memang menekuni dunia kepenulisan. Dengan Sekolah Perempuan, ia berharap dapat turun berperan dalam merealisasikan sebuah visi, yakni menerbitkan sejuta buku karya ibu-ibu rumah tangga. Sebagai penulis, Anna sudah berhasil mempublikasikan puluhan buku dengan tema dan judul yang cukup beragam. Antara lain buku tentang parenting, cerita anak, pernikahan, dan lain-lain. Kendati kegiatannya cukup menyita waktu, dia tak serta merta mengabaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, yakni mengurus keluarga dan berdedikasi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi demikian menggugah sebuah gagasan dalam dirinya. Ia menyadari, kalangan ibu rumah tangga pasti memiliki potensi kreativitas yang dapat diasah. Salah satu potensinya sama seperti yang dilakukannya selama ini, yakni menulis.

Anna menilai, cukup banyak ibu rumah tangga yang menelantarkan ilmu dan pengetahuannya hanya karena ingin mengabdi pada keluarga pasca menikah. Padahal, ilmu dan pengetahuan mereka sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan masyarakat bila dituangkan ke dalam sebuah buku. Hal itulah yang membuat Anna terpikir mendirikan sebuah wadah pendidikan untuk kalangan ibu rumah tangga. Sesuai dengan kemampuan dan jaringan penulis yang diketahuinya, ia mendambakan dapat menghadirkan tempat belajar menulis untuk para ibu rumah tangga.


Menurut Anna, menulis merupakan kegiatan yang cukup fleksibel sehingga cocok untuk ibu rumah tangga. Selain dapat dilakukan di mana pun, menulis juga menjadi metode belajar yang baik untuk para ibu. Karena dengan menulis, mau tidak mau mereka juga mesti membaca, browsing, berkomunikasi dengan orang lain. Jadi, mereka akan terus membuka wawasan. Pada 17 Agustus 2013 lalu, Anna akhirnya mendirikan Sekolah Perempuan, yang berlokasi di Jalan Muhammad Toha, Bandung, Jawa Barat. Dalam proses pembentukan Sekolah Perempuan, dia dibantu oleh beberapa temannya di komunitas penulis.

Sebelum mendirikan Sekolah Perempuan, Anna dan beberapa temannya di sebuah komunitas penulis sebenarnya memang telah menawarkan proyek penerbitan sebuah buku untuk kalangan ibu-ibu rumah tangga. Proses penawaran tersebut dilakukan di media sosial. Penawaran di media sosial tersebut bersambut baik. Cukup banyak yang tertarik dan ingin berpartisipasi dalam proyek tersebut. Dari sinilah, mulai terjaring ibu-ibu yang memiliki niat serius untuk menerbitkan sebuah buku. Mereka yang berminat akhirnya tergabung dalam Sekolah Perempuan. Banyaknya peminat dari berbagai daerah membuat Anna juga menyediakan kelas online atau virtual. Dengan demikian, jarak tidak menjadi kendala bagi para ibu rumah tangga yang memang sungguh-sungguh ingin menulis dan menerbitkan sebuah buku.


Untuk angkatan pertama, Anna menyediakan kuota untuk 40 peserta, mencakup peserta kelas tatap muka dan virtual. Ia memang sengaja membatasi jumlah peserta. Selain karena mentornya terbatas, kalau terlalu banyak peserta juga tidak akan efektif belajarnya. Bila masih banyak yang hendak mendaftar, mereka akan dialihkan ke angkatan berikutnya. Yakni sekitar dua hingga tiga bulan pasca angkatan sebelumnya mendaftar. Hal ini karena dalam satu angkatan proses belajarnya menghabiskan waktu sekitar tiga bulan. Untuk proses pendidikan dan pengajaran, Anna memang menyiapkan kurikulum. Setidaknya ada delapan materi yang diberikan kepada para ibu rumah tangga tersebut.

Materi pertama berkaitan dengan persiapan komitmen dan manajemen waktu untuk menulis. Sebab, para ibu rumah tangga ini aktivitasnya juga cukup tinggi, jadi perlu diberikan kiat-kiat bagaimana cara menyisipkan waktu untuk menulis di tengah-tengah kesibukan mereka. Berikutnya terkait dengan proses penggalian ide. Anna dan para mentor lainnya selalu menganjurkan agar para ibu rumah tangga menulis sesuatu yang lekat dengan keseharian atau latar belakang mereka untuk mencari ide tulisan. Kemudian, adalah tentang cara membuat outline. Anna juga membagi tentang tata cara melakukan riset agar tulisan mereka dapat dipertanggung jawabkan.


Materi selanjutnya tentang cara menulis kalimat dan paragraf yang baik. Jadi, di sini seperti mengulang pelajaran yang dulu pernah diajarkan pada masa sekolah. Ada pula materi tentang bagaimana memanfaatkan dan mengelola media sosial.  Di sini ditekankan bahwa media sosial itu bukan hanya wadah untuk sekadara curhat, tapi juga bisa jadi sarana belajar dan promosi karya mereka nantinya. Terakhir, Anna juga mengajarkan tentang proses penerbitan sebuah buku dari awal hingga akhir. Pada materi ini, Anna juga melampirkan tentang cara alternatif menerbitkan sebuah buku, seperti melalui ebook dan audio book. Dari setiap angkatan selalu ada ibu rumah tangga yang mampu menuntaskan naskah siap terbit. Sekolah Perempuan selalu mencari dan memilihkan penerbit bonafid untuk naskah-naskah mereka. Sebagian ada juga yang ingin karyanya diterbitkan dalam bentuk ebook.

Setelah berselang sekitar tiga tahun, sudah cukup banyak naskah para ibu rumah tangga di Sekolah Perempuan yang akhirnya terbit dan dipasarkan. Jenis-jenis bukunya antara lain buku parenting, cerita anak, tutorial atau panduan, resep, novel, dan lain-lain. Tidak sedikit karya-karya yang kandas ketika dalam proses penggarapan. Sebagian peserta memilih menuangkan gagasannya dalam menulis di media seperti blog dan berbagai varian media sosial. Anna mengaku tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Karena terbit itu sebenarnya bukan tujuan, sebab yang paling utama adalah proses belajar yang mereka lewati. Mereka mengalahkan diri sendiri dengan menyempatkan menulis di tengah kesibukan mereka.

Hingga saat ini, Sekolah Perempuan telah memiliki 16 angkatan. Adapun total alumni Sekolah Perempuan, berjumlah sekitar 170 orang. Termasuk ibu rumah tangga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Ke depan, Anna berharap Sekolah Perempuan dapat menghasilka sejuta buku karya para ibu rumah tangga. Kata sejuta di sini menunjukkan bahwa Sekolah Perempuan memang sangat ingin menerbitkan banyak buku dari para perempuan atau ibu rumah tangga.

Sabtu, 20 Mei 2017

Peggy Melati Sukma, Hijrah Dari Dunia Selebritis Menuju Dunia Dakwah.


Tahun 2013 merupakan masa-masa terberat bagi Peggy Melati Sukma. Pesohor muslimah itu sempat mengalami depresi cukup hebat. Dua tahun lamanya sosok yang pernah tersohor dengan ekspresi "pusiiiing!" di sinetron Gerhana ini bergumul dengan kegelisahan. Apa-apa yang telah dibina selama dua puluh tahun terakhir mulai berantakan. Hidupnya seperti kehilangan arah. Perempuan kelahiran Cirebon ini mengaku dirinya menjadi sosok yang tak mampu mengendalikan diri. Lalu, itu berdampak pada relasinya dengan sekitar, terutama pada bisnisnya. Sehingga, ia banyak kehilangan orang-orang dekat, bahkan juga kehilangan rumah tangganya.

Saat itu, Peggy sering pulang larut malam hingga dini hari. Kesibukannya begitu melelahkan. Ia kian merasa tenggelam dan tidak bahagia. Peggy sempat mempertanyakan kehidupannya yang berjalan seperti itu. Bahkan, ia juga sempat marah kepada Allah. Ternyata, hal itu menjadi pengantar baginya untuk berhijrah. Peggy menjelaskan, tidak ada momentum khusus yang menjadi titik balik. Semua berjalan sebagai proses. Itu dimulai dengan kebiasaannya sampai di rumah pada larut malam. Peggy menyadari, hal itu merupakan kesempatan untuk belajar bangun malam (qiyamul lail). Kemudian, ia mulai berusaha merutinkan shalat tahajud di sepertiga malam. Adapun waktu tidurnya ia ambil ketika menumpang mobil pribadi dalam perjalanan pulang.


Usai shalat malam, Peggy merasa ada kerinduan dari dalam hatinya untuk memperbaiki hubungan dengan Allah. Dia merasa perlu mendapatkan keseimbangan dari ingar-bingar aktivitasnya selama ini. Menurut Peggy, kuncinya dalam berhijrah, memang harus mengenal diri sendiri dan mengenal Allah. Lalu, sikap yang mesti dilatihkan adalah sabar. Supaya sampai pada keikhlasannya. Sejak saat itu, Peggy giat mengunjungi majelis-majelis untuk belajar pada sejumlah alim ulama. Ia kemudian diperkenalkan pada makna hijrah. Kata itu memiliki dua arti. Secara istilah, hijrah merupakan peristiwa sejarah ketika Nabi Muhammad SAW berpindah dari Makkah ke Madinah. Secara umum, hijrah bermakna meninggalkan segala yang dilarang Allah dan menuju apa-apa yang dicintai Allah. 

Peggy merasa, sebelumnya ia tidak menyadari akar kegelisahannya. Selama ini, hidupnya hanya fokus pada urusan duniawi, seperti kekayaan atau popularitas. Di sisi lain, urusan ukhrawinya berantakan. Padahal, soal harta dan fisik adalah sementara. Peggy pernah mengalami beragam peran, seperti penyanyi, artis, model, duta di sejumlah lembaga terhormat, baik dalam maupun luar negeri, hingga dunia bisnis. Namun, semua itu tidak memberinya kebahagiaan sejati. Akhirnya, ia menyadari, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, Dia bukan melihat harta dan jasad, melainkan hati dan amalan. Segalanya merupakan milik Allah. Manusia tidak memiliki apa-apa. Karena itu, menurut Peggy, sudah sewajarnya untuk kembali, berserah diri kepada Allah, baik di kala senang maupun sulit. Tunjukkan langsung kepada Allah bahwa kita membutuhkan ampunan-Nya, dengan tepat waktu sholat, memperbaiki membaca Al-Quran, berpuasa, qiyamul lail, merapihkan (menutup) aurat, dan lain-lain yang diperintahkan Allah.


Menurut Peggy, hijrah membutuhkan perjuangan. Tidak serta merta yang ditinggalkan itu sesuatu yang tidak menyenangkan. Justru sebaliknya. Pelaku hijrah mungkin meninggalkan sesuatu yang disukai dan menjadi bagian dari dirinya dan sumber penghasilan. Satu hal penting dalam berhijrah adalah ridha orang tua. Dalam Al-Quran, Allah berkali-kali mengingatkan umat Islam soal ini. Bahkan, dalam Surah Lukman, Allah menyebut kewajiban berbakti kepada ibu dan ayah setelah larangan menyekutukan Allah.

Peggy merasa beruntung lantaran memiliki orang tua yang menyayanginya. Karena itu, dia menyarankan agar dalam berhijrah menuju ridha Allah, perbaiki terlebih dahulu hubungan diri dengan orang tua. Menurutnya, Allah menciptakan diri manusia melalui cinta kedua orang tua. Karena itu, bagi Peggy, ridha orang tua adalah pintu satu-satunya menuju taubat yang sesungguhnya. Jalan hijrah dimulai dari ridhanya kedua orang tua. Hal ini yang sering kali Peggy sampaikan dalam banyak kesempatan dakwah. Peggy menambahkan, jalinan dari taubat dan berbakti kepada orang tua adalah sikap ikhlas. Kemudian, hijrah bukanlan sebuah destinasi, melainkan proses yang berlangsung terus menerus. Banyak orang mengatakan, setelah hijrah itu akan mendapat banyak cobaan. Peggy pun menyetujui. Karena hijrah merupakan sebuah perjalanan. Jadi, jangan mengira, setelah hijrah, maka hidupnya senang, kemudian tidak berbuat apa-apa.


Kini, sosok Peggy Melati Sukma aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah. Ia dikenal sebagai penggagas dan pengelola gerakan Urban Syiar Project yang berfokus pada dakwah, pemberdayaan sosial, dan donasi kemanusiaan. Gerakan ini menjangkau dan menyalurkan bantuan di wilayah-wilayah konflik, seperti Palestina dan Suriah. Ia juga ikut membangun sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Gaza. Sampai sekarang, Peggy masih bergiat dakwah keliling Indonesia. Ia mengisi pelbagai acara pelatihan dan membangun 99 rumah belajar Al-Quran. Selain itu, Peggy juga menulis buku. Salah satu buku karyanya adalah Kujemput Engkau di Sepertiga Malam, yang menjadi best seller.

Peggy bersyukur, lantaran hidupnya kini menapaki proses hijrah dari dunia selebritis menuju ladang dakwah. Ia justru menemukan hidup yang lapang dan tenteram. Sampai saat ini, ia juga sudah mengunjungi 25 negara untuk berdakwah atau menjadi pembicara Muslimah. Ia pernah menjadi Duta Filantropi Dompet Dhuafa, Duta Islamic Book Fair, dan anggota Dewan Kelautan Indonesia. Saat ini, ia merupakan Duta Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).