Jumat, 23 Desember 2016

Diyah Puspitarini : Perhatian Khusus Pada Masalah Perempuan dan Anak-Anak Melalui Nasyiatul Aisyiyah.


Pada akhir Agustus 2016, organisasi otonom Muhammadiyah, yakni Nasyiatul Aisyiyah, menggelar muktamarnya yang ke-13 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dalam momen tersebut, Diyah Puspitarini ditetapkan menjadi ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Nasyiatul Aisyiyah periode 2016-2020. Ia menggantikan ketua sebelumnya, Norma Sari, yang menjabat ketua umum sejak 2012. Setelah didaulat menjadi ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah, Diyah memiliki beberapa misi yang hendak diraihnya. Fokus utamanya adalah penyelesaian berbagai masalah yang berkaitan dengan anak-anak dan kaum perempuan. Menurutnya, hal tersebut merupakan dakwah yang terjewantah dalam bingkai gerakan sosial.

Diyah mengungkapkan, ia memang telah akrab cukup lama dengan dunia aktivis atau pergerakan, khususnya berafiliasi dengan Muhammadiyah. Dahulu, ayahnya, yakni Gunardi Guna Garjito, adalah seorang anggota Hisbul Wathan Muhammadiyah. Sedangkan ibunya, Sri Hartati, pernah menimba ilmu di Muallimat. Bekal pendidikan yang ditanamkannya adalah pendidikan agama. Tak ayal, dengan latar belakang keluarga demikian, Diyah, sedari kecil, sudah diajarkan tentang pemahaman agama. Sebelum masuk ke taman kanak-kanak, ayah dan ibunya menyekolahkannya dulu di taman pendidikan Alquran. Hal ini yang membuatnya memiliki bekal agama yang cukup hingga berakhirnya masa sekolah dasar.

Memasuki periode sekolah menengah pertama, Diyah mulai berlatih berorganisasi. Ia pernah aktif sebagai anggota Remasa Masjid al-Mujahidin, Wonosari, Yogyakarta. Menjelang berakhirnya masa sekolah menengah pertama, ayahnya mengajaknya untuk aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) daerah Yogyakarta. Awalnya, Diyah sama sekali kurang tertarik dan tak bersemangat bergabung dengan IRM. Tapi lama-kelamaan, setelah aktif menekuni kegiatan/program IRM, Diyah pun mulai menikmati. Ketika aktif di IRM, Diyah sempat mengisi beberapa posisi strategis. Antara lain, ketua Pengkajian Ilmu Pengetahuan Pengurus Wilayah IRM Yogyakarta, sekretaris bidang Studi Islam Pengurus Wilayah Yogyakarta, ketua Irmawati Pimpinan Pusat IRM, dan lainnya. Ketika IRM berubah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Diyah juga sempat menjadi ketua perkaderan PP IPM.

Pascapurna di IPM, otomatis Diyah pun mengalami transfer kader ke organisasi otonom, yakni Nasyiatul Aisyiyah. Tahun 2010, ia mulai aktif di PP Nasyiatul Aisyiyah menjadi anggota Departemen Kader. Ketika menjadi anggota Departemen Kader, ia terlibat dalam menginisiasi "Gerakan 1000 Ranting". Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara turun ke akar rumput, mendatangi pimpinan cabang atau ranting yang berada di sekitar Yogyakarta. Selain memperkuat basis, gerakan ini juga memberi manfaat lain, yakni diketahuinya masalah-masalah dan hambatan dalam berNasyiatul Aisyiyah. Selain itu, Diyah bersama rekan-rekannya di Departemen Kader PP Nasyiatul Aisyiyah juga rutin menggelar lokakarya berkenaan dengan proses perkaderan atau kaderisasi. Ia mengaku cukup mendapat banyak pengalaman ketika menjadi anggota Departemen Kader PP Nasyiatul Aisyiyah. Bahwa memikirkan dan memperbincangkan tentang kader dan persoalannya adalah sebuah nilai, integritas, serta kontribusi, sehingga perlu memikirkan dengan matang dan komprehensif. Yang pasti, menurutnya, dalam kaderisasi, yang utama adalah prosesnya, bukan hasil.

Pada 2012 hingga 2016, Diyah menjabat sebagai sekretaris PP Nasyiatul Aisyiyah. Ketika mengemban jabatan tersebut, terdapat beberapa hal yang ia kerjakan berkaitan dengan administrasi organisasi, baik ke dalam maupun ke luar. Ia juga menggarap data pokok Nasyiatul Aisyiyah, mulai dari pengurus ranting hingga pusat. Kemudian, pada Agustus 2016, Diyah terpilih menjadi ketua umum PP Nasyiatul Aisyiyah. Kendati telah menjadi ketua baru, Diyah tetap mempertahankan jargon utama PP Nasyiatul Aisyiyah ketika masih dijabat oleh Norma Sari, yaitu "gerakan sosial ramah perempuan dan anak". Dipertahankannya jargon tersebut, menurutnya, adalah untuk mempertegas bahwa Nasyiatul Aisyiyah sejatinya adalah sebuah gerakan sosial. Fokus utamanya adalan berperan aktif dalam memberi solusi atau menangani berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak-anak dan perempuan.


Diyah menerangkan, selama masa jabatannya, ada beberapa program yang akan menjadi concern utama Nasyiatul Aisyiyah. Antara lain, perihal perdagangan perempuan, kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi perempuan, pelayanan edukasi tentang kesehatan reproduksi, hingga kemandirian ekonomi melalui ekonomi kreatif. Selain itu, yang juga perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus adalah soal kejahatan seksual. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia pernah diguncang beberapa kasus kejahatan seksual, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Pada intinya, lanjut Diyah, perhatian khusus Nasyiatul Aisyiyah berangkat dari masalah-masalah negara yang berkaitan dengan perempuan dan anak-anak.

Diyah menilai, semua program atau kegiatan yang akan dilaksanakan Nasyiatul Aisyiyah sejatinya adalah sebuah wujud dakwah. Sebab jika yang dilakukan adalah mengajak kebaikan, maka korelasinya memang adalah dakwah. Ia juga ingin agar masyarakat Indonesia jangan sampai fobia dengan kata 'dakwah', sehingga terasa berat untuk melakukannya. Diyah menjelaskan, selama ini masyarakat memang kerap mengotak-ngotakkan antara dakwah dan gerakan sosial. Padahal, jika paradigma tersebut diubah, dalam konteks ini adalah bila menyelaraskan pengertian dakwah dengan sebuah gerakan sosial, hal itu bisa menjadi spirit tersendiri.

Jadi, menurutnya, dakwah tidak hanya sebatas di mimbar atau masjid saja, tapi juga aktif bergerak memberikan solusi sosial. Diyah pun yakin, bahwa Nabi Muhammad dan KH Ahmad Dahlan telah mencotohkan hal ini, bahwa masalah sosial yang dipecahkan, secara otomatis adalah rangkaian dalam dakwah. Ke depan, Diyah berharap, organisasi yang dipimpinnya dapat bekerja aktif serta bersinergi dengan beberapa lembaga lainnya, dalam menangani dan menuntaskan masalah-masalah perempuan dan anak-anak, serta juga bisa menjadi gerakan perempuan muda untuk kemandirian bangsa. 




Selasa, 06 Desember 2016

Shelfi Lailatul Latifah : Peduli Pendidikan Anak Jalanan Melalui Save Street Child.


Pada 23 Mei 2011 lalu, Shelfi Lailatul Latifah membuat akun Twitter bernama Save Street Child (SSC). Melalui akun tersebut, Shei, biasa akrab disapa, hendak mengajak masyarakat untuk memiliki kepedulian sosial terhadap anak-anak jalanan, khususnya perihal kondisi pendidikan mereka. Ajakan tersebut direspons cukup positif oleh publik hingga akhirnya SSC menjadi sebuah gerakan masif. Masyarakat berduyun-duyun berpartisipasi dalam gerakan SSC. Gerakan ini bahkan telah tersebar di sekitar 16 daerah di Indonesia.

Ketika menginisiasi gerakan SSC melalui jejaring sosial Twitter, Shei masih berkuliah di Universitas Paramadina, Jakarta. Pada awalnya, ia memang tidak memiliki niat untuk terjun dalam dunia gerakan semacam ini. Sebab, rutinitasnya sebagai mahasiswi sudah membuatnya cukup sibuk. Shei memang cukup aktif dalam berbagai kegiatan internal kampus. Misalnya, dia pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina. Tak pelak, hal tersebut cukup menyita waktunya. Namun, pada suatu malam, ketika dia dan beberapa temannya tengah menikmati waktu senggang di sebuah warung angkringan, terdapat dua anak perempuan berpakaian lusuh dan kumal di dekat warung tersebut. Mereka memang tidak mengganggu Shei dan teman-temannya. Melihat mereka, Shei merasa iba. Tak pikir lama, ia pun mengajak kedua anak perempuan berpakaian lusuh tadi untuk makan bersama dengannya di warung angkringan. Mereka pun makan dengan sangat lahap.

Shei mengatakan, dua anak perempuan yang diajaknya makan kala itu berusia sekitar 12 tahun. Namanya adalah Wati dan Lisa. Menurut Shei, ketika itu mereka memang terlihat sedikit teler, seperti di bawah pengaruh obat-obatan. Setelah pertemuan pertama dengan Wati dan Lisa, karena rasa iba, Shei berjanji untuk menemui mereka lagi sepekan kemudian. Janji Shei itu pun disambut gembira oleh keduanya. Pada pertemuan berikutnya, Shei memberikan pakaian layak pakai untuk Wati dan Lisa. Tak hanya itu, Shei juga menawarkan Wati dan Lisa, yang sehari-harinya mencari makan dengan mengamen, untuk tinggal di kosnya di Mampang, Jakarta Selatan. Hal itu Shei lakukan karena memang tidak tega melihat mereka yang tidak punya tempat tinggal. Mereka biasanya tidur di emperan toko, pasar, bahkan semak-semak.

Sejak saat itu, Shei selalu menaruh kunci indekos-nya di atas ventilasi agar Wati dan Lisa bisa datang kapan saja. Ia juga tidak merasa khawatir mereka akan mencuri barang-barang miliknya. Karena saat itu Shei memang tidak punya barang berharga. Satu-satunya barang berharga yang ia miliki mungkin hanya alat penanak nasi, yang kalau pun dicuri, paling ia tidak bisa memasak lagi. Namun, firasat Shei memang terbukti. Wati dan Lisa dapat menjaga kepercayaannya dengan tidak mengusik atau mencuri barang-barang miliknya. Selain itu, kendati diberikan keleluasaan oleh Shei untuk tinggal, keduanya hanya memanfaatkan indekos untuk tidur. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengamen.


Dari sini, Shei mulai berhasrat untuk merangkul lebih banyak lagi anak-anak jalanan. Dia merealisasikannya dengan membuat akun Twitter SSC. Melalui akun ini, ia mengajak dan mengkampanyekan agar masyarakat dapat mencurahkan kepeduliannya kepada anak-anak jalanan. Responsnya memang cukup bagus. Sejumlah orang mulai dari kalangan pekerja, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga bersedia bergabung di SSC. Setelah cukup banyak yang ingin berpartisipasi, pertemuan pertama para relawan SSC akhirnya dilaksanakan di Universitas Paramadina. Pertemuan tersebut membuahkan beberapa ide kegiatan, antara lain pemeriksaan gigi gratis untuk anak jalanan, berbuka puasa bersama, dan lainnya.

Di sela-sela kegiatannya membesarkan SSC, Wati dan Lisa tiba-tiba menyatakan kepada Shei bahwa mereka ingin bersekolah. Shei pun mengabulkan keinginan mereka dengan mendaftarkannya ke sekolah terbuka di Depok, Jawa Barat. Ia bahkan rela untuk pindah indekos dari Mampang ke Depok untuk memudahkan akses keduanya. Di indekos barunya, Shei menampung dan mengasuh lagi sekitar 10 anak jalanan. Karena hal itu adalah keinginan pribadi, Shei terkadang menyisihkan sebagian uangnya untuk kebutuhan mereka. Perempuan kelahiran Jombang ini bercerita, pernah uangnya tinggal Rp 25 ribu, padahal ia harus memberi makan 10 anak asuh. Akhirnya, ia hanya mampu menyediakan nasi dan lauk seadanya saja, asalkan semuanya kebagian.

Di sisi lain, Shei tetap berupaya untuk mengembangkan gerakan SSC. Ia menginginkan gerakan ini memiliki kegiatan atau program yang berkesinambungan. Karena gerakan SSC mulai diadopsi dan berkembang di daerah-daerah lain, Shei mengambil sebuah istilah yang dipakai SSC Surabaya untuk programnya, yakni "Pengajar Keren." Program tersebut cukup mirip dengan gerakan Indonesia Mengajar. Shei mengajak dan mencari para relawan untuk menjadi pengajar anak-anak jalanan. Peminat program ini pun cukup banyak. Kendati demikian, Shei tetap menerapkan prosedur pendaftaran untuk menjaring mereka. Menurut Shei, program ini memang memiliki motivasi tersendiri. Yakni, agar generasi muda dapat memiliki pola pikir bahwa mereka bisa keren ketika berbagi ilmu dan mengajar. Dari lifestyle positif ini diharapkan akan berkembang menjadi program pembentukan karakter relawan dan anak-anak jalanan juga. Untuk awal program ini, Shei mendapat kelas di daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Tetapi, tak lama kemudian, kelas tersebut pindah lokasi karena terlalu jauh.


Singkatnya, hingga akhir 2012, Shae telah membuat tiga kali program Pengajar Keren. Kelas-kelasnya pun tidak terpusat di satu lokasi, tetapi tersebar di beberapa daerah, seperti Jakarta, Depok, dan Tangerang. Sedangkan, untuk relawan-relawan SSC di luar Jabodetabek, Shei memang tidak menitahkan untuk membuat program serupa. Mereka dibebaskan membuat program masing-masing sesuai kreativitas, karena SSC basisnya memang komunitas. Karena kegigihannya membentuk dan mengembangkan gerakan SSC, pada 2013 lalu, Shei meraih penghargaan dalam ajang Telkom Indonesia Digital Women Award 2013. Ia dinobatkan sebagai perempuan inspiratif kategori "Socio Activist" Penghargaan itu diberikan karena ia dinilai memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap masalah sosial, dalam konteks ini adalah persoalan pendidikan anak-anak jalanan. Shei mengaku senang mendapat penghargaan tersebut. Dengan penghargaan ini, setidaknya SSC lebih dikenal dan bisa membuka mata masyarakat bahwa masih banyak anak yang tidak memiliki akses pendidikan.