Minggu, 29 Januari 2017

Amaliah Begum, Pemilik Rumah Mode EastMayya, Menggabungkan Bisnis Dan Sosial Untuk Memberikan Dampak Positif Pada Lingkungan.


Pada 15 Mei 2014 lalu, Amaliah Begum mulai merintis bisnisnya dalam bidang busana Islami. Dia pun meluncurkan sebuah merek mode bernama EastMayya. Sedari awal merilis merek busana tersebut, Amaliah juga telah berkomitmen bahwa bisnisnya harus mampu memberikan dampak bagi kehidupan dan lingkungan sosial di sekitarnya. Sembari berbisnis, ia pun membuat prgram-program sosial bertajuk Bakti Panti, Tuna Daksa Berdaya, dan Donasi Perca.

Amaliah mengungkapkan, pada dasarnya dia merasa tidak memiliki keahlian atau keterampilan khusus dalam merancang dan mendesain busana. Sebab, alumnus Faluktas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut mengaku tidak pernah mengikuti kursus atau pelatihan dalam bidang tata busana. Kendati demikian, ada sosok yang selalu menginspirasi Amaliah dalam hal berbusana. Dia adalah almarhumah ibunya, yakni Asmah Begum. Menurut Amaliah, almahumah ibunya memang berbakat dan memiliki selera berbusana yang apik. Ibunya sering sekali pergi ke tukang jahit, dan juga sering membuat desain-desain baju untuk anak-anaknya.


Lambat laun, Amaliah mendapat cukup banyak inspirasi dalam hal tata dan estetika berbusana. Setelah ibunya berpulang, berbekal inspirasi dan keilmuan tentang bisnis yang didapat sewaktu kuliah, Amaliah pun terjun menjadi seroang pebisnis mode dengan menciptakan merek EastMayya. Pemilihan kata "EastMayya" sebagai merek, kata Amaliah, memiliki cerita tersendiri. Pertama, EastMayya dipilih karena nama tersebut merupakan nama panggilan almarhumah ibunya sewaktu kecil, yaitu Ismaya. Tujuannya adalah karena Amaliah ingin menghidupkan kembali semangat ibunya. Kedua, EastMayya juga memiliki makna pada masing-masing katanya. East diambil dari bahasa Inggris, yang artinya timur. Jadi, desain-desain yang ingin ia buat tetap berpedoman pada budaya ketimuran. Sedangkan 'mayya' dalam bahasa Pakistan atau India, artinya adalah putri. Kebetulan Amaliah memang memiliki darah Pakistan.

Dengan mengusung merek EastMayya, Amaliah ingin memproduksi busana-busana Muslimah yang lekat dengan budaya ketimuran. Kendati demikian, ia juga tidak mengabaikan nilai-nilai dan hukum Islam dalam proses kreasi dan penciptaan produknya. Amaliah mengaku selalu mengikuti perkembangan tren mode Islami, khususnya di Indonesia. Tetapi, tren memang tidak serta merta menjadi acuannya guna meraih pasar yang lebih luas. Misalnya, dalam busana tertentu suka ada pernak-pernik yang berlebihan atau bahan batiknya bermotif satwa. Amaliah selalu menelisik terlebih dulu apakah Islam memperbolehkan busana seperti itu. Jadi, produk yang ia buat tetap dipagari dengan nilai-nilai Islam.


Untuk proses kreasi, karena tidak memiliki latar belakang pendidikan desain, Amaliah mengaku kerap mencari inspirasi di pasar bahan. Jadi, prosesnya memang agak terbalik, Kebanyakan, desainer yang lain menggambar desain bajunya terlebih dulu, baru mencari bahannya. Sementara Amaliah memilih blusukan dulu mencari bahannya ke berbagai pasar, seperti Pasar Baru dan Pasar Mayestik. Nanti di sana ia bisa mendapatkan inspirasi sendiri mau membuat desain yang seperti apa. Ketika merilis EastMayya, Amaliah telah menciptakan sekitar 30 desain busana Muslimah. Menurutnya, beberapa temannya sesama pebisnis mode busana Islami cukup tertarik dan mengapresiasi setiap desain buatannya. Tak hanya itu, nilai lain yang ditawarkan oleh Amaliah melalui produknya adalah perihal keeksklusifan busana. Ia mengaku sangat jarang menerapkan satu desain untuk beberapa busana yang akan diproduksinya. Biasanya satu desain memang untuk satu baju saja. Mulai tahun 2015, Amaliah baru memproduksi secara massal, tapi tetap satu desain tidak diaplikasikan untuk banyak baju. Paling hanya sekitar 5 atau 10 baju saja.

Seiring dengan perkembangan bisnisnya, Amaliah juga mulai memikirkan program sosial apa yang dapat diberikan EastMayya. Program pertama yang dicetuskan adalah Bakti Panti. Amaliah mengatakan, Bakti Panti merupakan kegiatan mengalokasikan dana penjualan untuk datang ke panti guna memberikan pelatihan dan menggelar lokakarya untuk penghuni panti. Jadi, ia memang tidak menyumbang dalam bentuk dana. Sampai saat ini kegiatan tersebut masih terfokus di satu panti saja, yakni Panti Al-Ikhwaniah, Condet, Jakarta Timur. Adapun kegiatan yang digelar, salah satunya olah perca. Untuk kegiatan olah perca ini Amaliah memang tidak terlibat langsung sebagai tutor atau pembimbing bagi anak-anak panti. Jadi, ia mengajak teman-teman sesama komunitas pebisnis untuk terlibat juga dalam kegiatan ini, Banyak juga yang tertarik dengan kegiatan ini, lalu mereka mengajukan diri untuk menjadi tutor. Dalam kegiatan itu, anak-anak panti, yang rata-rata masih duduk di bangku SMP, dibina dan diasah keterampilannya untuk mendaur ulang dan memproduksi limbah perca. Menurut Amaliah, tujuan dari kegiatan olah perca memang hendak memberi bekal keterampilan kepada anak-anak panti. Karena, kalau bekal agama, mereka sudah mendapatkannya dari pihak panti, pun kalau bantuan akademis, mereka juga sudah bersekolah. Jadi, EastMayya mencoba mengisi celah yang lain berupa pemberian ilmu keterampilan.


Bakti Panti pun sempat menyelenggarakan kegiatan motivasi pendidikan. Menurut Amaliah, anak-anak Panti Al-Ikhwaniah, Condet memang belum memiliki semangat dan hasrat yang besar untuk melanjutkan pendidikannya hingga tingkat perguruan tinggi. Mereka berpikir bahwa kalau sudah lulus SMA, lebih baik langsung bekerja atau mengabdi kepada panti. Jadi, Amaliah mendatangkan beberapa teman yang masih kuliah untuk memberikan motivasi kepada anak-anak itu agar kelak mereka mau berkuliah.

Sementara untuk program Tuna Daksa Berdaya, bentuk kegiatannya tidak berbeda jauh dengan Bakti Panti. Perbedaannya hanya terletak pada mereka yang dibimbing atau dibina, yakni kalangan difabel. Untuk kegiatan Tuna Daksa Berdaya, Amaliah memilih lokasi penyelenggaraan di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Bekasi, Jawa Barat. Kemudian program Donasi Perca, adalah program yang konsen dalam bidang pelestarian lingkungan. Dalam program ini, Amaliah meminta teman-temannya sesama pebisnis mode untuk menyumbangkan percanya guna didaur ulang dan direproduksi. Amaliah menilai, tak logis bila kesuksesan sebuah bisnis hanya diukur dari profitnya. Di sisi lain, mereka memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Apalagi kalau dikembalikan ke EastMayya, yang tidak hanya berbisnis mode, tapi juga ingin berdakwah, memberikan dampak positif terhadap lingkungan.


Sewaktu kuliah dulu, Amaliah mengaku bahwa cukup banyak teori yang mempertentangkan antara bisnis dan sosial. Menurutnya, hal itu tidak berlaku mutlak. Dalam arti, bisnis dan memberi sumbangsih terhadap kehidupan dan lingkungan sosial dapat diwujudkan dan diselaraskan. Hal tersebut, lanjutnya, telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dulu. Pada zaman Nabi, bisnis itu tidak berjauhan dengan sosial. Semua yang terlibat harus ikhlas, dampak dari berdagang tidak boleh merugikan orang lain, tidak terlepas dari amal, dan ada zamat atau sedekah yang harus dikeluarkan, serta lain-lain. Jadi sebenarnya bisnis dan sosial itu bisa berjalan beriringan. Konsep tersebut, menurut Amaliah, yang hendak dicapai dan direalisasikan oleh EastMayya. Berbisnis tapi juga memiliki sensitivitas terhadap kehidupan dan lingkungan sosial di sekitarnya.




Rabu, 11 Januari 2017

Verayanti Wahidatur Rohma, Berbisnis Sekaligus Beramal Melalui Komunitas Bisnis Kita.


Paruh tahun 2015 menjadi momen tak terlupakan bagi Verayanti Wahidatur Rohma. Perempuan kelahiran Probolinggo, 24 Februari 1990 ini memutuskan untuk menjadi mitra dagang produsen kosmetik herbal. Sebuah awal yang membawa perjalanannya menjadi seorang pebisnis sekaligus pegiat filantropi. Mulanya, Verayanti hanya berniat membentuk komunitas bisnis bernama Bisnis Kita, lantaran banyaknya konsumen produk kosmetik herbal tersebut. Tujuan utama dari komunitas ini adalah membina kaum perempuan, khususnya kalangan ibu rumah tangga, agar pandai berbisnis dan kelak mandiri dengan usahanya masing-masing.

Verayanti mengungkapkan, awalnya dia memang hanya pemasar produk kosmetik herbal biasa. Namun, karena pasarnya cukup potensial, ia memberanikan diri untuk memboyong produk tersebut dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan kata lain, ia beralih dari pemasar biasa menjadi seorang distributor. Kendati dapat menyalurkan produk-produk itu lewat agen, namun Verayanti berpikiran lain. Ia lebih memilih untuk menjalin kemitraan dengan kalangan ibu rumah tangga untuk memasarkan produk kosmetik herbal itu. Karena ia berpikir, kalau mencari agen, berarti ia mencari mitra yang sudah mapan. Sementara Verayanti inginnya bisa mengajak mereka yang belum memiliki banyak modal, dan meyakinkan bahwa mereka pun juga bisa merintis sebuah usaha.


Untuk mencari mitra dagangnya, Verayanti memanfaatkan akun Facebook pribadinya. Di sana, ia menyebar info untuk mencari marketers (pemasar), dan mengatakan ingin membentuk sebuah tim dagang. Setelah info disebar, cukup banyak tanggapan dan respons, mayoritas dari kalangan ibu rumah tangga, yang menyatakan ingin bergabung dan menjadi mitra. Menurut Verayanti, mereka beralasan ingin mendapatkan penghasilan tambahan. Untuk perekrutan mitra awal ini, Verayanti juga tidak mematok biaya apa pun, alias gratis. Proses menjalin kemitraan ini berlangsung hingga akhir 2015. Namun, berbeda dengan yang pertama, dalam proses perekrutan berikutnya, Verayanti menerapkan sistem pendaftaran. Hal ini dilakukan untuk menyaring para calon mitra dagangnya.

Pada Februari 2016, telah terkumpul sekitar 30 orang mitra yang siap memasarkan produk. Pada momen inilah Verayanti terpikir untuk membuat sebuah komunitas bisnis. Akhirnya, ia pun membentuk sebuah portal bisnis, yakni www.BisnisKita.net. Tujuan dari dibuatnya portal tersebut, adalah untuk memperluas jaringan kemitraan. Ketika itu, Verayanti mulai serius membina dan membimbing para mitranya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan pelatihan khusus kepada mereka. Untuk pelatihan tersebut, Verayanti merancang semacam kurikulum pembelajaran. Jadi, ia mengajarkan mereka kiat-kiat berdagang, mengenal target pasar, mengenal tipe-tipe customer, cara memanfaatkan media sosial untuk memasarkan barang, termasuk cara menyusun redaksional yang tepat agar orang tertarik membeli.


Kurikulum disusun berdasarkan pengalaman Verayanti ketika masih menjadi pemasar dan seminar yang diikutinya. Setiap usai mengikuti seminar, ia memang selalu share hasil yang didapat kepada teman-teman mitranya. Jadi mereka tidak perlu repot atau membayar untuk mendapatkan ilmu yang sama. Dalam beberapa kesempatan, terkadang Verayanti juga menanyakan kepada para mitranya, materi seperti apa yang dibutuhkan untuk menyokong kegiatan mereka sebagai pemasar. Hal itu dilakukan agar kebutuhan mereka terhadap cara atau ilmu berbisnis dapat terpenuhi. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan sepekan sekali. Para mitra yang berasal dari daerah dan provinsi yang berbeda-beda membuat kelas itu dilaksanakan secara virtual, yakni dengan memanfaatkan grup obrolan WhatsApp. Karena hanya via aplikasi, Verayanti juga sering melengkapi materi pembelajaran dengan beragam video supaya lebih jelas.

Verayanti menjelaskan, upayanya itu cukup berdampak kepada performa mitranya dalam memasarkan produk kosmetik herbal. Yang tadinya ada ibu-ibu yang tidak bisa berdagang, jadi pandai berdagang. Ketika seseorang telah mampu memasarkan produk dengan jumlah cukup signifikan, Verayanti akan mengangkat mereka menjadi leader. Setelah itu, orang tersebut diharuskan membagi pengalamannya kepada rekan-rekannya yang lain. Dari titik ini pula diharapkan mereka sudah mempunyai bekal untuk bisa mandiri dan merintis bisnis sendiri. Saat ini, jumlah mitra yang telah bergabung dengan Bisnis Kita berjumlah 160 orang. Mereka tersebar di seluruh daerah Indonesia. Karena ingin berkembang bersama-sama, mereka semua pun juga semangat belajar. Dan kini, mereka mengakui mengalami perkembangan keterampilan dalam berbisnis.


Selain berbisnis, dari komunitas Bisnis Kita, Verayanti juga mencetuskan program sosial. Program tersebut dinamakan "Aksi Kita". Ia mengaku, sedari awal membentuk Bisnis Kita, dirinya memang tidak ingin kegiatan di dalamnya hanya didominasi bisnis semata. Namun, juga harus ada nilai ibadah yang dapat memberi keberkahan. Program Aksi Kita bermula ketika beberapa orang pegiat Bisnis Kita berniat menyisihkan uang untuk memesan sejumlah nasi kotak. Nasi-nasi tersebut lantas dibagikan untuk para tuna wisma yang berada di sekitar Malang, Jawa Timur, tempat Verayanti berdomisili. Kegiatan tersebut berlangsung beberapa kali. Hingga akhirnya ia berinisiatif untuk mengusulkan kegiatan semacam itu kepada seluruh mitranya. Verayanti ingin kegiatan berbagi ini juga berlangsung di daerah mereka masing-masing. Usulannya pun mendapat respons dan tanggapan yang cukup hangat. Mereka mendukung program Aksi Kita. Akhirnya semuanya sepakat untuk menyisihkan 2,5 persen dari pendapatan per bulan, agar program ini rutin terlaksana.

Dalam perkembangannya, program Aksi Kita tidak hanya sekadar membagikan nasi kotak gratis kepada para tuna wisma. Mereka juga menyepakati bahwa bila ada orang yang memang sangat membutuhkan bantuan di sekitar lingkungan mereka, maka bisa saling melaporkan. Misalnya, bila ada anak yatim atau orang sakit yang memerlukan biaya. Nanti uang yang telah mereka sisihkan akan disalurkan kepada orang-orang tersebut. Verayanti mengaku cukup bahagia dapat saling bekerja sama dalam menjalankan program Aksi Kita. Sebab, para mitranya ini jadi tidak sekadar berdagang, tapi juga merangkap menjadi kurir sedekah bagi yang membutuhkan uluran tangan. Tak hanya oleh internal komunitas, terkadang orang-orang dari luar yang mengapresiasi Aksi Kita pun memberikan dukungannya dengan cara turut menyumbang derma. Verayanti mengungkapkan, dirinya sempat beberapa kali menerima dana atau donasi dari mereka yang mendukung program Aksi Kita. Target ke depannya, program Aksi Kita ini dapat membangun sebuah rumah tahfiz.


Selasa, 03 Januari 2017

Siti Wardiyah Sabri : Seniman Ilustrasi Dari Pondok Pesantren.


Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Siti Wardiyah Sabri sudah menunjukkan bakatnya dalam membuat karya ilustrasi dan kartun. Keterampilannya semakin terasah ketika dia memutuskan untuk menempuh pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tak ayal, Siti kerap diminta untuk menjadi tutor dalam kegiatan lokakarya terkait, serta menjadi pengajar di lembaga pendidikan khusus menggambar anak-anak, yakni Globar Art.

Siti, yang lebih akrab disapa Dunki Sabri, mengatakan, ketika masih sekolah dasar, ia kerap mencoret-coret buku tulisnya dengan beraneka ragam gambar. Tak cukup menggambar, Siti bahkan pernah membuat beberapa komik di buku tulisnya sendiri. Kendati gambar dan cerita komiknya masih sederhana, ia telah berani menunjukkan karyanya kepada teman-temannya kala itu.

Walaupun melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya di lembaga pendidikan agama, yakni Pondok Putri Modern Gontor, Mantingan, Ngawi, Jawa Timur, tapi hal tersebut tak membuat Siti seketika memendam keahliannya menciptakan karya ilustrasi dan kartun. Di Gontor, ia justru semakin mengaktualisasikan kemampuannya. Siti mengatakan, ketika menimba ilmu di Gontor, ia aktif menjadi anggota Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM), yang bila di lembaga pendidikan umum semacam OSIS. Di OPPM, Siti kebagian jadi pengurus bidang kesenian. Anggota bidang kesenian selalu dipercaya untuk membuat berbagai media visual, seperti poster, mural, dan spanduk, untuk kebutuhan kegiatan-kegiatan harian para santri. Kala itulah, Siti merasa bahwa ternyata keahliannya ada manfaatnya.

Siti pun aktif mengkreasikan berbagai gambar dan ilustrasi untuk kebutuhan atau pendamping naskah-naskah berita majalah dinding semasa memondok. Selain itu, Siti juga sempat menerbitkan sebuah buku berjudul How To Make Cartoon untuk kalangan santriwati. Dalam buku tersebut, Siti menguraikan langkah-langkah untuk membuat sebuah karya kartun, mulai dari cara membuat kepala, kaki, gestur tubuh, dan lainnya. Sebelum menerbitkan bukunya, Siti tentu telah meminta izin lebih dahulu kepada bagian pengasuh. Kendati bukunya cukup banyak diminati para santriwati, namun dia mengaku kurang mengetahui respons bagian pengasuh pondok terhadap karyanya. Tapi yang jelas, sambung Siti, ia sama sekali tidak pernah dilarang untuk terus membuat gambar-gambar di bukunya, selama itu bermanfaat dan tidak berlebihan.

Selepas menempuh pendidikan di Gontor, Siti kian memantapkan hati untuk mengembangkan keahliannya membuat karya ilustrasi dan kartun. Ia sudah merencanakan ingin kuliah yang memang ada kegiatan gambarnya. Setelah berkonsultasi dengan kakaknya, Siti mencoba Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) untuk masuk pendidikan seni rupa di UNJ. Dan syukurnya, Siti diterima. Di UNJ Siti diajar semua aspek seni rupa dasar, yang ketika di pondok, ia tidak pernah dapatkan materinya secara formal.

Berbekal pengalaman dan ilmu-ilmu baru yang didapatkannya di kampus, Siti mulai memanfaatkan waktu luang kuliahnya untuk membuat berbagai karya ilustrasi untuk kebutuhan buku-buku sekolah dan buku cerita anak-anak. Pekerjaan tersebut didapatkan berkat info dari kakaknya, yang memang seorang pegawai di sebuah penerbitan. Proses tersebut memang tidak instan. Siti harus terlebih dahulu memperlihatkan portofolio gambar-gambarnya kepada penerbit. Hingga akhirnya mereka pun setuju, dan menugaskan Siti untuk membuat ilustrasi-ilustrasi yang sesuai dengan naskah buku. Bukunya sendiri adalah buku pelajaran sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Selain itu, Siti juga menggarap beragam karya ilustrasi untuk keperluan berbagai buku cerita anak-anak. Awalnya, beberapa temannya meminta dia membuat ilustrasi untuk buku edukasi khusus kalangan taman kanak-kanak. Setelah cukup banyak menerima pekerjaan membuat ilustrasi buku anak-anak, hasil karyanya itu pun Siti sebar di media sosial. Dari situ, mulai banyak penerbit yang menghubungi Siti untuk jadi ilustrator mereka.

Tak hanya itu, sebelum lulus kuliah, Siti juga telah mencecap pengalaman sebagai pengajar di Global Art, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Global Art merupakan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, yakni berupa kursus menggambar untuk anak-anak. Setelah lulus kuliah pada 2008, Siti sering menghabiskan waktunya untuk terlibat aktif dengan beragam komunitas ilustrasi dan kartun. Antara lain, komunitas komik Akademi Samali, Komunitas Ilustrator Indonesia (Kelir), Komunitas Muslimah Kreatif (Hijabographic), Komunitas Pelukis dan Guru-Guru Perempuan, dan lain-lain. Dari pergaulannya di komunitas, Siti bisa mengembangkan diri lebih jauh. Dia sering kali diminta menjadi tutor di acara-acara lokakarya ilustrasi dan kartun, seperti di Goethe (lembaga kebudayaan Jerman), dan pernah diundang oleh salah satu televisi swasta nasional.

Ketika berkenalan dengan beragam seniman ilustrasi dari berbagai daerah dan mancanegara di berbagai komunitas, Situ juga menyadari satu hal. Ia jadi mengerti bahwa keterampilan yang diberikan Allah SWT kepadanya tidak main-main. Karena  lewat karya-karyanya ini, Siti bisa speak our mind. Sejak 2011, Siti juga telah menyibukkan dirinya sebagai pengajar. Ia menjadi guru seni dan budaya di SMP Islam Al-Azhar I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kendati demikian, Siti masih mempunyai rencana untuk membuat proyek yang akan ia garap di waktu mendatang. Yakni membuat buku cerita anak-anak bernuansa Islami. Jadi, baik gambar maupun naskah ceritanya, Siti yang buat sendiri. Dia berkeinginan agar karyanya tidak hanya sekedar gambar tak bermakna dan tidak memiliki manfaat. Siti ingin gambarnya bisa menyampaikan sesuatu yang bermanfaat. Bukan hanya untuk tujuan komersil semata, tapi juga punya nilai keberkahan, persis seperti yang diterangkan oleh ustaz-ustaznya dahulu.