Senin, 02 Oktober 2017

Agnes Widyastuti, Sang Inisiator Selamat ( Sosialiasi Edukasi Keselamatan Berlalu Lintas) - Save The Children.

Sosialisasi Edukasi Keselamatan Berlalu-lintas (Selamat) adalah salah satu program milik Save The Children (STC). STC adalah sebuah organisasi yang program atau kegiatannya fokus menangani persoalan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Adapun tujuan dari program Selamat adalah untuk mengedukasi anak-anak, termasuk para orang tua, tentang pentingnya kepatuhan dan keamanan dalam berlalu lintas. Agnes Widyastuti adalah sosok yang menginisiasi lahirnya program Selamat. Muslimah yang juga menjabat sebagai senior program officer di STC ini mengungkapkan, program Selamat telah dilaksanakan sejak Oktober 2014 lalu. Ia mengaku, memiliki beberapa alasan yang mendorongnya menciptakan program tersebut.

Alasan yang paling utama, kata Agnes, adalah meningkatnya angka kematian anak dan remaja akibat berkendara di jalan raya dalam satu dekade terakhir. Menurutnya, naiknya angka kematian anak dan remaja tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dalam lingkup global. Badan kesehatan dunia atau WHO sampai menetapkan, kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebagai penyakit tidak menular. Ini saking masifnya angka kecelakaan di dunia. Di Indonesia, Agnes tak memungkiri, kesadaran masyarakat tentang pentingnya keamanan dan keselamatan anak-anak serta remaja di jalan raya memang masih minim. Dalam konteks ini, Agnes menyoroti satu persoalan utama, yakni masih cukup banyaknya orang tua mengizinkan anaknya, yang notabene secara hukum belum bisa mendapatkan surat izin mengemudi, untuk membawa kendaraan sendiri di jalan raya. Baik berupa motor maupun mobil.

Padahal, pengetahuan dan kesadaran anak-anak serta remaja tentang pentingnya keamanan dan keselamatan berlalu-lintas masih sangat terbatas. Kalangan remaja atau pelajar yang membawa sepeda motor, misalnya, kerap mengabaikan keselamatan diri dengan tidak menggunakan helm saat berkendara. Ini contoh yang sering terjadi. Akibatnya, cukup banyak nyawa anak dan remaja yang terenggut ketika mereka berkendara di jalan raya. Dan, tren atau angka kematian ini (remaja dan anak di jalan raya) terus meningkat di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Fenomena tersebut yang menyebabkan Agnes memelopori lahirnya program Selamat. Menurutnya, pengetahuan tentang keselamatan berlalu lintas adalah hal yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Apalagi kalau mengetahui, anak-anak atau remaja ini tidak hanya menjadi korban kecelakaan lalu lintas saja, tapi terkadang juga menjadi pelaku.

STC yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat ini menyasar sekolah-sekolah di sekitar Bandung, terutama SD dan SMP. Dipilihnya sekolah sebagai target program karena selain anak-anak dan remaja, di sana juga terdapat kalangan lain yang dapat diedukasi, yakni para guru sekaligus orang tua murid. Khusus untuk pelatihan dan pembinaan terhadap anak-anak, proses awal yang dilakukan adalah menyeleksi perwakilan siswa di sekolah. Para perwakilan tersebut, nantinya akan diberikan materi tentang keselamatan berlalu lintas. Kegiatan pembinaan dilaksanakan selama tiga hari. Adapun lokasi yang dipilih Agnes untuk kegiatan ini, yakni di Taman Lalu Lintas dan Taman Pramuka Bandung. Pada kegiatan pelatihan dan pembinaan tersebut, para perwakilan siswa dari sekolah masing-masing akan diedukasi tentang berbagai hal terkait keselamatan berlalu lintas. Mereka diperkenalkan pada rambu-rambu atau marka jalan, termasuk bagian jalan. Tidak hanya diperkenalkan pada rambu atau marka jalan, anak-anak tersebut juga diberitahu tentang alasan dan di mana biasanya rambu tersebut muncul.

Menurut Agnes, selama ini baik para orang tua maupun sekolah, biasanya hanya meminta anak-anak untuk menghafal rambu beserta artinya. Tapi tak diberi pemahaman lebih lanjut tentang fungsi rambu tersebut ketika muncul di jalan raya. Padahal, internalisasi nilai terkait hal ini lebih penting dan signifikan dibandingkan hanya menghafal. Selain rambu, pada sesi pelatihan dan pembinaan tersebut, anak atau siswa perwakilan sekolah juga ditekankan tentang fungsi dan pentingnya perlengkapan keselamatan berlalu lintas, seperti helm atau sabuk pengaman. Hal ini untuk menumbuhkan kesadaran mereka perihal bahayanya berkendara tanpa mengenakan perlengkapan keamanan atau keselamatan.

Dari proses pembinaan dan pelatihan selama tiga hari tersebut, tak sedikit siswa yang menindaklanjuti informasi yang diperolehnya dengan menciptakan karya-karya kreatif. Seperti video, komik, stiker, dan lainnya. Semua konten dari karya kreatif tersebut berisi seputar keselamatan berlalu lintas. Kegiatan pelatihan anak atau siswa ini dinamakan 'Penggerak Teman Sebaya'. Pelaksanaan kegiatan Penggerak Teman Sebaya telah dilaksanakan di 30 sekolah, terdiri dari 15 SD dan 15 SMP. Adapun target siswa yang hendak diedukasi dari kegiatan ini yakni sekitar 9000 siswa di seluruh Bandung. Agnes menjelaskan, program Selamat adalah proyek berjangka empat tahun dari STC. Dimulai pada 2014 dan diakhiri pada 2018.

Pada sesi pembinaan atau edukasi kepada orang tua siswa dan guru, terdapat beberapa poin yang ditekankan. Pertama adalah perihal keteladanan mereka dalam berkendara dan berlalu lintas. Misalnya, ada di antara mereka (orang tua/guru) yang mengendarai motor tanpa mau menggunakan helm karena alasan jaraknya dekat atau tidak ada polisi. Contoh kasus lainnya, adalah ketika mereka tidak mematuhi rambu atau marka jalan yang ada di jalan raya. Hal-hal seperti ini, menurut Agnes, memberikan contoh ketidakdisiplinan dan pada akhirnya diikuti oleh anak mereka masing-masing.

Selain keteladanan, materi lain yang diberikan kepada perwakilan orang tua murid dan guru adalah tentang keamanan dan keselamatan berkendara. Misalnya, tidak menempatkan anak di depan ketika mengendarai motor. Ini memang sering terjadi. Padahal kalau terjadi kecelakaan, potensi anak untuk cedera fatal sangat besar ketika mereka posisinya berada di depan. Begitu juga dengan mobil. Menurut Agnes, belum banyak orang tua mengetahui, anak yang berusia di bawah 12 tahun atau tingginya kurang dari 135 cm, sepatutnya tidak ditempatkan di kursi depan. Tidak kalah penting, perihal ketegasan dan komitmen orang tua untuk tidak mengizinkan anaknya membawa kendaraan bermotor ketika usianya belum mencukupi.

Agnes berharap, program Selamat dapat berkontribusi dalam menekan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak-anak serta remaja di dalamnya. Khususnya anak-anak dan remaja yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat. Secara nasional, Agnes menjelaskan, Jawa Barat menempati posisi ketiga sebagai provinsi dengan angka kecelakaan tertinggi di Indonesia. Menurut Agnes, kesadaran tentang keselamatan berlalu lintas penting untuk ditumbuhkan, tidak hanya kepada anak-anak dan kalangan remaja, tapi masyarakat secara umum. Sebab, patuh dan tertib dalam berlalu lintas adalah sebuah kebaikan. Dan, sebagai seorang Muslimah, ia merasa wajib untuk mengingatkan dan mengajak orang-orang di sekitarnya pada kebaikan. 

Rabu, 26 Juli 2017

Ni Nyoman Indirawati Kusuma : Pendiri Komunitas Perempuan Untuk Indonesia Sehat. Sarana Edukasi Kesehatan Untuk Perempuan dan Remaja


Sebagai seorang dokter, Ni Nyoman Indirawati Kusuma memiliki perhatian khusus terhadap bidang kesehatan, terutama terhadap kesehatan kaum perempuan dan anak-anak. Tingginya angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia menjadi keprihatinan perempuan yang akrab disapa Indirawati ini. Pada Juni 2015, Indirawati menginisiasi berdirinya Komunitas Perempuan untuk Indonesia Sehat (KPIS). Melalui komunitas ini, ia ingin memberikan edukasi pada masyarakat, khususnya kalangan remaja, tentang rawan dan bahayanya hamil dalam usia muda. Terlebih, bila kehamilan tersebut terjadi di luar pernikahan. Dia menjelaskan, faktor-faktor itulah yang menyebabkan peningkatan jumlah kematian ibu melahirkan di Indonesia.

Indrawati terdorong untuk menjadi bagian dari solusi masalah tersebut. Terlebih, Indonesia tidak dapat memenuhi target kematian ibu akibat melahirkan yang telah dicanangkan badan kesehatan dunia atau WHO pada 2015. Padahal, angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia sempat menurun pada 2013 dan 2014. Tapi ternyata, di tahun 2015 angka kematian ibu akibat melahirkan naik lagi. Menurutnya, angka kematian ibu meningkat karena beberapa hal. Dari akses kesehatan yang kurang memadai, minimnya pengetahuan tentang kesehatan kandungan, dan lainnya. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini masih cukup banyak yang memanfaatkan dukun untuk masalah kehamilan.

Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya angka kematian ibu akibat melahirkan adalah degradasi moral. Menurutnya, tak sedikit kalangan remaja di Indonesia yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. Hamil pada usia yang belum ideal tentu sangat rawan bagi seorang perempuan. Potensi si perempuan untuk meninggal cukup besar. Ditambah lagi kehamilannya yang di luar pernikahan, yang pasti tidak diinginkan, hal itu juga akhirnya menekan sisi mental atau psikis dari si perempuan itu sendiri. Bertolak dari kekhawatiran tersebut, Indirawati tergerak untuk membuat sebuah gerakan atau komunitas yang fokus terhadap hal ini, yakni kesehatan perempuan dan pergaulan remaja. Dan, pada pertengahan 2015, ia mendirikan KPIS dengan dibantu beberapa teman-teman kampusnya serta rekan-rekannya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Misi dari komunitas ini adalah gerakan perempuan untuk mewujudkan Indonesia sehat.


Sebelum membuat program kerja, Indirawati dan beberapa anggota KPIS lainnya terlebih dulu melakukan kunjungan kepada tokoh atau pihak yang memiliki perhatian serupa dengan KPIS. Mereka sempat meminta masukan dari anggota DPR RI, seperti Ledia Hanifa, dan Eva Sundari. Tak kurang, mereka pun sowan ke beberapa tokoh KPAI. Dengan demikian, ia mendapatkan pengetahuan teraktual, khususnya tentang isu dan gerakan kesehatan perempuan yang tengah dirintisnya. Indirawati mengaku mendapatkan beberapa masukan dan saran setelah melakukan pertemuan dengan pihak dan tokoh-tokoh tadi. Salah satunya adalah, pentingnya untuk menangani degradasi moral yang terjadi di kalangan remaja. Salah satu penyebab degradasi moral ini adalah karena semakin mudahnya akses terhadap konten pornografi. Hal ini menyebabkan remaja cukup rentan untuk melakukan perbuatan zina.

Oleh sebab itu, salah satu program yang dilakukan KPSI sejak 2015 hingga saat ini adalah membentuk sekolah-sekolah binaan. Khususnya sekolah di tingkat SMA, di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Bengkulu, Pontianak, dan Bandung. Indirawati menilai, salah satu yang paling rentan terhadap perbuatan zina atau melakukan seks bebas adalah kalangan remaja di tingkat SMA. Untuk program sekolah binaan ini, Indirawati telah menyusun kurikulum khusus. Secara umum, kurikulum itu membimbing remaja agar tak terjerembap dalam pergaulan negatif. Bahwa mereka harus memandang dirinya berharga dan bermartabat sehingga tidak boleh sembarangan orang menyentuh dirinya. Selanjutnya, diberikan juga hal-hal yang bersifat pengetahuan.

Ketika mendatangi sekolah-sekolah binaan KPIS di beberapa daerah di Indonesia, Indirawati juga selalu mengisahkan pengalamannya sebagai dokter umum. Dia mengaku pernah menangani pasien remaja yang terpaksa harus kehilangan nyawanya akibat mengandung dalam usia yang belum ideal dan di luar pernikahan. Pasien yang masih berumur 14 tahun itu tidak kuat menahan rasa sakit hingga akhirnya meninggal bersama bayinya. Kasus lainnya, Indirawati pernah mendapatkan seorang pasien perempuan berusia remaja dan mengidap penyakit infeksi menular seksual. Ternyata penyakit tersebut ditularkan oleh pacarnya, yang notabene pernah melakukan seks bebas.

Dari kisah-kisah tersebut, dia pun memasukkan nilai-nilai sekaligus mengimbau siswi-siswi di sekolah binaan tersebut agar tak memiliki nasib serupa dengan pasiennya. Menurut Indirawati, ia paham karena sifat remaja biasanya memang tidak mau dinasehati. Jadi, ia sengaja memakai cerita-cerita dari pengalamannya untuk mendorong mereka agar tidak terjebak dalam pergaulan negatif. Di sekolah-sekolah binaan tersebut, KPIS juga melakukan pemilihan duta pergaulan sehat. Duta tersebut nantinya akan menjadi representasi KPIS di sekolah. Kampanye yang disuarakan KPIS terkait kesehatan perempuan dapat tetap berkelanjutan di sana.

Indirawati mengaku selama ini sekolah-sekolah SMP atau SMA yang didatanginya untuk dijadikan sekolah binaan tak pernah menolak kehadiran KPIS. Ia menilai hal itu terjadi karena pihak sekolah menyadari bahwa mereka belum memberikan materi atau pendidikan tentang kesehatan perempuan. Kendati KPIS baru berdiri di tahun 2015, dan kegiatan atau programnya belum menuai hasil optimal, Indirawati memiliki harapan besar terhadap komunitas dan gerakan yang dirintisnya ini. Harapannya tentu bisa memberikan perubahan yang lebih baik untuk Indonesia, khususnya dalam bidang kesehatan perempuan.

Rabu, 19 Juli 2017

Eva Nukman, Mantan Apoteker Yang Terjun Dalam Pengembangan Literasi dan Buku Anak.


Meningkatkan kualitas buku anak serta memberi kemudahan bagi anak-anak Indonesia di berbagai daerah terpelosok untuk mengakses buku adalah salah satu harapan Eva Nukman. Kendati sempat berkarier dalam bidang farmasi sebagai seorang apoteker, hasrat untuk mewujudkan harapannya itu masih tertanam dalam dirinya. Pada 2014, Eva akhirnya menggagas berdirinya Yayasan Literasi Anak Nusantara (Litara). Yayasan ini merupakan alat yang digunakan Eva untuk merealisasikan harapannya tersebut. Dia mengungkapkan, sejak masih duduk di bangku SMP dan SMA di Padang, Sumatera Barat, ia memang hobi menulis puisi. Pada suatu momen, puisi yang ditulisnya sempat diterbitkan oleh salah satu harian lokal di sana.

Kebiasaan menulis itu berlanjut ketika ia menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sewaktu kuliah, Eva sudah cukup aktif menerjemahkan berbagai buku, seperti buku nonfiksi dan sains populer. Ketika lulus kuliah dan menekuni profesi sebagai apoteker, Eva tak melepaskan kebiasaannya menulis. Ia masih tetap aktif di dunia penerjemahan medis. Ia banyak menerjemahkan dokumen-dokumen kefarmasian, seperti dokumen uji klinis suatu obat, membuat panduan manual alat kesehatan, dan lainnya. 

Setelah menikah dan memiliki tiga orang anak, Eva sering terlibat diskusi dengan dua orang temannya, yang notabene telah memiliki anak pula dan merupakan temannya sewaktu di ITB. Diskusi tersebut berkisar tentang pendidikan anak serta buku anak. Dalam diskusi tersebut, Eva beserta dua temannya memiliki keresahan yang sama tentang buku-buku anak di Indonesia. Keresahan pertama berkaitan dengan konten buku anak, yang menurut mereka, cukup kaku karena hanya didominasi pesan moral berupa teks tanpa disertai ilustrasi gambar atau visual yang pas untuk anak-anak. Bukan berarti pesan moral itu tidak penting, tapi menurut Eva, kalau bisa disampaikan dengan cara yang lebih asyik dan menyenangkan, mengapa tidak ?


Keresahan kedua masih berkaitan dengan buku, tapi dalam konteks pendidikan anak secara menyeluruh. Menurut Eva, hingga saat ini penyebaran buku-buku anak masih lebih banyak di kota-kota besar saja. Di daerah terpencil, anak-anak masih kesulitan untuk mengakses buku. Ia menghendaki kemudahan akses terhadap buku-buku ini dapat pula dinikmati oleh seluruh anak di Indonesia.

Bertolak dari keresahan itu, Eva dan dua temannya merasa perlu untuk membuat sebuah gerakan. Kendati belum terpikir untuk mendirikan sebuah yayasan literasi anak, Eva dan dua temannya telah mencoba menulis buku anak pada 2012. Kegiatan menulis tersebut semata-mata ikhtiar awal untuk menciptakan buku anak yang berkualitas, baik dalam segi pesan, alur cerita, maupun ilustrasi dan visualisasinya. Pada tahun yang sama, Eva dan teman-temannya berhasil merampungkan tiga buku anak dan menerbitkannya secara eksklusif atau belum masif. Adapun buku-buku tersebut berisi tentang kisah anak-anak dengan latar atau setting tempat di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu buku karya Eva adalah Misteri di Pasar Terapung. Buku ini menceritakan petualangan seorang anak di Banjarmasin dengan pasar terapungnya.

Eva memang memiliki alasan tersendiri mengapa menulis buku dengan latar daerah. Menurutnya, keterwakilan anak-anak Indonesia di dalam buku anak memang belum terjadi. Buku anak rata-rata selalu memilih setting di perkotaan. Padahal, mengambil setting dan menciptakan tokoh anak daerah di dalam buku anak tak kalah penting. Sebab, dengan demikian anak tak hanya sekedar membaca, tapi bisa juga mengenal berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia.


Ketiga buku yang dibuat Eva dan dua orang temannya kemudian dibawa ke sebuah festival buku anak internasional di London, Inggris. Selain untuk mengetahui respons masyarakat dunia terkait buku yang dibuatnya,  kehadirannya di sana juga dalam rangka menimba ilmu dan pengetahuan dari beragam tokoh literasi anak dunia, seperti penulis atau ilustrator buku anak tersohor. Dan ternyata, respons hadirin di sana terhadap bukunya cukup bagus. Setahun berikutnya, Eva dan dua temannya telah menulis hampir 15 judul buku anak dengan memperkaya latar daerah-daerah di Indonesia dan ide ceritanya. Buku tersebut kemudian ia hadirkan kembali dalam festival buku anak internasional di Singapura. Sama seperti di London, Inggris, di Singapura buku karya Eva pun mendapat apresiasi positif dari pengunjung di sana.

Setelah berpartisipasi dalam dua festival buku anak internasional tersebut, pada 2014 Eva kemudian menggagas berdirinya Yayasan Litara. Lewat yayasan ini, ia memiliki beberapa misi yang hendak dicapai. Pertama, adalah mengajak penulis dan kreator buku anak, termasuk ilustrator, untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Dalam konteks ini, Eva ingin buku anak tidak hanya sekedar mengedepankan aspek pesan moral semata. Tapi juga harus memperkaya visualnya agar imajinasi anak bisa tumbuh. Seperti disinggung sebelumnya, Eva ingin anak-anak di seluruh Indonesia dapat mengakses buku-buku dengan mudah. Di sinilah sisi sosial Yayasan Litara. 

Pada tahun yang sama, Yayasan Litara berhasil menjalin kerja sama dengan sebuah lembaga yang juga fokus dalam bidang literasi, yakni Room To Read (RTR). RTR adalah organisasi global asal Amerika yang fokus mengembangkan kehidupan literasi anak-anak di negara-negara Asia dan Afrika. Lewat misi yang sama, RTR dan Yayasan Litara bekerja sama dalam menyelenggarakan lokakarya kepenulisan buku anak. Namun, peserta dari lokakarya ini diwajibkan mengikuti seleksi terlebih dulu. Proses seleksinya diserahkan kepada Yayasan Litara. Waktu itu Eva menginformasikan lokakarya ini di media sosial Facebook, salah satunya ke akun forum komunitas bacaan anak yang anggotanya sudah mencapai belasan ribu.


Setelah diseleksi, sejumlah penulis dan ilustrator buku anak pilihan Yayasan Litara dipersilahkan mengikuti lokakarya bersama RTR. Menurut Eva, secara umum, mereka diajarkan tentang metode menulis buku anak yang baik. Eva mengatakan, kerja sama dan lokakarya bersama RTR telah berlangsung dua kali, yakni pada 2015 dan 2016. Dari kegiatan tersebut, peserta lokakarya, yang notabene seorang penulis dan ilustrator, berhasil membuat beberapa karya berupa buku cerita bergambar untuk anak. Buku-buku tersebut akhirnya dicetak secara massal untuk dibagikan gratis ke sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai daerah terpelosok di Indonesia.

Selasa, 04 Juli 2017

Ida Nuraini Noviyanti, Pendiri Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara. Bentuk Wadah Pendidikan Islami Untuk Para Orang Tua.


Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara (HSMN) pada awalnya didirikan untuk memberikan penyuluhan dan pengetahuan kepada orang tua yang hendak mengambil jalur pendidikan home schooling untuk anak-anaknya. Lambat laun, Ida Nuraini, pendiri HSMN, menjadikan komunitas itu sebagai wadah untuk memberikan pendidikan Islam berbasis Al-Quran dan sunah kepada para orang tua guna dipaparkan dan diajarkan kepada anaknya.

Sebelum aktif di HSMN, Ida merupakan seorang dosen di salah satu universitas Islam swasta di Bandung, Jawa Barat. Kala itu, Ida telah memiliki dua orang anak berusia SD. Dan keduanya, ia berikan pendidikan secara home schooling. Menurutnya, cukup banyak yang mempertanyakan alasan dia memilih home schooling untuk anaknya. Terlebih, Ida beserta ayahnya dan suaminya memiliki latar belakang sebagai pendidik, yang biasanya sangat ketat mengenai proses pendidikan anak.

Pada suatu waktu, Ida akhirnya diundang untuk menjadi narasumber oleh Forum Curhat Emak Rempong (Forcer). Forcer merupakan sebuah grup di Facebook yang beranggotkan ibu-ibu dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas pelbagai hal tentang keluarga, mulai dari parenting, pola asuh, dan lainnya. Ketika itu Ida diundang untuk menceritakan pengalaman dan alasannya mengambil jalur pendidikan home schooling untuk anaknya. Diskusi tersebut berlangsung secara virtual melalui forum Facebook Focer. Pada kesempatan itu, Ida pun menerangkan perihal alasan mengambil pendidikan home schooling untuk anaknya. Dia mengatakan bahwa sengaja mengambil home schooling agar anaknya bisa memilih apa yang menjadi minatnya. Jadi, pendidikan home schooling memang lebih ditekankan kepada minat anak, seperti sains.

Kendati memberikan pendidikan sesuai minat anak, Ida juga tidak lupa untuk membekali anaknya dengan ilmu agama. Menurutnya, ilmu agama tetap penting untuk diberikan sedini mungkin. Ketika tengah berdiskusi dengan forum Focer, salah satu anggotanya mengajukan pertanyaan kepada Ida. Dia bertanya apakah ada home schooling khusus Muslim. Sepengetahuan Ida, saat itu memang belum ada home schooling khusus Muslim. Dari pertanyaan itu, Ida terpikir untuk membuat sebuah grup atau komunitas baru, yakni komunitas home schooling Muslim. Salah satu tujuan awal dari komunitas ini tak lain, yakni untuk memberikan wadah tersendiri bagi para orang tua yang memang ingin mengetahui banyak hal atau mungkin berbagi tentang pengalaman home schooling. Tanpa menunggu lama, Ida akhirnya meminta anggota forum Focer untuk mengirimkan nomor ponselnya masing-masing. Jadi, Ida tidak perlu membuat grup Facebook, tapi lebih memilih grup Whatsapp karena lebih mudah dan hampir semua orang pasti pakai aplikasi ini.

Pada awalnya grup tersebut memang bernama Home Schooling Muslim. Tapi, ada yang memberi usulan agar grup ini diberi nama Home Schooling Muslim Nusantara. Akhirnya pada 17 September 2014, HSMN terlahir. Seperti nama grupnya, pada awalnya diskusi antar anggota grup hanya seputar kegiatan atau pengalaman home schooling anak mereka masing-masing. Adapun tema diskusinya, seperti metode belajar bagi anak home schooling, legalitas home schooling, dan lainnya.

Banyaknya orang tua yang hendak bergabung dengan komunitas HSMN membuat Ida membagi grup Whatsapp HSMN menjadi 17. Anggotanya disesuaikan dengan domisili mereka. Jadi, ada 17 daerah di Indonesia, mencakup Jabodetabek, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Solo, Sulawesi, Kalimantan, Medan, dan lainnya. Setelah cukup banyak anggota dan grup, diskusi tidak lagi seputar home schooling saja, tapi juga merangkum berbagai hal. Misalnya, cara orang tua mendidik anak-anak mereka agar memiliki akidah dan akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam. Bertolak dari hal tersebut, Ida pun mulai merancang program tersendiri untuk para anggota HSMN. Jadi, Ida membuat kegiatan kajian online dan offline yang rutin untuk para anggota. Kajian ini tentu mengusung tema keislaman, seperti keimanan, Al-Quran, dan lainnya.


Untuk kajian online, dilakukan melalui grup Whatsapp yang telah tersedia. Sedangkan, penyelenggaraan kajian offline bertempat di lokasi yang ditentukan oleh anggota HSMN wilayah masing-masing. Misalnya, di rumah, di masjid, atau menyewa tempat tertentu. Baik kajian online maupun offline, juga selalu mengundang narasumber dari kalangan ustaz atau ustazah. Ida mengaku, memang memiliki misi tersendiri dari penyelenggaraan kajian-kajian keislaman untuk para anggota HSMN tersebut. Tujuan utama tentu untuk menambah pengetahuan para orang tua tentang berbagai ilmu keislaman yang sahih. Selain itu, tema-tema kajian keislaman yang dihadirkan diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk anak ketika mereka belajar dengan orang tuanya masing-masing. Karena para anggota memang selalu menekankan pentingnya anak untuk belajar persoalan agama agar mereka bisa menjaga keimanannya.

Setelah berlangsung lebih dari dua tahun, HSMN telah bernaung di bawah yayasan dan berbadan hukum. Adapun kantor pusat HSMN berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Ida berharap, ke depan, visi HSMN dapat terwujud. Yakni, menjadi komunitas pendidikan keluarga Muslim berbasis Al Quran dan sunah. Hingga pada akhirnya, para anggotanya bisa membangun keluarga dan generasi penerus Islam berakhlak karimah.

Jumat, 09 Juni 2017

Marctriera Krystiana Putri, Pendiri LBM Quranic Baby Club, Wadah Pendidikan Islami Untuk Balita.

Sebuah playdate dilaksanakan di Universitas Al Azhar Indonesia, akhir 2014 lalu. Kegiatan itu sederhana. Hanya diikuti lima anak yang didampingi ibunya. Kala itu, Marctriera Ktystiana Putri sebagai penggagas playdate itu, membuat simulasi play and movement. Dia hendak mengisahkan cerita Nabi Shaleh dengan cara menyenangkan untuk anak-anak. Bentuknya adalah kreasi membuat wayang unta, kemudian story telling tentang unta Nabi Shaleh. Ibu yang akrab disapa Rera ini mengaku kegiatan tersebut berjalan sesuai rencana. Anak-anak pun cukup antusias mengikuti kegiatan kala itu. Hanya, menurut mantan trainer di Sekolah Karakter Indonesia Heritage Foundation ini, waktu itu kendalanya ada di tempat. Karena diselenggarakan secara dadakan, maka tidak berhasil mendapatkan tempat di dalam ruangan. Sedangkan, anak-anak usia satu hingga dua tahun, ketika bermain di luar ruangan, agak sulit mengkondisikan diri agar tetap fokus.

Melihat antusiasme anak-anak dalam kegiatan playdate perdana itu, Rera terpikir untuk menggelar kegiatan serupa untuk kedua kalinya. Kali ini, ia mulai menawarkan kepada teman-temannya untuk terlibat sebagai relawan penyelenggara, mencakup kegiatan perlengkapan, sewa tempat, dan lainnya. Dua pekan kemudian, playdate anak-anak pun digelar kembali di SMP Al Azhar Jakarta. Jumlah peserta meningkat menjadi 10 anak. Kegiatan yang dibuat Rera cukup beragam. Rera masih memainkan play and movement. Anak-anak berkumpul bersama di lapangan, membentuk lingkaran, lalu membaca doa pembuka al-Fatihah. Ada kegiatan senam dan olah tubuh juga, kemudian memperkenalkan mereka kepada huruf-huruf Hijaiyah, serta kegiatan sentra, yaitu membuat playdough.

Setelah menjalani beberapa kali playdate, Rera memutuskan untuk serius dengan aktivitasnya tersebut. Pada 2015, dia mendirikan Little Bee Meals (LBM) Quranic Baby Club, yakni sebuah wadah pendidikan khusus balita dan anak-anak. Salah satu visi LBM Quranic Baby Club adalah menyelenggarakan pendidikan dini untuk balita dan anak-anak berbasis Al-Quran dan sunah. Rera merupakan Muslimah yang pertama kali mencetuskan ide pembentukan LBM Quranic Baby Club. Sebagai seorang ibu, ia menyadari, pendidikan agama memang perlu diberikan kepada anak-anak sedari dini. Tujuannya tak lain, yakni agar anak-anak kelak menjadi generasi Muslim yang cerdas dan tangguh.

Rera pun mulai membentuk tim yang lebih profesional dan membuat perencanaan yang lebih matang. Dari segi kurikulum, kegiatan, maupun administrasi keuangan diperhatikan. Ia juga meminta kesediaan para orang tua, yang notabene merupakan teman-temannya di tempat pengajian, untuk terlibat dalam tim penyelenggara. Secara khusus, Rera bahkan, merekrut dua pengajar yang memang memiliki latar pendidikan keguruan. Setelah membentuk sebuah tim, Rera mulai memikirkan nama untuk wadah pendidikan anak yang dirintisnya. Istilah akronim LBM pun diambil dari nama grup obrolan Whatsapp Little Boo Meals, grup obrolan untuk ibu-ibu hamil. Seiring berjalannya waktu, Rera lantas mencari nama yang lebih bermakna dan memiliki filosofi yang bagus, maka kepanjangan LBM akhirnya diganti menjadi Little Bee Meals.

Secara harfiah Little Bee Meals, menurut Rera, artinya makanan atau suplemen untuk lebah. Lebah dalam hal ini merujuk kepada anak-anak. Dipilihnya lebah, karena hewan tersebut yang manfaatnya paling banyak, seperti yang dituliskan Al-Quran dalam surat an-Nahl. Sedangkan, kata 'makanan' bermakna ilmu atau kegiatan yang dapat mengasah dan meningkatkan perkembangan anak-anak. Jadi, LBM diharapkan dapat menjadi wadah penanaman akidah, pengembangan akhlak atau adab anak serta fungsi sosio-emosional balita, sekaligus sebagai komunitas orang tua yang tengah mengembangkan pendidikan rumah bagi balitanya (home education).

Kendati proses perintisan telah dilakukan sejak 2014 dan 2015 lalu, LBM Quranic Baby Club terbentuk secara resmi pada 2016. Pada 2016, LBM Quranic Baby Club memiliki struktur kepengurusan dan kurikulum yang cukup matang. Saat ini, LBM Quranic Baby Club memiliki dua kelas utama, yakni kelas Jundi dan Mujahid. Kelas Jundi diisi oleh anak-anak berusia dua hingga tiga tahun. Sedangkan, kelas Mujahid diikuti oleh anak-anak berusia tiga hingga empat tahun. Total anak di tiap-tiap kelas berjumlah 15 orang. Rera juga berencana untuk membuka kelas Ghuraba, yakni untuk anak-anak berusia empat hingga lima tahun.

Adapun jenis-jenis kegiatan di LBM Quranic Club saat ini antara lain jurnal, play and movement, snack time, appetizer, main course, dan dessert. Jurnal merupakan kegiatan untuk mengasah daya motorik anak. Biasanya kegiatannya seputar doodles atau corat-coret serta gambar, menempel, mewarnai, menggunting, dan lainnya. Play and movement adalah kegiatan berupa olah tubuh. Setelah berkumpul di lapangan dan membaca al-Fatihah serta belajar, anak-anak akan melakukan beberapa kegiatan. seperti bermain petak umpat, mencari jejak, bermain bola, dan lainnya. Setiap kegiatan di sini disesuaikan dengan perkembangan motorik kasar tiap-tiap anak.

Kemudian snack time, yakni makan bersama. Menurut Rera, aktivitas ini merupakan kegiatan favorit. Setelah masuk kelas, anak-anak akan mengeluarkan snack yang mereka bawa dari rumah. Mereka harus menyisihkan makanan yang mereka bawa untuk ditaruh di baki bersama. Ini mengajarkan mereka untuk berbagi. Setelah semuanya menyisihkan makanan, nanti makanan di baki itu akan dimakan bersama-sama. Anak-anak pun dikenalkan dengan aktivitas menyenangkan sejak awal. Kegiatan pembuka mereka disebut dengan appetizer. Pada sesi ini, anak-anak, akan dibimbing membaca surah-surah pendek Al-Quran secara bersama-sama. Ada pula kegiatan hijaiyah words, yakni pengenalan huruf-huruf hijaiyah. Lalu ada muwasofat untuk menanamkan karakter pribadi Muslim. Acuannya adalah 10 Muwasofat Imam Hasan Al Banna. Metodenya bisa dengan bercerita, menonton video, menceritakan gambar, dan acting feeeling.

Kegiatan utama biasanya disesuaikan dengan tema yang diusung saat itu. Adapun jenis kegiatan pada sesi ini antara lain eksplorasi, imajinasi, rancang bangun, fun cooking, ibadah, dan lainnya. Kemudian, dessert adalah kegiatan penutup. Pada sesi ini, pengajar biasanya akan menyampaikan doa harian atau hadis pendek dengan peraga berupa gambar. Atau dengan menempel stiker asmaul husna di pohon asmaul husna. Setelah itu, doa penutup majelis dan doa penutupan. Kegiatan di LBM Quranic Baby Club tersebut dilaksanakan dua pekan sekali. Kendati belum memiliki tempat tetap atau masih harus menyewa ruangan PIA Al Azhar Jakarta, hal tersebut tak menyurutkan semangat Rera dan anggota tim lainnya. Sebab, mereka menyadari bahwa yang tengah mereka lakukan merupakan sebuah ikhtiar untuk mencetak generasi penerus Muslim yang tangguh, cerdas, serta tetap berpegang teguh pada tuntunan Al Quran dan hadis.

Rabu, 31 Mei 2017

Anna Farida, Mengajarkan Ilmu Menulis Kepada Ibu Rumah Tangga Melalui Sekolah Perempuan.


Menjaga kesinambungan pendidikan kaum ibu rumah tangga dengan kegiatan menulis adalah misi dari Sekolah Perempuan. Sekolah tersebut merupakan wujud ide Anna Farida yang memang menekuni dunia kepenulisan. Dengan Sekolah Perempuan, ia berharap dapat turun berperan dalam merealisasikan sebuah visi, yakni menerbitkan sejuta buku karya ibu-ibu rumah tangga. Sebagai penulis, Anna sudah berhasil mempublikasikan puluhan buku dengan tema dan judul yang cukup beragam. Antara lain buku tentang parenting, cerita anak, pernikahan, dan lain-lain. Kendati kegiatannya cukup menyita waktu, dia tak serta merta mengabaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, yakni mengurus keluarga dan berdedikasi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi demikian menggugah sebuah gagasan dalam dirinya. Ia menyadari, kalangan ibu rumah tangga pasti memiliki potensi kreativitas yang dapat diasah. Salah satu potensinya sama seperti yang dilakukannya selama ini, yakni menulis.

Anna menilai, cukup banyak ibu rumah tangga yang menelantarkan ilmu dan pengetahuannya hanya karena ingin mengabdi pada keluarga pasca menikah. Padahal, ilmu dan pengetahuan mereka sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan masyarakat bila dituangkan ke dalam sebuah buku. Hal itulah yang membuat Anna terpikir mendirikan sebuah wadah pendidikan untuk kalangan ibu rumah tangga. Sesuai dengan kemampuan dan jaringan penulis yang diketahuinya, ia mendambakan dapat menghadirkan tempat belajar menulis untuk para ibu rumah tangga.


Menurut Anna, menulis merupakan kegiatan yang cukup fleksibel sehingga cocok untuk ibu rumah tangga. Selain dapat dilakukan di mana pun, menulis juga menjadi metode belajar yang baik untuk para ibu. Karena dengan menulis, mau tidak mau mereka juga mesti membaca, browsing, berkomunikasi dengan orang lain. Jadi, mereka akan terus membuka wawasan. Pada 17 Agustus 2013 lalu, Anna akhirnya mendirikan Sekolah Perempuan, yang berlokasi di Jalan Muhammad Toha, Bandung, Jawa Barat. Dalam proses pembentukan Sekolah Perempuan, dia dibantu oleh beberapa temannya di komunitas penulis.

Sebelum mendirikan Sekolah Perempuan, Anna dan beberapa temannya di sebuah komunitas penulis sebenarnya memang telah menawarkan proyek penerbitan sebuah buku untuk kalangan ibu-ibu rumah tangga. Proses penawaran tersebut dilakukan di media sosial. Penawaran di media sosial tersebut bersambut baik. Cukup banyak yang tertarik dan ingin berpartisipasi dalam proyek tersebut. Dari sinilah, mulai terjaring ibu-ibu yang memiliki niat serius untuk menerbitkan sebuah buku. Mereka yang berminat akhirnya tergabung dalam Sekolah Perempuan. Banyaknya peminat dari berbagai daerah membuat Anna juga menyediakan kelas online atau virtual. Dengan demikian, jarak tidak menjadi kendala bagi para ibu rumah tangga yang memang sungguh-sungguh ingin menulis dan menerbitkan sebuah buku.


Untuk angkatan pertama, Anna menyediakan kuota untuk 40 peserta, mencakup peserta kelas tatap muka dan virtual. Ia memang sengaja membatasi jumlah peserta. Selain karena mentornya terbatas, kalau terlalu banyak peserta juga tidak akan efektif belajarnya. Bila masih banyak yang hendak mendaftar, mereka akan dialihkan ke angkatan berikutnya. Yakni sekitar dua hingga tiga bulan pasca angkatan sebelumnya mendaftar. Hal ini karena dalam satu angkatan proses belajarnya menghabiskan waktu sekitar tiga bulan. Untuk proses pendidikan dan pengajaran, Anna memang menyiapkan kurikulum. Setidaknya ada delapan materi yang diberikan kepada para ibu rumah tangga tersebut.

Materi pertama berkaitan dengan persiapan komitmen dan manajemen waktu untuk menulis. Sebab, para ibu rumah tangga ini aktivitasnya juga cukup tinggi, jadi perlu diberikan kiat-kiat bagaimana cara menyisipkan waktu untuk menulis di tengah-tengah kesibukan mereka. Berikutnya terkait dengan proses penggalian ide. Anna dan para mentor lainnya selalu menganjurkan agar para ibu rumah tangga menulis sesuatu yang lekat dengan keseharian atau latar belakang mereka untuk mencari ide tulisan. Kemudian, adalah tentang cara membuat outline. Anna juga membagi tentang tata cara melakukan riset agar tulisan mereka dapat dipertanggung jawabkan.


Materi selanjutnya tentang cara menulis kalimat dan paragraf yang baik. Jadi, di sini seperti mengulang pelajaran yang dulu pernah diajarkan pada masa sekolah. Ada pula materi tentang bagaimana memanfaatkan dan mengelola media sosial.  Di sini ditekankan bahwa media sosial itu bukan hanya wadah untuk sekadara curhat, tapi juga bisa jadi sarana belajar dan promosi karya mereka nantinya. Terakhir, Anna juga mengajarkan tentang proses penerbitan sebuah buku dari awal hingga akhir. Pada materi ini, Anna juga melampirkan tentang cara alternatif menerbitkan sebuah buku, seperti melalui ebook dan audio book. Dari setiap angkatan selalu ada ibu rumah tangga yang mampu menuntaskan naskah siap terbit. Sekolah Perempuan selalu mencari dan memilihkan penerbit bonafid untuk naskah-naskah mereka. Sebagian ada juga yang ingin karyanya diterbitkan dalam bentuk ebook.

Setelah berselang sekitar tiga tahun, sudah cukup banyak naskah para ibu rumah tangga di Sekolah Perempuan yang akhirnya terbit dan dipasarkan. Jenis-jenis bukunya antara lain buku parenting, cerita anak, tutorial atau panduan, resep, novel, dan lain-lain. Tidak sedikit karya-karya yang kandas ketika dalam proses penggarapan. Sebagian peserta memilih menuangkan gagasannya dalam menulis di media seperti blog dan berbagai varian media sosial. Anna mengaku tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Karena terbit itu sebenarnya bukan tujuan, sebab yang paling utama adalah proses belajar yang mereka lewati. Mereka mengalahkan diri sendiri dengan menyempatkan menulis di tengah kesibukan mereka.

Hingga saat ini, Sekolah Perempuan telah memiliki 16 angkatan. Adapun total alumni Sekolah Perempuan, berjumlah sekitar 170 orang. Termasuk ibu rumah tangga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Ke depan, Anna berharap Sekolah Perempuan dapat menghasilka sejuta buku karya para ibu rumah tangga. Kata sejuta di sini menunjukkan bahwa Sekolah Perempuan memang sangat ingin menerbitkan banyak buku dari para perempuan atau ibu rumah tangga.

Sabtu, 20 Mei 2017

Peggy Melati Sukma, Hijrah Dari Dunia Selebritis Menuju Dunia Dakwah.


Tahun 2013 merupakan masa-masa terberat bagi Peggy Melati Sukma. Pesohor muslimah itu sempat mengalami depresi cukup hebat. Dua tahun lamanya sosok yang pernah tersohor dengan ekspresi "pusiiiing!" di sinetron Gerhana ini bergumul dengan kegelisahan. Apa-apa yang telah dibina selama dua puluh tahun terakhir mulai berantakan. Hidupnya seperti kehilangan arah. Perempuan kelahiran Cirebon ini mengaku dirinya menjadi sosok yang tak mampu mengendalikan diri. Lalu, itu berdampak pada relasinya dengan sekitar, terutama pada bisnisnya. Sehingga, ia banyak kehilangan orang-orang dekat, bahkan juga kehilangan rumah tangganya.

Saat itu, Peggy sering pulang larut malam hingga dini hari. Kesibukannya begitu melelahkan. Ia kian merasa tenggelam dan tidak bahagia. Peggy sempat mempertanyakan kehidupannya yang berjalan seperti itu. Bahkan, ia juga sempat marah kepada Allah. Ternyata, hal itu menjadi pengantar baginya untuk berhijrah. Peggy menjelaskan, tidak ada momentum khusus yang menjadi titik balik. Semua berjalan sebagai proses. Itu dimulai dengan kebiasaannya sampai di rumah pada larut malam. Peggy menyadari, hal itu merupakan kesempatan untuk belajar bangun malam (qiyamul lail). Kemudian, ia mulai berusaha merutinkan shalat tahajud di sepertiga malam. Adapun waktu tidurnya ia ambil ketika menumpang mobil pribadi dalam perjalanan pulang.


Usai shalat malam, Peggy merasa ada kerinduan dari dalam hatinya untuk memperbaiki hubungan dengan Allah. Dia merasa perlu mendapatkan keseimbangan dari ingar-bingar aktivitasnya selama ini. Menurut Peggy, kuncinya dalam berhijrah, memang harus mengenal diri sendiri dan mengenal Allah. Lalu, sikap yang mesti dilatihkan adalah sabar. Supaya sampai pada keikhlasannya. Sejak saat itu, Peggy giat mengunjungi majelis-majelis untuk belajar pada sejumlah alim ulama. Ia kemudian diperkenalkan pada makna hijrah. Kata itu memiliki dua arti. Secara istilah, hijrah merupakan peristiwa sejarah ketika Nabi Muhammad SAW berpindah dari Makkah ke Madinah. Secara umum, hijrah bermakna meninggalkan segala yang dilarang Allah dan menuju apa-apa yang dicintai Allah. 

Peggy merasa, sebelumnya ia tidak menyadari akar kegelisahannya. Selama ini, hidupnya hanya fokus pada urusan duniawi, seperti kekayaan atau popularitas. Di sisi lain, urusan ukhrawinya berantakan. Padahal, soal harta dan fisik adalah sementara. Peggy pernah mengalami beragam peran, seperti penyanyi, artis, model, duta di sejumlah lembaga terhormat, baik dalam maupun luar negeri, hingga dunia bisnis. Namun, semua itu tidak memberinya kebahagiaan sejati. Akhirnya, ia menyadari, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, Dia bukan melihat harta dan jasad, melainkan hati dan amalan. Segalanya merupakan milik Allah. Manusia tidak memiliki apa-apa. Karena itu, menurut Peggy, sudah sewajarnya untuk kembali, berserah diri kepada Allah, baik di kala senang maupun sulit. Tunjukkan langsung kepada Allah bahwa kita membutuhkan ampunan-Nya, dengan tepat waktu sholat, memperbaiki membaca Al-Quran, berpuasa, qiyamul lail, merapihkan (menutup) aurat, dan lain-lain yang diperintahkan Allah.


Menurut Peggy, hijrah membutuhkan perjuangan. Tidak serta merta yang ditinggalkan itu sesuatu yang tidak menyenangkan. Justru sebaliknya. Pelaku hijrah mungkin meninggalkan sesuatu yang disukai dan menjadi bagian dari dirinya dan sumber penghasilan. Satu hal penting dalam berhijrah adalah ridha orang tua. Dalam Al-Quran, Allah berkali-kali mengingatkan umat Islam soal ini. Bahkan, dalam Surah Lukman, Allah menyebut kewajiban berbakti kepada ibu dan ayah setelah larangan menyekutukan Allah.

Peggy merasa beruntung lantaran memiliki orang tua yang menyayanginya. Karena itu, dia menyarankan agar dalam berhijrah menuju ridha Allah, perbaiki terlebih dahulu hubungan diri dengan orang tua. Menurutnya, Allah menciptakan diri manusia melalui cinta kedua orang tua. Karena itu, bagi Peggy, ridha orang tua adalah pintu satu-satunya menuju taubat yang sesungguhnya. Jalan hijrah dimulai dari ridhanya kedua orang tua. Hal ini yang sering kali Peggy sampaikan dalam banyak kesempatan dakwah. Peggy menambahkan, jalinan dari taubat dan berbakti kepada orang tua adalah sikap ikhlas. Kemudian, hijrah bukanlan sebuah destinasi, melainkan proses yang berlangsung terus menerus. Banyak orang mengatakan, setelah hijrah itu akan mendapat banyak cobaan. Peggy pun menyetujui. Karena hijrah merupakan sebuah perjalanan. Jadi, jangan mengira, setelah hijrah, maka hidupnya senang, kemudian tidak berbuat apa-apa.


Kini, sosok Peggy Melati Sukma aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah. Ia dikenal sebagai penggagas dan pengelola gerakan Urban Syiar Project yang berfokus pada dakwah, pemberdayaan sosial, dan donasi kemanusiaan. Gerakan ini menjangkau dan menyalurkan bantuan di wilayah-wilayah konflik, seperti Palestina dan Suriah. Ia juga ikut membangun sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Gaza. Sampai sekarang, Peggy masih bergiat dakwah keliling Indonesia. Ia mengisi pelbagai acara pelatihan dan membangun 99 rumah belajar Al-Quran. Selain itu, Peggy juga menulis buku. Salah satu buku karyanya adalah Kujemput Engkau di Sepertiga Malam, yang menjadi best seller.

Peggy bersyukur, lantaran hidupnya kini menapaki proses hijrah dari dunia selebritis menuju ladang dakwah. Ia justru menemukan hidup yang lapang dan tenteram. Sampai saat ini, ia juga sudah mengunjungi 25 negara untuk berdakwah atau menjadi pembicara Muslimah. Ia pernah menjadi Duta Filantropi Dompet Dhuafa, Duta Islamic Book Fair, dan anggota Dewan Kelautan Indonesia. Saat ini, ia merupakan Duta Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).




Kamis, 04 Mei 2017

Willawati, Eksis Di Dunia Perfilman Tanah Air Bersama Kaninga Pictures.


Willawati selalu tertarik dengan dunia film. Dia tak pernah absen meluangkan waktunya untuk menonton film di bioskop setiap pekan. Dari ketertarikan tersebut, Willawati akhirnya ikut terlibat dalam produksi beberapa film nasional. Dia pun ikut memproduksi film pada 2014. Sebuah rumah produksi film mengajaknya bekerja sama untuk menerbitkan sebuah film berjudul Cinta Selamanya. Film itu dibintangi oleh aktor dan aktris kenamaan Indonesia, seperti Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan.

Tawaran kerja sama itu diterima Willawati. Kala itu ia bertindak sebagai eksekutif produser, yang tugasnya antara lain merumuskan konsep film dan menyediakan biaya atau anggaran produksi. Jadi, ia memang terlibat langsung dalam detail produksi sehari-hari. Film Cinta Selamanya berhasil dirilis dan diputar di bioskop-bioskop Tanah Air pada 2015 lalu. Kendati demikian, Willawati mengaku, masih banyak kekurangan yang ia rasakan dalam proses penggarapan dan produksi film tersebut. Berangkat dari pengalaman itu, pada tahun yang sama Willawati mendirikan Kaninga Pictures.


Selain sebagai wadah belajar dan bereksplorasi, pembentukan Kaninga Pictures dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan dalam dirinya sendiri. Dia selalu berintrospeksi apakah akan selalu ada kendala atau pengalaman kurang bagus dalam setiap proses produksi film seperti yang dirasakannya ketika menjadi eksekutif produser Cinta Selamanya. Sejak mendirikan Kaninga Pictures, Willawati selalu berupaya untuk menjalin kerja sama dengan banyak pihak. Ia dibantu oleh sebuah tim kreatif internal Kaninga Pictures. Tugas tim ini adalah menyeleksi dan memilih film apa yang akan diproduksi, melihat peluang pasar, kemudian akan dijual ke mana, dan lain-lain.

Sejak membentuk Kaninga Pictures, anggota Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) ini mengakui, cukup banyak pihak yang mendatanginya untuk mengajak bekerja sama. Mereka datang kemudian menawarkan proyek pembuatan film untuk dieksekusi. Willawati lalu akan mempelajari dulu proyeknya bersama tim internal Kaninga Pictures, lalu nanti akan ada yang diterima dan ada pula yang tidak. Film pertama yang diproduksi Kaninga Pictures adalah Terjebak Nostalgia. Salah satu aktor dan aktris yang berperan dalam film ini adalah penyanyi populer Raisa dan Chicco Jerikho. Film itu rencananya dirilis pada awal Februari  2016. Namun, karena ada suatu masalah, film akhirnya baru dirilis dan tayang pada 1 Desember 2016.


Selain film tersebut, Kaninga Pictures juga telah menggarap dan memproduksi beberapa film lainnya. Antara lain film I'am Hope, Bangkit, Night Bus, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Bid'ah Cinta, dan The Returning. Saat proses produksi, Willawati tetap bertindak sebagai eksekutif produser. Dua di antara film-film itu, yakni Bid'ah Cinta dan The Returning, diproduksi sendiri oleh Kaninga Pictures tanpa bekerja sama atau melibatkan pihak lain. Bid'ah Cinta merupakan film bernuansa Islami yang bercerita tentang adanya perbedaan-perbedaan pandangan dalam Islam dalam menyikapi persoalan bid'ah yang berhubungan dengan kisah percintaan.

Willawati mengungkapkan, pesan yang hendak disampaikannya dalam film itu adalah bahwa perbedaan pandangan dalam hidup pasti akan selalu ada. Tapi, perbedaan ini tidak mesti disikapi dengan emosi, apalagi sampai berseteru dan bertikai. Film Bid'ah Cinta dibintangi oleh beberapa aktor dan aktris Tanah Air, seperti Ayushita, Alex Abbad, dan Ibnu Jamil. Film ini telah dirilis dan diputar serentak di bioskop-bioskop Indonesia pada awal 2017.


Saat ini Willawati juga tengah menjalin kerja sama dengan Studio Ghibli. Studio ini merupakan studio film animasi terbesar asal Jepang. Karya-karya dari Studio Ghibli memang telah mendapat pengakuan dunia. Film animasi mereka yang berjudul Spirited Away, misalnya, mendapatkan cukup banyak penghargaan di festival film internasional, termasuk Piala Oscar. Terjalinnya kerja sama antara Kaninga Pictures dan Studio Ghibli memang terjadi secara tidak sengaja. Willawati mengaku diperkenalkan kepada tokoh-tokoh Studio Ghibli oleh rekan bisnisnya dalam bidang energi listrik di Jepang. Karena rekan bisnisnya itu tahu kalau Willawati punya perusahaan produksi film.

Willawati awalnya tidak mengetahui sama sekali tentang Studio Ghibli. Tetapi, setelah mengulik informasi dan bertanya kepada tim Kaninga Pictures, ia baru menyadari bahwa Studio Ghibli merupakan raksasa dalam produksi film animasi. Bahkan, bisa dibilang Studio Ghibli lebih besar dibandingkan Pixar atau Walt Disney. Dan menurut Willawati, ini kesempatan yang bagus untuk menjalin kerja sama dengan mereka. Setelah berkunjung ke Studio Ghibli di Jepang, Willawati mengatakan kepada mereka pentingnya untuk melakukan transfer ilmu kepada orang-orang yang juga menggeluti bidang produksi film animasi. Khususnya mereka yang berada di Indonesia.


Hasilnya, pada Agustus 2017, Studio Ghibli bekerja sama dengan Kaninga Pictures akan menggelar acara pemutaran film sekaligus pameran di Jakarta. Willawati juga akan mengajak dam melibatkan sejumlah praktisi film dan animator Indonesia. Hal ini agar mereka dapat menyerap ilmu dari tokoh-tokoh Studio Ghibli. Aktivitas Willawati bersama Kaninga Pictures merupakan ikhtiar untuk memperkaya dan memajukan dunia perfilman Tanah Air. Dia menilai, secara kreativitas, film-film Indonesia memiliki potensi untuk bersaing dengan film-film internasional. Kendati demikian, untuk meraih sebuah kualitas dalam bidang perfilman memang tidak mudah. Menurutnya, proses belajar yang tiada henti adalah satu hal yang perlu dilakukan oleh semua elemen perfilman di Indonesia, termasuk dirinya.









Jumat, 07 April 2017

Yusy Sriwindawati : Berbagi Ilmu Membuat Kue Kelas Internasional


Yusy Sriwindawati telah menuai kesuksesan dalam merintis bisnis penjualan aneka ragam kue hias. Keputusannya mengikuti kursus membuat kue yang diselenggarakan koki kue internasional di berbagai negara membuat bisnisnya semakin melejit. Sejak saat itu pula Yusy kerap diminta menjadi tutor dalam berbagai kursus pembuatan kue di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia lainnya. Tanpa sungkan, Yusy membagi ilmunya yang sudah mencapai level dunia.

Bisnis kue yang dikembangkan Yusy memang tidak berlangsung di Indonesia, melainkan di Doha, Qatar. Sejak pindah ke sana untuk ikut suaminya bekerja, ia mulai merintis bisnisnya. Pada 2002, tak lama setelah tinggal di Doha, Yusy memulai bisnis kulinernya. Ketika itu, ia memang belum membuat kue, melainkan aneka makanan, seperti pempek, siomay, dan bakso. Menurutnya, kala itu, jenis-jenis makanan tadi masih cukup langka di sana. Kendati tidak memasarkan atau menjualnya melalui toko, yakni hanya memanfaatkan media sosial Facebook, jumlah pesanan cukup lumayan.

Kala itu, Yusy juga sempat memasok siomay, bakso, dan pempek buatannya di sebuah toko yang menjual berbagai produk Indonesia di sana, yaitu Qatindo. Walaupun masa kadaluwarsanya sekitar tiga bulan, makanan buatannya yang dijual di Qatindo biasanya habis dalam waktu sebulan. Namun, meski peminatnya cukup banyak, Yusy tidak terlalu lama menjual makanan-makanan tersebut. Pada 2004 ia mulai merintis bisnis kue, mulai kue kering hingga kue hias. Ia mengaku, mendapat usulan untuk berbisnis kue dari anaknya. Menurut anaknya, bila ia menjual makanan seperti siomay, bakso, dan pempek, itu peminatnya paling hanya masyarakat Indonesia. Tapi, kalau berjualan kue, warga mancanegara pun sepertinya berminat juga.


Akhirnya, Yusy pun menuruti usulan anaknya. Ia mulai membuat beberapa jenis kue, kemudian dijual dengan cara yang sama seperti sebelumnya, yakni via Facebook. Dan, ternyata benar, yang pesan kue buatannya tidak hanya orang Indonesia saja, tapi banyak warga mancanegara yang juga order. Setelah sering share info produknya lewat Facebook, sepertinya tersebar juga dari mulut ke mulut. Sejak saat itu, Yusy mengaku, mulai sibuk mengeksekusi berbagai pesanan kue yang diterimanya via Facebook dan e-mail. Pada titik ini, Yusy merasa bisnisnya mulai berjalan dan akan berkembang pesat. 

Hal tersebut memang terbukti. Dari hari ke hari, pesanan kue terus berdatangan kepadanya. Tapi, kala itu, memang belum banyak jenis kue yang dijual atau dieksekusi Yusy berdasarkan pesanan. Hanya jenis kue tertentu saja, seperti bolu dan chiffon cake. Kendati demikian, Yusy memang mendapat cukup banyak keuntungan. Namun, ia tak menabung atau menghamburkan keuntungannya tersebut. Laba bersih yang diraih ia investasikan untuk pendidikan, yakni berupa kursus membuat kue yang diselenggarakan oleh koki kue internasional.

Selain untuk memperluas wawasan tentang dunia kue hias, menurut Yusy, kursus juga memiliki manfaat lainnya. Yakni, membangun kepercayaan konsumen atau pelanggan tentang kualitas kue yang ia jual. Akhirnya, Yusy pun mengikuti kursus. Tak hanya di Doha, ia juga pergi ke beberapa negara untuk mengikuti kursus pembuatan kue tersebut. Di antaranya di Penang (Malaysia), Dubai, termasuk Indonesia. Di masing-masing negara, Yusy menghabiskan waktu sekitar sepekan untuk mengikuti serangkaian materi kursus. Dan harus Yusy akui, biayanya memang tidak sedikit alias mahal. Sekali kursus dia bisa menghabiskan sekitar Rp 30 juta.


Yusy mengaku, hampir seluruh keuntungannya digunakan untuk membiayai kursusnya. Tapi, hal tersebut tak merisaukannya. Sebab, Yusy memang telah bertekad untuk menjadi pembuat kue yang lebih profesional. Seusai mengikuti berbagai kursus, pengetahuan Yusy tentang cara membuat beragam kue hias semakin mumpuni. Ia mengkreasikan beraneka macam kue dengan bekal ilmu yang dimilikinya. Kue-kue tersebut selanjutnya ia unggah di Facebook dan akun Instagram-nya. Hal tersebut tentu saja berdampak langsung bagi bisnisnya. Cukup banyak yang merespons positif kreasi kue buatannya. Dan tentu saja, pesanan tetap menghampiri. Bahkan, dalam sehari, ia bisa mendapat empat pesanan kue hias.

Kendati bisnisnya berkembang cukup baik, sejak 2014 Yusy juga mulai menyempatkan diri untuk pulang dan mengajar kursus pembuatan kue di beberapa kota di Indonesia. Menurutnya, penting untuk membagi ilmu yang didapatkannya sewaktu kursus kepada para pebisnis dan penjual kue yang tinggal di Indonesia. Dalam proses ini, Yusy memang tidak diminta secara langsung oleh pihak penyelenggara kursus untuk mengajar di Indonesia. Awalnya, ia hanya membuat modul tentang cara pembuatan kue, lalu diunggah ke Facebook dan bertanya adakah yang berminat belajar padanya. Ternyata, banyak pihak dari Indonesia yang mau belajar pembuatan kue seperti yang biasa Yusy buat.

Meski tidak membagi pengetahuan dan pengalamannya secara cuma-cuma, Yusy tidak mematok tarif selangit untuk jasa pengajarannya. Sebab, dia menyadari, tidak semua orang atau pebisnis dan pedagang kue mampu membayar kursus seperti yang sempat diikutinya di beberapa negara. Pada suatu waktu, Yusy sempat mendengar terdapat satu koki kue internasional yang menggelar kursus pembuat kue butter cream Korea di Indonesia. Namun, untuk mengikuti kursus tersebut, para peserta harus menyiapkan biaya sekitar Rp 20 juta. Yusy merasa, tidak semua orang memiliki uang sebanyak itu untuk mengikuti kursus membuat kue.


Oleh sebab itu, pada suatu kesempatan mengajar di Jakarta, Yusy membimbing para peserta kursus tentang tata cara tepat membuat kue butter cream Korea. Saat itu, kue butter cream Korea memang tengah digandrungi masyarakat pencinta kue di Jakarta. Dalam setiap proses pengajaran, Yusy selalu mendorong para pesertanya yang praktik langsung (hands on). Jadi, Yusy tidak melakukan demo, melainkan para peserta yang langsung membuat kuenya. Karena menurut Yusy, kalau ia hanya melakukan demo, ujung-ujungnya hanya ia yang pintar. Selain itu, metode hands on juga lebih efektif. Bila telah menjajal sendiri membuat kue, para peserta kursus cenderung akan lebih mudah megingat urutan pembuatan kue, dengan detail-detailnya secara tepat.

Selain di Jakarta, Yusy juga menggelar kelas atau kursus pembuatan kue di beberapa kota lainnya, antara lain, di Depok, Bandung, Malang, Semarang, dan Lampung. Sebenarnya Yusy juga mendapat tawaran untuk mengajar kursus di salah satu toko kue di Papua. Tapi, ia belum diizinkan suaminya kalau harus mengajar sampai ke sana. Saat ini, rutinitas Yusy sebagai pengajar dan pebisnis kue masih tetap berjalan. Menurutnya, ada satu hal yang perlu dilakukan agar bisnis kue dan pemahaman tentang cara membuatnya dapat terus berkembang, yakni senantiasa belajar. Saat belajar, ide dan inovasi kreatif dalam membuat kue akan tetap lahir.





Kamis, 30 Maret 2017

Inne Rachma Hardjanto : Fotografer Berhijab Yang Taklukkan Industri Mode Eropa.


Tak tebersit di benak Inne Rachma Hardjanto akan menekuni profesi sebagai fotografer profesional. Sejak masih duduk di bangku SMA hingga kuliah, Inne hanya menjadikan bidang ini sebagai pengisi waktu luang. Seiring berjalannya waktu, keahlian Inne pun semakin terasah. Hingga sekarang, dia menjadi salah satu fotografer ternama di Belanda. Sudah cukup banyak proyek pemotretan yang melibatkan model dan merek ternama di berbagai negara Eropa yang dia garap. Dengan balutan jilbab, Inne pun tampil percaya diri menjepret top model ternama di catwalk level dunia.

Awal keputusan Inne untuk menjadi fotografer dimulai ketika harus meninggalkan Indonesia. Dia menemani suaminya bertugas di Belanda pada 2004. Berselang dua tahun, Inne sudah menetap di Negeri Kincir Angin tersebut. Selama tinggal di Belanda, Inne mengaku memiliki cukup banyak waktu untuk menyalurkan hobi fotografinya, selain juga bepergian atau travelling. Tanpa diduga-duga, Inne ditawari oleh rekannya untuk menggarap proyek pemotretan model dan produk mode dari salah satu merek busana milik Belgia. Lulusan Universitas Rotterdam ini diminta untuk membuat promo iklan berupa foto fashion dan beauty. Selain itu, juga diminta untuk membuat online present untuk para model yang dipotretnya, Jadi, Inne harus campaign artis tersebut secara online, baik melalui website juga weblog.


Proyek pemotretan perdana tersebut digarap Inne seorang diri. Mulai menentukan konsep, proses eksekusi, hingga fase pascaproduksi. Inne mengaku, mendapat cukup banyak ilmu dan pengalaman dari proyek pemotretan perdananya itu. Kendati merupakan pengalaman perdana, klien Inne cukup puas dengan hasil pekerjaannya. Sejak itu, mantan dosen ilmu manajemen di Universitas Indonesia ini mulai menemukan jaringan yang lebih luas untuk pekerjaan dan hobinya. Seusai menuntaskan proyek perdananya, Inne mulai terlibat di beberapa proyek industri mode di negara-negara Eropa. Tak hanya itu, dia pun mulai berkenalan dengan berbagai desainer busana yang cukup kondang di sana. Pekerjaan yang ditawarkan kepada Inne tidak lagi hanya seputar pemotretan model dan mengkampanyekannya di jejaring internet. Inne juga mulai menggarap proyek, seperti pembuatan katalog sejumlah desainer dan brand. Ada juga campaign untuk diterbitkan di majalah, billboard, leaflet, calender brand, dan lain-lain.

Walaupun cukup banyak klien dari kalangan desainer dan merek mode Eropa yang ingin menggunakan jasa pemotretannya, semua itu tidak membuat nilai-nilai keislaman yang dianutnya goyah. Seperti diketahui bahwa produk busana atau mode Eropa, memang sering kali mengumbar bagian tubuh perempuan. Bila terdapat klien yang memintanya untuk memotret busana-busana vulgar atau membuka aurat, Inne selalu menolak. Hanya busana yang sopan atau tidak terbuka yang ingin ia abadikan. Kendati demikian, hal tersebut tidak menyurutkan minat para desainer atau produsen mode di sana untuk tetap menggunakan jasa Inne. Menurut Inne, ada selalu beberapa hal yang menjadi acuan kliennya sebelum mengajak bekerja sama. Di antaranya, adalah sikap atau tingkah laku serta profesionalisme. Jadi, kombinasi semuanya sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan kerja sama di kemudian hari.


Setelah cukup lama berkarier secara profesional di dunia fotografi, pada 2010 Inne mendirikan Picturesque Production (PP). Pembentukan PP merupakan bentuk keseriusan Inne dalam menekuni bidang mode. Inne mengungkapkan, salah satu tujuan dibentuknya PP adalah untuk melayani klien, yakni para desainer dan produsen mode ketika hendak menyelenggarakan acara pertunjukan mode atau fashion show. Kegiatan PP sendiri cukup banyak. Inne menjadi event director yang merancang acara, mulai konsep, pemilihan tempat, staf pekerja atau tim, penata rias artis dan model, rekrutmen desainer, membangun relasi dengan media, dan lain-lain. Setelah membentuk PP, salah satu acara yang diikuti Inne adalah Amsterdam Fashion Week. Dalam acara itu, Inne bertindak sebagai partisipan dan vendor model sekaligus desainer, karena dia sudah menjalin kerja sama langsung dengan direktur Amsterdam Fashion Week.

Inne juga pernah memproduksi sebuah pertunjukan mode yang penggarapan sepenuhnya dilakukan oleh PP, yakni acara Cologne Fashion Week di Jerman dan Monki First Fashion Show in Europe. Di kedua acara tersebut, selain sebagai vendor Inne juga sekaligus menjadi special guest. Tak hanya itu, Inne pun pernah menggelar pertunjukan mode bernuansa Islam dalam acara Reception and Fashion Show Event. Untuk acara ini, Inne melibatkan beberapa desainer Tanah Air, seperti Irna Mutiara, Monika Jufry, dan Deden Siswanto. Dalam acara tersebut, semua model mengenakan hijab. Konsep serupa pun juga dieksekusi Inne dalam perhelatan Indonesia Cultural Fashion, yang digelar pada pertengahan Desember 2016. Selain menampilan busana-busana khas berbagai daerah di Indonesia, pada momen tersebut, Inne juga kembali menyuguhkan produk busana muslimah. Acara itu juga dimaksudkan untuk menjadi wadah menampilkan karya-karya desainer Indonesia.


Salah satu tujuan Inne membentuk PP dan menggelar pertunjukan mode bernuansa Islami adalah karena keinginannya untuk menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya kepada dunia, khususnya Eropa. Bahwa Islam itu sesungguhnya sangat ramah dan menyukai keindahan. Kaum Muslim pun juga tidak perlu ditakuti, karena kaum Muslim juga menyukai mode dan lainnya. Oleh sebab itu, Inne selalu berupaya menyasar masyarakat Eropa dalam berbagai kegiatannya. Hal itu semata-mata dilakukan agar pesan tentang Islam yang ramah dan menyukai keindahan dapat diterima dan dimengerti oleh mereka. Inne pun yakin ada banyak Muslimah khususnya mereka yang berasal dari Indonesia, dapat melakukan apa yang telah ia lakukan selama ini. Ia ingin membagi kisah dan inspirasi bahwa masyarakat Indonesia sejatinya mampu sejajar dengan Eropa. Kuncinya hanya profesionalisme, kerja keras, dan yang terpenting adalah kekuatan doa.


Senin, 20 Maret 2017

Gyan Puspa Lestari : Ketua Pengurus Pusat Pemudi Persis, Berdakwah Lewat Organisasi.


Sejak remaja, Gyan Puspa Lestari memang telah aktif dalam berbagai kegiatan di organisasi otonom Persatuan Islam Indonesia (Persis), yakni di Persatuan Islam Istri (Persistri), dan Pemudi Persis. Setelah aktif cukup lama, perjalanan dakwah mengantarkannya menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemudi Persis periode 2014-2018. Sekarang, Gyan tengah fokus memperkokoh karakter keislaman Muslimah, terutama mereka yang bernaung di bawah Pemudi Persis.

Gyan mengatakan, pada 1998, ia bersekolah di sebuah madrasah tsanawiyah milik Persis di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, dia juga telah aktif dalam organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Di sana, Gyan menjalani amanah sebagai ketua OSIS untuk kalangan putri di sekolahnya. Di madrasah itu, ketua OSIS untuk siswa laki-laki dan perempuan memang dibedakan. Pada usianya yang masih sangat muda, Gyan juga telah terpilih sebagai mubaligah Persistri. Ia masuk mubaligah tingkat pimpinan daerah se-Kabupaten Bandung waktu itu.

Pada 2002, Gyan memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Al-Azhar Mesir. Kendati terpisah dari berbagai kegiatan di Persistri dan Pemudi Persis, tak membuat nalurinya sebagai seorang kader Persis pudar. Ketika di Al-Azhar, Gyan menginisiasi berdirinya komunitas alumni pesantren Persis, yang waktu itu memang belum ada. Saat dibentuk, Gyan juga langsung terpilih sebagai ketuanya. 

Setelah membentuk komunitas tersebut, Gyan mulai menggelar kegiatan rutin untuk para anggotanya, yang ketika itu hanya berjumlah lima orang. Rutinitas mereka menyelenggarakan kajian, khususnya untuk memperdalam mata kuliah yang diajarkan. Di dalam forum ini, mereka mengasah kemampuan akademis. Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas tersebut tidak hanya alumni pesantren Persis saja. Lambat laun, banyak pula mahasiswa asal Indonesia, yang tidak pernah bersekolah di lembaga pendidikan Persis, ingin bergabung dengan komunitas tersebut. Kendati demikian, Gyan tetap terbuka dan menerima mereka.

Lulus dari Al-Azhar pada 2007, Gyan kembali ke Indonesia. Namun, ketika itu ia sempat vakum dari berbagai kegiatan karena sedang mengandung. Tak lama setelah kepulangannya dari Mesir, Gyan terpilih menjadi pimpinan Pemudi Persis cabang Margaasih, Bandung, Jawa Barat. Perlu diketahui, Pemudi Persis Margaasih anggotanya terbanyak se-Indonesia, yakni sekitar 380-an anggota. Ketika menjadi pimpinan Pemudi Persis Margaasih, Bandung, Gyan merancang serangkaian kegiatan untuk para anggota. Kegiatan rutin biasa dilakukan pada Jumat. Setiap Jumat, mereka mengadakan berbagai kegiatan, seperti mendatangkan mubaligah dari pimpinan daerah, kajian kitab fikih, hingga seminar yang berkaitan dengan perempuan, seperti parenting dan tutorial hijab. Ragam kegiatan memang sengaja digelar oleh Gyan. Hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan keilmuan dan keterampilan setiap anggotanya. Sebab memang tak sedikit anggota  Pemudi Persis Margaasih yang masih remaja. Menurut Gyan, awal perjalanan dakwahnya dimulai ketika ia menjabat sebagai ketua cabang Pemudi Persis Margaasih. 

Pada 2012, Gyan dipanggil PP Pemudi Persis untuk menjadi ketua atau koordinator divisi penelitian dan pengembangan (litbang). Ketika menjabat posisi itu, pengalaman berorganisasinya semakin matang. Sebab, saat aktif di litbang PP Pemudi Persis, Gyan seringkali mengkaji persoalan-persoalan internal organisasinya. Salah satunya adalah pola kaderisasi. Menurut Gyan, persoalan utama yang harus ditangani ketika menjabat sebagai koordinator litbang PP Pemudi Persis adalah perihal berkembangnya cara pandang bahwa perempuan ideal adalah mereka yang dapat merintis dan mengembangkan kariernya. Maksudnya adalah, ketika perempuan itu bisa berkarier, itu bisa menjadi sesuatu yang membanggakan. Tapi, terkadang mereka lupa ada kewajiban utama sebagai seorang Muslimah, yaitu harus tetap mampu berperan sebagai seorang istri dan ibu untuk anaknya.

Akhirnya, Gyan dan rekan-rekannya di litbang PP Pemudi Persis mendesain sebuah silabus untuk menangkal cara pandang tersebut. Silabus itu nantinya akan dijadikan acuan atau pedoman untuk seluruh kajian di Pemudi Persis, mulai pengurus pusat hingga cabang. Gyan berpendapat, fenomena wanita karier memang bukan hal dan sesuatu yang baru. Terlebih lagi dengan berkembang dan maraknya paham seperti feminisme. Namun, Gyan hanya ingin menegaskan fitrah sebagai seorang perempuan atau Muslimah. Islam, menurutnya, tidak pernah mengekang dan memperkosa hak-hak perempuan. Jadi, silahkan berkarier sesuai dengan potensi masing-masing. Tapi tetap ingat, fitrah dan batas-batas yang disyariatkan oleh Al-Quran dan sunah.

Gyan mengatakan, silabus tersebut saat ini telah diterapkan di Pemudi Persis. Penerapannya sendiri dilakukan tak lama setelah dirinya menjadi Ketua Umum PP Pemudi Persis dalam muktamar pada 2014 lalu. Selain penegasan fitrah melalui silabus, hal lain yang tengah dilakukan Gyan setelah didaulat sebagai Ketua Umum PP Pemudi Persis adalah merancang sebuah buku saku berpakaian dan berbusana untuk para anggotanya. Buku tersebut menjadi respons organisasinya terhadap perkembangan tren mode busana Muslimah saat ini. 

Gyan mengaku sangat gembira melihat perkembangan mode busana Muslimah dalam beberapa tahun terakhir. Sebab motif, bentuk, warna, dan modelnya sangat beragam. Ia tidak mempermasalahkan bila anggota Pemudi Persis mengikuti perkembangan tren mode busana Muslimah. Namun, mereka juga harus mengetahui aturan atau syariat yang telah ditetapkan Islam terkait hal tersebut. Menurutnya, masih banyak fenomena Muslimah berbusana, tetapi seolah tampil tanpa busana. Maksudnya adalah, mereka berpakaian, tapi lekuk tubuhnya sangat terbentuk. Bahan pakaiannya juga sangat tipis, yang akhirnya mengundang mata laki-laki untuk melihat.

Selain kedua hal tersebut, saat ini PP Pemudi Persis tengah berupaya merampungkan buku sirah jihad Pemudi Persis, dari awal didirikan pada 1954 hingga saat ini. Gyan mengungkapkan, buku sirah jihad tersebut akan menggambarkan bagaimana perjuangan Pemudi Persis sejak awal kelahirannya. Dipaparkan dari periode kepengurusan satu ke periode kepengurusan berikutnya. Dengan buku itu, Gyan berharap para anggota Pemudi Persis dapat lebih menghayati perjuangan organisasi. Bahwa perjuangan itu tidak mudah. Semoga nantinya anggota Pemudi Persis bisa mengambil pelajaran dan hikmah di dalamnya. Buku tersebut juga diikhtiarkan sebagai media untuk senantiasa memperbaiki diri. Yang kurang bisa dievaluasi dan perbaiki, sementara yang baik harus terus dikembangkan. Jadi, harapan Gyan, ke depan Pemudi Persis bisa berkiprah lebih baik lagi.




Sabtu, 11 Maret 2017

Erna Eruna, Mengukir Prestasi Lewat Cerpen dan Olahan Ikan di Turki.


Erna Eruna semringah. Perempuan berhijab ini baru saja mendapat tiket pesawat gratis ke Indonesia. Mahasiswi yang tengah kuliah di Turki ini akhirnya bisa pulang ke Tanah Air dan bertemu dengan keluarganya di Bandung, Jawa Barat. Tiket gratis yang diperoleh dari Radio Republik Indonesia (RRI) dihadiahkan kepada Erna sebagai imbalan usai memenangkan lomba cerita pendek (cerpen). Karya Erna berjudul Seiris Prasangka menjadi juara III karya sastra terbaik yang dikompetisikan di antara para pendengar siaran luar negeri Voice of Indonesia (VOI) LPP RRI dalam acara Bilik Sastra VOI Award.

Cerpen yang dibuatnya bercerita tentang tiga orang asing yang dilatarbelakangi oleh suasana sebenarnya. Erna memang sudah kuliah selama tiga tahun di Ege University, Izmir, Turki, ketika membuat cerpen tersebut. Dia mendapatkan beasiswa Burslari dari Pemerintah Turki. Sesuai dengan studinya di Institut Pertanian Bogor (IPB), Erna mengambil jurusan perikanan. Saat kuliah di Izmir, Erna bertemu dengan banyak teman dari beragam bangsa, budaya, dan bahasa. Dari pengalamannya itulah, lahir cerpen Erna tersebut.

Sebenarnya, perempuan kelahiran Bandung, 26 November 1990 ini tidak pernah belajar di sekolah menulis. Namun, Erna mulai terbiasa menggores tinta seiring dengan hobinya membuat memo di dalam buku harian. Diary itu dimiliki Erna saat dia mulai kuliah di IPB. Dia sengaja membuat buku harian karena sering kali lupa dengan hal-hal kecil yang dialaminya saat kuliah. Dari awalnya sekedar iseng-iseng, lama-lama jadi ketagihan.

Pada 2013, Erna berangkat ke EG University di Izmir. Di sana Erna mengambil jurusan pengolahan makanan ikan. Masa-masa awal di negeri dua benua ini, Erna mengaku sempat mengalami gegar budaya alias jetlag. Erna harus menyesuaikan diri dengan cuaca Turki yang sering kali berubah drastis juga makanannya. Hal belakangan ini, diakui Erna, menjadi adaptasi tersulit yang harus dilaluinya. Rasa makanan Turki yang begitu flat tidak sesuai dengan lidah Asia Erna. Meski demikian, perlahan Erna pun sudah bisa menyesuaikan. Makanan pilihannya sekarang adalah baklava dan kebab.

Hanya, Erna mengagumi karakter orang Turki. Selain banyak orang Turki masih memegang teguh ajaran agamanya, mereka juga memiliki kinerja layaknya orang Eropa, tetapi tetap ramah seperti orang Asia. Kenangan lain yang membuat Erna terpesona dengan warga Turki adalah loyalitas mereka kepada pemimpin. Erna berkisah, saat percobaan kudeta terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 15 Juli 2016 lalu menjadi saksinya. Ketika itu, Erna terbangun tepat tengah malam. Dia mendengar banyak orang mengaji di masjid. Tak henti-henti mereka pun melantunkan zikir, tahlil, dan tahmid. Mereka semua sedang mendoakan Erdogan.

Hobi menulis Erna semakin menjadi di Turki. Dia pun mulai membuat blog. Erna menulis cerita-ceritanya di jangkarmerahmuda.blogspot.com. Beragam tema ditulis Erna lewat blog itu. Tak cuma curahan hati seorang gadis, Erna pun lincah menulis ragam budaya Turki beserta dengan tradisinya. Meski demikian, dia tetap selalu bangga dengan budaya Indonesia. Ini bisa dilihat dari celotehannya lewat blog berjudul "Beginilah Ras Turki". Dikisahkan, pada suatu pagi Erna sempat meminta selimut pada seorang teyze (panggilan 'bibi' dalam istilah Turki). Lalu sang bibi itu sempat bertanya pendapat Erna tentang Turki. Pertanyaan yang sudah sering ia terima sejak kedatangan pertamanya di negeri itu. Sepengamatan Erna, orang-orang Turki memang termasuk tipe orang yang amat sangat bangga terhadap bangsanya. Tak peduli tua, muda, lelaki, atau perempuan, ketika bertemu dengan orang asing mereka akan selalu bertanya apakah negaranya bagus atau tidak. Dan tentu saja, jawaban yang mereka harapkan adalah, "Iya, Turki bagus", meskipun kita sadar betul bahwa negara kita sendiri mungkin jauh lebih bagus dari Turki. Dan dengan entengnya, saat itu Erna pun menjawab, bahwa Turki memang sangat bagus, tapi Indonesia jauh lebih bagus. Dahi sang bibi tampak berkerut mendengar jawaban Erna kala itu yang berbeda dari jawaban-jawaban biasanya. Namun, Erna tetap berbicara sesuai fakta, bahwa Indonesia memang jauh lebih bagus, tidak akan pernah ada duanya. 

Bersama tiga temannya, Erna pun mulai menulis buku tentang serba-serbi Turki. Buku bertema traveling ini dipadukan dengan budaya dan karakter masyarakat Turki. Erna pernah mengajukan untuk menerbitkan buku ini di Indonesia. Sayangnya, pihak penerbit sudah memiliki kandidat terlebih dahulu dengan tema yang sama. Karena itu, sampai sekarang Erna masih menyimpan naskah buku itu agar kelak bisa diterbitkan.

Erna saat ini sedang fokus untuk membuat makanan berbahan dasar ikan untuk dipresentasikan sebagai tesis. Dia membuat sejenis kerupuk ikan dengan beragam kandungan gizi dan protein, seperti omega 3. Ikan bluwhitting yang hanya ada di Turki dan perairan Eropa menjadi bahan dasarnya. Dengan produk ini, Erna berharap mampu membuat diversifikasi pangan untuk masyarakat Turki. Erna berkisah, bahwa pengolahan ikan di Turki sebenarnya sangat monoton. Masyarakat Turki kalau menyantap ikan, hanya dimakan ikannya saja. Utuh satu ekor. Erna pun membandingkan dengan pengolahan ikan di Indonesia. Di Indonesia, sebuah ikan bisa dijadikan beragam produk, dari mulai kerupuk hingga kosmetik. Erna pun pernah membawakan kerupuk ikan untuk diberikan kepada orang Turki, dan mereka sangat ketagihan.

Karena itu, Erna mengaku akan membuat hak paten atas produk dari hasil penelitiannya itu. Dia memang tak berharap terlalu jauh produknya bisa dijual dalam skala industri. Erna hanya berharap namanya bisa dikenang sebagai pencipta produk tersebut. Meski Indonesia dikenal akan kreasi produk berbahan dasar ikan, Erna masih mengeluhkan produk-produk hasil pengolahan ikan tersebut belum bisa tembus ke pasar internasional. Padahal, kata Erna, peminat kerupuk ikan di Eropa sangat besar. Menurutnya, sulitnya produk Indonesia berkembang karena usaha kecil dan mikro produk-produk hasil pengolahan ikan itu tak memiliki jaringan. Tidak hanya itu, mereka pun kesulitan mendapat ikan-ikan berkualitas karena harganya yang mahal. Karena itu, Erna berkomitmen akan membantu para nelayan Indonesia usai lulus dari EG University.