Kamis, 18 Agustus 2016

NABILAH HAYATINA : Aktivis Persatuan Pelajar Indonesia Istanbul, Turki. Menempa Diri Dalam Organisasi.



Kesibukannya menuntut ilmu di Universitas Marmara, Istanbul, Turki, tak membuat Nabilah Hayatina hanya terpaku pada kegiatan-kegiatan akademis kampus semata. Meski sedang berada di negeri orang, ia begitu aktif berorganisasi. Bagi Nabilah, organisasi adalah tempat yang tepat untuk menempa dan mengaktualisasi diri. Sejak 2013 lalu, Nabilah memilih aktif dalam organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul. Ia juga merupakan penggagas berdirinya Forum Lingkar Pena (FLP) Turki.

Perkenalannya dengan PPI Istanbul memang tak terjadi tiba-tiba. Setelah diterima sebagai mahasiswa di Universitas Marmara, Nabilah segera mencari tahu tentang keberadaan perhimpunan atau organisasi pelajar Indonesia di sana. Setelah menyelisik melalui media sosial, ia pun menemukan organisasi bernama PPI Istanbul. Anggota PPI inilah yang mulanya membantu Nabilah mempersiapkan berbagai kebutuhan ketika tiba di Istanbul, seperti mendaftar di asrama, mengurus asuransi, dan lain-lain. Saat mendapat info bahwa PPI Istanbul tengah mencari anggota-anggota baru untuk menjadi pengurus, Nabilah pun langsung bergabung dan aktif di organisasi tersebut. Nabilah langsung diminta menempati posisi sekretaris PPI Istanbul. Amanah dan kesempatan itu tak disia-siakan. Ia mencoba semampunya untuk memberi kontribusi terbaik bagi organisasinya. Usaha dan keseriusannya mengemban tanggung jawab PPI Istanbul pun menuai hasil positif. Setahun kemudian, ia diamanahi jabatan baru sebagai wakil ketua PPI Istanbul.

Sejak didaulat menjadi wakil ketua, Nabilah pun menginisiasi sejumlah kegiatan. Salah satunya, menyelenggarakan Indonesian Association in Istanbul Youth Forum (ISAIYF). Untuk kegiatan ini PPI Istanbul mengundang seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di Turki untuk berpartisipasi. Pada ISAIYF 2015 Nabilah mengusulkan tema “Youth Entrepreneur”. Jadi mereka mengundang salah satu motivator dari Amerika Serikat, dan direktur Indomie di Istanbul, yakni Muhammad Yusuf Ahmad. Selain itu, ia juga mengajak para anggota PPI Istanbul yang berjumlah sekitar 230 mahasiswa untuk terlibat aktif dalam aksis sosial, yakni membantu warga Suriah yang tengah dilanda bencana kemanusiaan. Selain uang, mereka mencoba memberi bantuan berupa makanan, obat-obatan, dan pakaian kepada warga Suriah, baik yang masih berada di negaranya maupun yang sudah mengungsi ke Istanbul. Namun, khusus bantuan langsung ke Suriah, PPI Istanbul tidak melakukannya sendiri. Mereka bekerja sama dengan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk mendistribusikannya. Hal ini karena PPI Istanbul, yang tergolong sebagai organisasi pelajar dilarang mendekati zona perbatasan antara Turki dan Suriah.

Kegiatan lainnya yang dikerjakan PPI Istanbul, adalah mempromosikan kebudayaan dan kesenian Indonesia di sana. Setiap tahunnya, PPI Istanbul selalu berpartisipasi dalam festival kebudayaan internasional yang digelar di Istanbul. Dalam festival tersebut, persatuan atau perhimpunan pelajar asing, seperti PPI Istanbul diharuskan untuk membuat gerai yang memberikan informasi tentang negaranya masing-masing. Nantinya, gerai tersebut akan dinilai oleh pihak panitia. Jadi, di gerai itu PPI Istanbul menyuguhkan berbagai informasi tentang Indonesia, mulai dari makanannya, keseniannya, kebudayaannya, dan lain-lain. Selain itu, peserta festival juga diminta untuk mementaskan salah satu kesenian, dalam konteks ini berbentuk musik, tari, dan nyanyian tradisi untuk dilombakan pula. Dan dengan penuh rasa syukur, Nabilah mengungkapkan, untuk lomba tari dan nyanyi, PPI Istanbul berhasil menang dua kali berturut-turut sejak 2012. Sedangkan untuk gerainya, berhasil tiga kali menang berturut-turut.

Untuk berpartisipasi dalam festival kebudayaan internasional tersebut, PPI Istanbul memang tidak bekerja sendiri. Tapi, dibantu oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Istanbul, terutama untuk penyediaan kostum peserta tari, musik, dan nyanyian tradisi. Menurut Nabilah, keguyuban dan prestasi yang ditorehkan oleh PPI Istanbul telah menginspirasi sejumlah mahasiswa mancanegara di sana. Mereka cukup kagum dengan keakraban anggota PPI Istanbul walaupun sedang jauh dari negara asal. Terlebih lagi, PPI Istanbul memang cukup sering menyelenggarakan berbagai kegiatan. Dan Nabilah berpendapat, berbagai kegiatan yang diselenggarakan PPI Istanbul adalah proses syiar untuk memperkenalkan budaya dan wajah masyarakat Indonesia. Selain itu, karena penduduk Indonesia mayoritas adalah Muslim, hal ini juga merupakan kesempatan untuk mensyiarkan Islam. Anggota PPI Istanbul, terutama perempuannya, kata Nabilah, mayoritas memang berhijab. Karena itu, mereka ingin memperkenalkan kepada lingkungan di sana tentang Islam di Indonesia itu seperti apa. Agar dapat dimengerti bahwa Islam itu  seperti sejatinya, yakni hangat, damai, dan jauh dari sifat kekerasan.
  
Kendati kini tak lagi menempati posisi strategis, Nabilah tetap aktif di PPI Istanbul. Hingga saat ini, ia juga masih sering diminta untuk menjadi pemandu diskusi rutin yang digelar PPI Istanbul. Walaupun waktu dan tenaganya cukup terkuras untuk berorganisasi, pada Februari 2014 lalu Nabilah masih mampu menggagas berdirinya FLP Turki. Ini merupakan wujud dari kegemarannya menulis sastra. FLP Turki berdiri ketika sastrawan Helvy Tiana Rosa berkunjung ke Istanbul pada awal 2014. Nabilah sempat bertemu beliau dan mengusulkan untuk mendirikan FLP Turki. Helvy Tiana Rosa pun sangat bersemangat dan menyambut hangat usulannya. Setelah melalui beberapa diskusi dan persiapan, FLP Turki akhirnya resmi dibentuk dan diresmikan di kantor KJRI di Istanbul.


Tak lama setelah acara peresmian tersebut, FLP Turki segera menerbitkan sebuah buku berjudul Dari Negeri Dua Benua. Buku itu adalah kumpulan cerita pendek, yang juga terdapat karya Nabilah di dalamnya. Saat ini, anggota FLP Turki, telah mencapai 75 orang. Mayoritas anggotanya adalah mahasiswa. Sisalnya adalah warga Indonesia yang tinggal di Turki. Adapun kegiatan-kegiatan rutin yang diselenggarakan FLP Turki untuk para anggotanya, antara lain, seminar dan diskusi sastra. Namun, menurut Nabilah, untuk diskusi sastra tidak bisa terlalu sering diselenggarakan, karena untuk mengundang narasumbernya harus menunggu momen yang tepat, seperti saat kedatangan Helvy Tiana Rosa ke Istanbul. Di tengah kegiatannya yang cukup padat, Nabilah mengaku, kuliahnya sama sekali tak terganggu. Bahkan, saat ini ia sedang menggarap sebuah buku yang rencananya akan diberi judul Hafizah Itu Proyek Hidup. Buku tersebut ditulis semata-mata untuk memotivasi diri yang tengah berupaya menghafal Alquran. Rencananya, Nabilah akan merilis buku itu di Indonesia pada 2017. 

Sabtu, 06 Agustus 2016

MARYAM QONITA : Wakil Indonesia Pada Program Keluarga Berencana Di Forum PBB.



Maryam Qonita adalah seorang Muslimah muda yang tengah fokus menggeluti bidang pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, serta keluarga berencana. Kendati usianya masih tergolong muda, ia telah mencurahkan segenap pemikiran dan tenaganya untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah yang timbul dari bidang-bidang tersebut. Alhasil, berkat pengalaman dan gagasannya, pada Januari 2016, Maryam terpilih menjadi moderator dalam acara International Conference on Family Planning di Nusa Dua, Bali. Kegiatan yang dipelopori oleh Badang Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), John Hopkins Bloomberg School for Public Health, serta Bill and Melinda Gates Foundation itu menjadi salah satu konferensi terbesar di dunia dalam bidang keluarga berencana. Tak hanya itu, Maryam juga pernah terpilih sebagai mahasiswa perwakilan Indonesia yang berpartisipasi dalam kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana ia dipertemukan dengan sepuluh mahasiswa lain dari berbagai negara untuk berdiskusi dan menciptakan program aksi bersama di bidang kesehatan serta kesejahteraan masyarakat. Gagasan atau konsep program itu lalu dipresentasikan di kantor PBB di New York, Amerika Serikat, pada 11 November 2016. 

Sebelum berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan bertaraf internasional, pada 2012 lalu Maryam memang telah aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Satu Hati. Lembaga yang berdomisili di Kuningan, Jawa Barat, tersebut, fokus mengumpulkan berbagai data yang berhubungan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga dari berbagai daerah di Kuningan. Ketika itu, Maryam belum melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Ia memutuskan untuk menyibukkan dirinya di lembaga tersebut. Di sana ia menjadi sekretaris yang tugasnya mengurus surat, email, proposal, dan lain-lain. Lambat laun, seiring dengan kesibukannya di lembaga Satu Hati, Maryam mulai banyak mengetahui tentang kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang terjadi di Kuningan. Mulai dari jumlah kasus, hingga proses pendampingan terhadap para korbannya.

Lalu, pada April 2015, Maryam mendapatkan info tentang penyelenggaraan International Conference on Family Planning di Nusa Dua, Bali. Saat itu, Maryam telah menjadi mahasiswa psikologi angkatan 2013 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia tertarik dan memutuskan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Ia menceritakan tentang kasus-kasus yang terjadi di Kuningan dalam bentuk tulisan berbahasa Inggris, lalu mengirim aplikasinya ke panitia penyelenggara International Conference on Family Planning. Tak diduga, Maryam terpilih dan diundang untuk menjadi salah satu moderator dalam acara tersebut. Ia ditunjuk untuk memoderatori satu sesi seminar tentang kebidanan di hadapan empat ribu hadirin, yang 95 persennya adalah warga negara asing.

Dalam acara tersebut, turut diundang pula sekitar 30 pemuda-pemudi dari berbagai negara untuk menjadi pembicara atau moderator seperti dirinya. Seusai pelaksanaan konferensi, Maryam bersama tokoh-tokoh pemuda yang diundang ke International Conference on Family Planning, sepakat untuk membuat ikatan bernama International Youth Alliance on Family Planning. Ikatan tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Sejak saat itu, Maryam mulai memiliki jaringan internasional kepada aktor-aktor dan organisasi dari berbagai negara yang memiliki konsen serupa dengannya. Hal itu tentu membuatnya semakin bersemangat untuk tetap berkontribusi dalam bidang yang tengah dilakoninya.

Tak lama setelah konferensi internasional di Bali itu, Maryam terpikir untuk membuat sebuah rumah singgah bagi para korban kekerasan seksual. Ide tersebut muncul karena, sepengetahuannya, selama ini pendampingan terhadap para korban kekerasan seksual hanya dilakukan di pengadilan atau rumah korbannya langsung. Belum ada tempat khusus untuk menampung dan mendampingi mereka secara intens. Di rumah singgah tersebut, selain melakukan pendampingan, Maryam juga berencana untuk menerapkan pendekatan atau strategi intervensi perilaku terhadap para korban. Mencakup pendekatan keluarga (penguatan peran berdasarkan struktur keluarga), pendekatan orangtua (memberi informasi bagaimana cara mengajarkan pendidikan seks sejak dini kepada anak), pendekatan masyarakat (lewat budaya dan penyuluhan), dan pendekatan ke anak langsung (terapi bermain, terapi kelompok, dan konseling). Menurut Maryam, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mengakhiri stigma publik terhadap para korban pelecehan atau kekerasan seksual. Padahal, stigma ini harus dikubur agar si anak atau korban kekerasan seksual tidak merasa terkucilkan atau terisolasi secara sosial. Sebab, ini bisa mengakibatkan masa depan mereka terhambat.

Kendati pembuatan rumah singgah tersebut masih sekadar ide, namun detail konsepnya membuat Maryam terpilih menjadi mahasiswa berprestasi di UNJ. Ia memang mengirimkan konsep tentang rumah singgah itu kepada pihak jurusan di kampusnya. Konsep rumah singgah itu pun dihadirkan dalam kegiatan pekan kreativitas mahasiswa UNJ. Tak hanya itu, ide rumah singgah untuk para korban pelecehan dan kekerasan seksual juga mengantarkannya menjadi salah satu mahasiswa perwakilan Indonesia yang mengikuti kegiatan PBB di New York, Amerika Serikat. Konsep rumah singgah tersebut memang sempat Maryam narasikan dalam bentuk video berbahasa Inggris, lalu megirimnya ke laman World Merit untuk program World Merit 360. World Merit adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan PBB dalam mengumpulkan pemimpin muda dari seluruh dunia. Mereka dihimpun dan dikelompokkan ke sejumlah grup sesuai dengan keahlian masing-masing. Setelah itu, mereka akan diminta menyusun program aksi bersama guna terciptanya perubahan lebih baik di bidang yang tengah mereka tekuni.


Di World Merit, Maryam tergabung dalam grup kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Ia mencoba mewakili kesejahteraan dan kesehatan para ibu dan anak-anak dunia. Dalam prosesnya, Maryam terlibat diskusi dengan sepuluh mahasiswa lain dari berbagai negara untuk menciptakan rencana aksi atau program. Kemudian, konsep aksi atau program tersebut dipresentasikan di kantor PBB di New York. Bila ternyata dinilai cukup brilian, PBB akan mengimplementasikannya di berbagai negara di dunia. Maryam mengaku, diskusi dengan rekan-rekannya satu grup memanfaatkan media atau aplikasi obrolan gawai. Dan mereka baru saling dipertemukan pada 23 Agustus 2016 di Amerika Serikat.   

Selain itu, Maryam juga terpilih menjadi salah satu nominasi dalam ajang “120 Under 40” yang digagas Bill and Melinda Gates Foundation dan John Hopkins University. 120 Under 40 adalah program pencarian 120 pemimpin muda dunia dalam bidang keluarga berencana. Dan ini merupakan program besar. Karena tak hanya untuk Bill and Melinda Gates Foundation, tapi juga untuk PBB. Targetnya adalah bagaimana caranya ada peningkatan kualitas dalam bidang family planning di tahun 2020. Ajang pemilihan tersebut, akan berlangsung hingga 2019. Setiap tahunnya akan dipilih 40 pemimpin muda hingga akhirnya terkumpul 120 orang. Setelah terpilih mereka akan diberangkatkan ke Washington DC, AS, untuk mengikuti serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan family planning.

Sampai saat ini, Maryam mengaku masih akan fokus melakoni kegiatannya di bidang pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, serta keluarga berencana. Ia menilai, saat ini adalah waktu yang tepat untuk bekerja dan terlibat aktif dalam mencari solusi bagi sekelumit permasalahan bangsa. Apalagi, bila berkaitan dengan bidang yang tengah digelutinya. Maryam tak mengenal istilah generasi muda adalah pemimpin masa depan atau agen perubahan pada masa mendatang. Karena menurutnya, pemuda harus bisa menjadi pemimpin saat ini. Masa depan adalah sekarang dan perubahan oleh pemuda bisa dilakukan dari sekarang juga. Bila demikian, ia yakin akan banyak lahir ide-ide kreatif dan dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Sebab, para pemudanya telah aktif terlibat dalam memecahkan solusi untuk berbagai permasalahan bangsa.