Sebagai seorang dokter, Ni Nyoman Indirawati Kusuma memiliki perhatian khusus terhadap bidang kesehatan, terutama terhadap kesehatan kaum perempuan dan anak-anak. Tingginya angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia menjadi keprihatinan perempuan yang akrab disapa Indirawati ini. Pada Juni 2015, Indirawati menginisiasi berdirinya Komunitas Perempuan untuk Indonesia Sehat (KPIS). Melalui komunitas ini, ia ingin memberikan edukasi pada masyarakat, khususnya kalangan remaja, tentang rawan dan bahayanya hamil dalam usia muda. Terlebih, bila kehamilan tersebut terjadi di luar pernikahan. Dia menjelaskan, faktor-faktor itulah yang menyebabkan peningkatan jumlah kematian ibu melahirkan di Indonesia.
Indrawati terdorong untuk menjadi bagian dari solusi masalah tersebut. Terlebih, Indonesia tidak dapat memenuhi target kematian ibu akibat melahirkan yang telah dicanangkan badan kesehatan dunia atau WHO pada 2015. Padahal, angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia sempat menurun pada 2013 dan 2014. Tapi ternyata, di tahun 2015 angka kematian ibu akibat melahirkan naik lagi. Menurutnya, angka kematian ibu meningkat karena beberapa hal. Dari akses kesehatan yang kurang memadai, minimnya pengetahuan tentang kesehatan kandungan, dan lainnya. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini masih cukup banyak yang memanfaatkan dukun untuk masalah kehamilan.
Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya angka kematian ibu akibat melahirkan adalah degradasi moral. Menurutnya, tak sedikit kalangan remaja di Indonesia yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. Hamil pada usia yang belum ideal tentu sangat rawan bagi seorang perempuan. Potensi si perempuan untuk meninggal cukup besar. Ditambah lagi kehamilannya yang di luar pernikahan, yang pasti tidak diinginkan, hal itu juga akhirnya menekan sisi mental atau psikis dari si perempuan itu sendiri. Bertolak dari kekhawatiran tersebut, Indirawati tergerak untuk membuat sebuah gerakan atau komunitas yang fokus terhadap hal ini, yakni kesehatan perempuan dan pergaulan remaja. Dan, pada pertengahan 2015, ia mendirikan KPIS dengan dibantu beberapa teman-teman kampusnya serta rekan-rekannya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Misi dari komunitas ini adalah gerakan perempuan untuk mewujudkan Indonesia sehat.
Sebelum membuat program kerja, Indirawati dan beberapa anggota KPIS lainnya terlebih dulu melakukan kunjungan kepada tokoh atau pihak yang memiliki perhatian serupa dengan KPIS. Mereka sempat meminta masukan dari anggota DPR RI, seperti Ledia Hanifa, dan Eva Sundari. Tak kurang, mereka pun sowan ke beberapa tokoh KPAI. Dengan demikian, ia mendapatkan pengetahuan teraktual, khususnya tentang isu dan gerakan kesehatan perempuan yang tengah dirintisnya. Indirawati mengaku mendapatkan beberapa masukan dan saran setelah melakukan pertemuan dengan pihak dan tokoh-tokoh tadi. Salah satunya adalah, pentingnya untuk menangani degradasi moral yang terjadi di kalangan remaja. Salah satu penyebab degradasi moral ini adalah karena semakin mudahnya akses terhadap konten pornografi. Hal ini menyebabkan remaja cukup rentan untuk melakukan perbuatan zina.
Oleh sebab itu, salah satu program yang dilakukan KPSI sejak 2015 hingga saat ini adalah membentuk sekolah-sekolah binaan. Khususnya sekolah di tingkat SMA, di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Bengkulu, Pontianak, dan Bandung. Indirawati menilai, salah satu yang paling rentan terhadap perbuatan zina atau melakukan seks bebas adalah kalangan remaja di tingkat SMA. Untuk program sekolah binaan ini, Indirawati telah menyusun kurikulum khusus. Secara umum, kurikulum itu membimbing remaja agar tak terjerembap dalam pergaulan negatif. Bahwa mereka harus memandang dirinya berharga dan bermartabat sehingga tidak boleh sembarangan orang menyentuh dirinya. Selanjutnya, diberikan juga hal-hal yang bersifat pengetahuan.
Ketika mendatangi sekolah-sekolah binaan KPIS di beberapa daerah di Indonesia, Indirawati juga selalu mengisahkan pengalamannya sebagai dokter umum. Dia mengaku pernah menangani pasien remaja yang terpaksa harus kehilangan nyawanya akibat mengandung dalam usia yang belum ideal dan di luar pernikahan. Pasien yang masih berumur 14 tahun itu tidak kuat menahan rasa sakit hingga akhirnya meninggal bersama bayinya. Kasus lainnya, Indirawati pernah mendapatkan seorang pasien perempuan berusia remaja dan mengidap penyakit infeksi menular seksual. Ternyata penyakit tersebut ditularkan oleh pacarnya, yang notabene pernah melakukan seks bebas.
Dari kisah-kisah tersebut, dia pun memasukkan nilai-nilai sekaligus mengimbau siswi-siswi di sekolah binaan tersebut agar tak memiliki nasib serupa dengan pasiennya. Menurut Indirawati, ia paham karena sifat remaja biasanya memang tidak mau dinasehati. Jadi, ia sengaja memakai cerita-cerita dari pengalamannya untuk mendorong mereka agar tidak terjebak dalam pergaulan negatif. Di sekolah-sekolah binaan tersebut, KPIS juga melakukan pemilihan duta pergaulan sehat. Duta tersebut nantinya akan menjadi representasi KPIS di sekolah. Kampanye yang disuarakan KPIS terkait kesehatan perempuan dapat tetap berkelanjutan di sana.
Indirawati mengaku selama ini sekolah-sekolah SMP atau SMA yang didatanginya untuk dijadikan sekolah binaan tak pernah menolak kehadiran KPIS. Ia menilai hal itu terjadi karena pihak sekolah menyadari bahwa mereka belum memberikan materi atau pendidikan tentang kesehatan perempuan. Kendati KPIS baru berdiri di tahun 2015, dan kegiatan atau programnya belum menuai hasil optimal, Indirawati memiliki harapan besar terhadap komunitas dan gerakan yang dirintisnya ini. Harapannya tentu bisa memberikan perubahan yang lebih baik untuk Indonesia, khususnya dalam bidang kesehatan perempuan.