Rabu, 26 Juli 2017

Ni Nyoman Indirawati Kusuma : Pendiri Komunitas Perempuan Untuk Indonesia Sehat. Sarana Edukasi Kesehatan Untuk Perempuan dan Remaja


Sebagai seorang dokter, Ni Nyoman Indirawati Kusuma memiliki perhatian khusus terhadap bidang kesehatan, terutama terhadap kesehatan kaum perempuan dan anak-anak. Tingginya angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia menjadi keprihatinan perempuan yang akrab disapa Indirawati ini. Pada Juni 2015, Indirawati menginisiasi berdirinya Komunitas Perempuan untuk Indonesia Sehat (KPIS). Melalui komunitas ini, ia ingin memberikan edukasi pada masyarakat, khususnya kalangan remaja, tentang rawan dan bahayanya hamil dalam usia muda. Terlebih, bila kehamilan tersebut terjadi di luar pernikahan. Dia menjelaskan, faktor-faktor itulah yang menyebabkan peningkatan jumlah kematian ibu melahirkan di Indonesia.

Indrawati terdorong untuk menjadi bagian dari solusi masalah tersebut. Terlebih, Indonesia tidak dapat memenuhi target kematian ibu akibat melahirkan yang telah dicanangkan badan kesehatan dunia atau WHO pada 2015. Padahal, angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia sempat menurun pada 2013 dan 2014. Tapi ternyata, di tahun 2015 angka kematian ibu akibat melahirkan naik lagi. Menurutnya, angka kematian ibu meningkat karena beberapa hal. Dari akses kesehatan yang kurang memadai, minimnya pengetahuan tentang kesehatan kandungan, dan lainnya. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia, sampai saat ini masih cukup banyak yang memanfaatkan dukun untuk masalah kehamilan.

Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya angka kematian ibu akibat melahirkan adalah degradasi moral. Menurutnya, tak sedikit kalangan remaja di Indonesia yang mengalami kehamilan di luar pernikahan. Hamil pada usia yang belum ideal tentu sangat rawan bagi seorang perempuan. Potensi si perempuan untuk meninggal cukup besar. Ditambah lagi kehamilannya yang di luar pernikahan, yang pasti tidak diinginkan, hal itu juga akhirnya menekan sisi mental atau psikis dari si perempuan itu sendiri. Bertolak dari kekhawatiran tersebut, Indirawati tergerak untuk membuat sebuah gerakan atau komunitas yang fokus terhadap hal ini, yakni kesehatan perempuan dan pergaulan remaja. Dan, pada pertengahan 2015, ia mendirikan KPIS dengan dibantu beberapa teman-teman kampusnya serta rekan-rekannya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Misi dari komunitas ini adalah gerakan perempuan untuk mewujudkan Indonesia sehat.


Sebelum membuat program kerja, Indirawati dan beberapa anggota KPIS lainnya terlebih dulu melakukan kunjungan kepada tokoh atau pihak yang memiliki perhatian serupa dengan KPIS. Mereka sempat meminta masukan dari anggota DPR RI, seperti Ledia Hanifa, dan Eva Sundari. Tak kurang, mereka pun sowan ke beberapa tokoh KPAI. Dengan demikian, ia mendapatkan pengetahuan teraktual, khususnya tentang isu dan gerakan kesehatan perempuan yang tengah dirintisnya. Indirawati mengaku mendapatkan beberapa masukan dan saran setelah melakukan pertemuan dengan pihak dan tokoh-tokoh tadi. Salah satunya adalah, pentingnya untuk menangani degradasi moral yang terjadi di kalangan remaja. Salah satu penyebab degradasi moral ini adalah karena semakin mudahnya akses terhadap konten pornografi. Hal ini menyebabkan remaja cukup rentan untuk melakukan perbuatan zina.

Oleh sebab itu, salah satu program yang dilakukan KPSI sejak 2015 hingga saat ini adalah membentuk sekolah-sekolah binaan. Khususnya sekolah di tingkat SMA, di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Bengkulu, Pontianak, dan Bandung. Indirawati menilai, salah satu yang paling rentan terhadap perbuatan zina atau melakukan seks bebas adalah kalangan remaja di tingkat SMA. Untuk program sekolah binaan ini, Indirawati telah menyusun kurikulum khusus. Secara umum, kurikulum itu membimbing remaja agar tak terjerembap dalam pergaulan negatif. Bahwa mereka harus memandang dirinya berharga dan bermartabat sehingga tidak boleh sembarangan orang menyentuh dirinya. Selanjutnya, diberikan juga hal-hal yang bersifat pengetahuan.

Ketika mendatangi sekolah-sekolah binaan KPIS di beberapa daerah di Indonesia, Indirawati juga selalu mengisahkan pengalamannya sebagai dokter umum. Dia mengaku pernah menangani pasien remaja yang terpaksa harus kehilangan nyawanya akibat mengandung dalam usia yang belum ideal dan di luar pernikahan. Pasien yang masih berumur 14 tahun itu tidak kuat menahan rasa sakit hingga akhirnya meninggal bersama bayinya. Kasus lainnya, Indirawati pernah mendapatkan seorang pasien perempuan berusia remaja dan mengidap penyakit infeksi menular seksual. Ternyata penyakit tersebut ditularkan oleh pacarnya, yang notabene pernah melakukan seks bebas.

Dari kisah-kisah tersebut, dia pun memasukkan nilai-nilai sekaligus mengimbau siswi-siswi di sekolah binaan tersebut agar tak memiliki nasib serupa dengan pasiennya. Menurut Indirawati, ia paham karena sifat remaja biasanya memang tidak mau dinasehati. Jadi, ia sengaja memakai cerita-cerita dari pengalamannya untuk mendorong mereka agar tidak terjebak dalam pergaulan negatif. Di sekolah-sekolah binaan tersebut, KPIS juga melakukan pemilihan duta pergaulan sehat. Duta tersebut nantinya akan menjadi representasi KPIS di sekolah. Kampanye yang disuarakan KPIS terkait kesehatan perempuan dapat tetap berkelanjutan di sana.

Indirawati mengaku selama ini sekolah-sekolah SMP atau SMA yang didatanginya untuk dijadikan sekolah binaan tak pernah menolak kehadiran KPIS. Ia menilai hal itu terjadi karena pihak sekolah menyadari bahwa mereka belum memberikan materi atau pendidikan tentang kesehatan perempuan. Kendati KPIS baru berdiri di tahun 2015, dan kegiatan atau programnya belum menuai hasil optimal, Indirawati memiliki harapan besar terhadap komunitas dan gerakan yang dirintisnya ini. Harapannya tentu bisa memberikan perubahan yang lebih baik untuk Indonesia, khususnya dalam bidang kesehatan perempuan.

Rabu, 19 Juli 2017

Eva Nukman, Mantan Apoteker Yang Terjun Dalam Pengembangan Literasi dan Buku Anak.


Meningkatkan kualitas buku anak serta memberi kemudahan bagi anak-anak Indonesia di berbagai daerah terpelosok untuk mengakses buku adalah salah satu harapan Eva Nukman. Kendati sempat berkarier dalam bidang farmasi sebagai seorang apoteker, hasrat untuk mewujudkan harapannya itu masih tertanam dalam dirinya. Pada 2014, Eva akhirnya menggagas berdirinya Yayasan Literasi Anak Nusantara (Litara). Yayasan ini merupakan alat yang digunakan Eva untuk merealisasikan harapannya tersebut. Dia mengungkapkan, sejak masih duduk di bangku SMP dan SMA di Padang, Sumatera Barat, ia memang hobi menulis puisi. Pada suatu momen, puisi yang ditulisnya sempat diterbitkan oleh salah satu harian lokal di sana.

Kebiasaan menulis itu berlanjut ketika ia menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sewaktu kuliah, Eva sudah cukup aktif menerjemahkan berbagai buku, seperti buku nonfiksi dan sains populer. Ketika lulus kuliah dan menekuni profesi sebagai apoteker, Eva tak melepaskan kebiasaannya menulis. Ia masih tetap aktif di dunia penerjemahan medis. Ia banyak menerjemahkan dokumen-dokumen kefarmasian, seperti dokumen uji klinis suatu obat, membuat panduan manual alat kesehatan, dan lainnya. 

Setelah menikah dan memiliki tiga orang anak, Eva sering terlibat diskusi dengan dua orang temannya, yang notabene telah memiliki anak pula dan merupakan temannya sewaktu di ITB. Diskusi tersebut berkisar tentang pendidikan anak serta buku anak. Dalam diskusi tersebut, Eva beserta dua temannya memiliki keresahan yang sama tentang buku-buku anak di Indonesia. Keresahan pertama berkaitan dengan konten buku anak, yang menurut mereka, cukup kaku karena hanya didominasi pesan moral berupa teks tanpa disertai ilustrasi gambar atau visual yang pas untuk anak-anak. Bukan berarti pesan moral itu tidak penting, tapi menurut Eva, kalau bisa disampaikan dengan cara yang lebih asyik dan menyenangkan, mengapa tidak ?


Keresahan kedua masih berkaitan dengan buku, tapi dalam konteks pendidikan anak secara menyeluruh. Menurut Eva, hingga saat ini penyebaran buku-buku anak masih lebih banyak di kota-kota besar saja. Di daerah terpencil, anak-anak masih kesulitan untuk mengakses buku. Ia menghendaki kemudahan akses terhadap buku-buku ini dapat pula dinikmati oleh seluruh anak di Indonesia.

Bertolak dari keresahan itu, Eva dan dua temannya merasa perlu untuk membuat sebuah gerakan. Kendati belum terpikir untuk mendirikan sebuah yayasan literasi anak, Eva dan dua temannya telah mencoba menulis buku anak pada 2012. Kegiatan menulis tersebut semata-mata ikhtiar awal untuk menciptakan buku anak yang berkualitas, baik dalam segi pesan, alur cerita, maupun ilustrasi dan visualisasinya. Pada tahun yang sama, Eva dan teman-temannya berhasil merampungkan tiga buku anak dan menerbitkannya secara eksklusif atau belum masif. Adapun buku-buku tersebut berisi tentang kisah anak-anak dengan latar atau setting tempat di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu buku karya Eva adalah Misteri di Pasar Terapung. Buku ini menceritakan petualangan seorang anak di Banjarmasin dengan pasar terapungnya.

Eva memang memiliki alasan tersendiri mengapa menulis buku dengan latar daerah. Menurutnya, keterwakilan anak-anak Indonesia di dalam buku anak memang belum terjadi. Buku anak rata-rata selalu memilih setting di perkotaan. Padahal, mengambil setting dan menciptakan tokoh anak daerah di dalam buku anak tak kalah penting. Sebab, dengan demikian anak tak hanya sekedar membaca, tapi bisa juga mengenal berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia.


Ketiga buku yang dibuat Eva dan dua orang temannya kemudian dibawa ke sebuah festival buku anak internasional di London, Inggris. Selain untuk mengetahui respons masyarakat dunia terkait buku yang dibuatnya,  kehadirannya di sana juga dalam rangka menimba ilmu dan pengetahuan dari beragam tokoh literasi anak dunia, seperti penulis atau ilustrator buku anak tersohor. Dan ternyata, respons hadirin di sana terhadap bukunya cukup bagus. Setahun berikutnya, Eva dan dua temannya telah menulis hampir 15 judul buku anak dengan memperkaya latar daerah-daerah di Indonesia dan ide ceritanya. Buku tersebut kemudian ia hadirkan kembali dalam festival buku anak internasional di Singapura. Sama seperti di London, Inggris, di Singapura buku karya Eva pun mendapat apresiasi positif dari pengunjung di sana.

Setelah berpartisipasi dalam dua festival buku anak internasional tersebut, pada 2014 Eva kemudian menggagas berdirinya Yayasan Litara. Lewat yayasan ini, ia memiliki beberapa misi yang hendak dicapai. Pertama, adalah mengajak penulis dan kreator buku anak, termasuk ilustrator, untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Dalam konteks ini, Eva ingin buku anak tidak hanya sekedar mengedepankan aspek pesan moral semata. Tapi juga harus memperkaya visualnya agar imajinasi anak bisa tumbuh. Seperti disinggung sebelumnya, Eva ingin anak-anak di seluruh Indonesia dapat mengakses buku-buku dengan mudah. Di sinilah sisi sosial Yayasan Litara. 

Pada tahun yang sama, Yayasan Litara berhasil menjalin kerja sama dengan sebuah lembaga yang juga fokus dalam bidang literasi, yakni Room To Read (RTR). RTR adalah organisasi global asal Amerika yang fokus mengembangkan kehidupan literasi anak-anak di negara-negara Asia dan Afrika. Lewat misi yang sama, RTR dan Yayasan Litara bekerja sama dalam menyelenggarakan lokakarya kepenulisan buku anak. Namun, peserta dari lokakarya ini diwajibkan mengikuti seleksi terlebih dulu. Proses seleksinya diserahkan kepada Yayasan Litara. Waktu itu Eva menginformasikan lokakarya ini di media sosial Facebook, salah satunya ke akun forum komunitas bacaan anak yang anggotanya sudah mencapai belasan ribu.


Setelah diseleksi, sejumlah penulis dan ilustrator buku anak pilihan Yayasan Litara dipersilahkan mengikuti lokakarya bersama RTR. Menurut Eva, secara umum, mereka diajarkan tentang metode menulis buku anak yang baik. Eva mengatakan, kerja sama dan lokakarya bersama RTR telah berlangsung dua kali, yakni pada 2015 dan 2016. Dari kegiatan tersebut, peserta lokakarya, yang notabene seorang penulis dan ilustrator, berhasil membuat beberapa karya berupa buku cerita bergambar untuk anak. Buku-buku tersebut akhirnya dicetak secara massal untuk dibagikan gratis ke sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai daerah terpelosok di Indonesia.

Selasa, 04 Juli 2017

Ida Nuraini Noviyanti, Pendiri Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara. Bentuk Wadah Pendidikan Islami Untuk Para Orang Tua.


Komunitas Home Schooling Muslim Nusantara (HSMN) pada awalnya didirikan untuk memberikan penyuluhan dan pengetahuan kepada orang tua yang hendak mengambil jalur pendidikan home schooling untuk anak-anaknya. Lambat laun, Ida Nuraini, pendiri HSMN, menjadikan komunitas itu sebagai wadah untuk memberikan pendidikan Islam berbasis Al-Quran dan sunah kepada para orang tua guna dipaparkan dan diajarkan kepada anaknya.

Sebelum aktif di HSMN, Ida merupakan seorang dosen di salah satu universitas Islam swasta di Bandung, Jawa Barat. Kala itu, Ida telah memiliki dua orang anak berusia SD. Dan keduanya, ia berikan pendidikan secara home schooling. Menurutnya, cukup banyak yang mempertanyakan alasan dia memilih home schooling untuk anaknya. Terlebih, Ida beserta ayahnya dan suaminya memiliki latar belakang sebagai pendidik, yang biasanya sangat ketat mengenai proses pendidikan anak.

Pada suatu waktu, Ida akhirnya diundang untuk menjadi narasumber oleh Forum Curhat Emak Rempong (Forcer). Forcer merupakan sebuah grup di Facebook yang beranggotkan ibu-ibu dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas pelbagai hal tentang keluarga, mulai dari parenting, pola asuh, dan lainnya. Ketika itu Ida diundang untuk menceritakan pengalaman dan alasannya mengambil jalur pendidikan home schooling untuk anaknya. Diskusi tersebut berlangsung secara virtual melalui forum Facebook Focer. Pada kesempatan itu, Ida pun menerangkan perihal alasan mengambil pendidikan home schooling untuk anaknya. Dia mengatakan bahwa sengaja mengambil home schooling agar anaknya bisa memilih apa yang menjadi minatnya. Jadi, pendidikan home schooling memang lebih ditekankan kepada minat anak, seperti sains.

Kendati memberikan pendidikan sesuai minat anak, Ida juga tidak lupa untuk membekali anaknya dengan ilmu agama. Menurutnya, ilmu agama tetap penting untuk diberikan sedini mungkin. Ketika tengah berdiskusi dengan forum Focer, salah satu anggotanya mengajukan pertanyaan kepada Ida. Dia bertanya apakah ada home schooling khusus Muslim. Sepengetahuan Ida, saat itu memang belum ada home schooling khusus Muslim. Dari pertanyaan itu, Ida terpikir untuk membuat sebuah grup atau komunitas baru, yakni komunitas home schooling Muslim. Salah satu tujuan awal dari komunitas ini tak lain, yakni untuk memberikan wadah tersendiri bagi para orang tua yang memang ingin mengetahui banyak hal atau mungkin berbagi tentang pengalaman home schooling. Tanpa menunggu lama, Ida akhirnya meminta anggota forum Focer untuk mengirimkan nomor ponselnya masing-masing. Jadi, Ida tidak perlu membuat grup Facebook, tapi lebih memilih grup Whatsapp karena lebih mudah dan hampir semua orang pasti pakai aplikasi ini.

Pada awalnya grup tersebut memang bernama Home Schooling Muslim. Tapi, ada yang memberi usulan agar grup ini diberi nama Home Schooling Muslim Nusantara. Akhirnya pada 17 September 2014, HSMN terlahir. Seperti nama grupnya, pada awalnya diskusi antar anggota grup hanya seputar kegiatan atau pengalaman home schooling anak mereka masing-masing. Adapun tema diskusinya, seperti metode belajar bagi anak home schooling, legalitas home schooling, dan lainnya.

Banyaknya orang tua yang hendak bergabung dengan komunitas HSMN membuat Ida membagi grup Whatsapp HSMN menjadi 17. Anggotanya disesuaikan dengan domisili mereka. Jadi, ada 17 daerah di Indonesia, mencakup Jabodetabek, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Solo, Sulawesi, Kalimantan, Medan, dan lainnya. Setelah cukup banyak anggota dan grup, diskusi tidak lagi seputar home schooling saja, tapi juga merangkum berbagai hal. Misalnya, cara orang tua mendidik anak-anak mereka agar memiliki akidah dan akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam. Bertolak dari hal tersebut, Ida pun mulai merancang program tersendiri untuk para anggota HSMN. Jadi, Ida membuat kegiatan kajian online dan offline yang rutin untuk para anggota. Kajian ini tentu mengusung tema keislaman, seperti keimanan, Al-Quran, dan lainnya.


Untuk kajian online, dilakukan melalui grup Whatsapp yang telah tersedia. Sedangkan, penyelenggaraan kajian offline bertempat di lokasi yang ditentukan oleh anggota HSMN wilayah masing-masing. Misalnya, di rumah, di masjid, atau menyewa tempat tertentu. Baik kajian online maupun offline, juga selalu mengundang narasumber dari kalangan ustaz atau ustazah. Ida mengaku, memang memiliki misi tersendiri dari penyelenggaraan kajian-kajian keislaman untuk para anggota HSMN tersebut. Tujuan utama tentu untuk menambah pengetahuan para orang tua tentang berbagai ilmu keislaman yang sahih. Selain itu, tema-tema kajian keislaman yang dihadirkan diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk anak ketika mereka belajar dengan orang tuanya masing-masing. Karena para anggota memang selalu menekankan pentingnya anak untuk belajar persoalan agama agar mereka bisa menjaga keimanannya.

Setelah berlangsung lebih dari dua tahun, HSMN telah bernaung di bawah yayasan dan berbadan hukum. Adapun kantor pusat HSMN berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Ida berharap, ke depan, visi HSMN dapat terwujud. Yakni, menjadi komunitas pendidikan keluarga Muslim berbasis Al Quran dan sunah. Hingga pada akhirnya, para anggotanya bisa membangun keluarga dan generasi penerus Islam berakhlak karimah.