Rabu, 31 Mei 2017

Anna Farida, Mengajarkan Ilmu Menulis Kepada Ibu Rumah Tangga Melalui Sekolah Perempuan.


Menjaga kesinambungan pendidikan kaum ibu rumah tangga dengan kegiatan menulis adalah misi dari Sekolah Perempuan. Sekolah tersebut merupakan wujud ide Anna Farida yang memang menekuni dunia kepenulisan. Dengan Sekolah Perempuan, ia berharap dapat turun berperan dalam merealisasikan sebuah visi, yakni menerbitkan sejuta buku karya ibu-ibu rumah tangga. Sebagai penulis, Anna sudah berhasil mempublikasikan puluhan buku dengan tema dan judul yang cukup beragam. Antara lain buku tentang parenting, cerita anak, pernikahan, dan lain-lain. Kendati kegiatannya cukup menyita waktu, dia tak serta merta mengabaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, yakni mengurus keluarga dan berdedikasi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi demikian menggugah sebuah gagasan dalam dirinya. Ia menyadari, kalangan ibu rumah tangga pasti memiliki potensi kreativitas yang dapat diasah. Salah satu potensinya sama seperti yang dilakukannya selama ini, yakni menulis.

Anna menilai, cukup banyak ibu rumah tangga yang menelantarkan ilmu dan pengetahuannya hanya karena ingin mengabdi pada keluarga pasca menikah. Padahal, ilmu dan pengetahuan mereka sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan masyarakat bila dituangkan ke dalam sebuah buku. Hal itulah yang membuat Anna terpikir mendirikan sebuah wadah pendidikan untuk kalangan ibu rumah tangga. Sesuai dengan kemampuan dan jaringan penulis yang diketahuinya, ia mendambakan dapat menghadirkan tempat belajar menulis untuk para ibu rumah tangga.


Menurut Anna, menulis merupakan kegiatan yang cukup fleksibel sehingga cocok untuk ibu rumah tangga. Selain dapat dilakukan di mana pun, menulis juga menjadi metode belajar yang baik untuk para ibu. Karena dengan menulis, mau tidak mau mereka juga mesti membaca, browsing, berkomunikasi dengan orang lain. Jadi, mereka akan terus membuka wawasan. Pada 17 Agustus 2013 lalu, Anna akhirnya mendirikan Sekolah Perempuan, yang berlokasi di Jalan Muhammad Toha, Bandung, Jawa Barat. Dalam proses pembentukan Sekolah Perempuan, dia dibantu oleh beberapa temannya di komunitas penulis.

Sebelum mendirikan Sekolah Perempuan, Anna dan beberapa temannya di sebuah komunitas penulis sebenarnya memang telah menawarkan proyek penerbitan sebuah buku untuk kalangan ibu-ibu rumah tangga. Proses penawaran tersebut dilakukan di media sosial. Penawaran di media sosial tersebut bersambut baik. Cukup banyak yang tertarik dan ingin berpartisipasi dalam proyek tersebut. Dari sinilah, mulai terjaring ibu-ibu yang memiliki niat serius untuk menerbitkan sebuah buku. Mereka yang berminat akhirnya tergabung dalam Sekolah Perempuan. Banyaknya peminat dari berbagai daerah membuat Anna juga menyediakan kelas online atau virtual. Dengan demikian, jarak tidak menjadi kendala bagi para ibu rumah tangga yang memang sungguh-sungguh ingin menulis dan menerbitkan sebuah buku.


Untuk angkatan pertama, Anna menyediakan kuota untuk 40 peserta, mencakup peserta kelas tatap muka dan virtual. Ia memang sengaja membatasi jumlah peserta. Selain karena mentornya terbatas, kalau terlalu banyak peserta juga tidak akan efektif belajarnya. Bila masih banyak yang hendak mendaftar, mereka akan dialihkan ke angkatan berikutnya. Yakni sekitar dua hingga tiga bulan pasca angkatan sebelumnya mendaftar. Hal ini karena dalam satu angkatan proses belajarnya menghabiskan waktu sekitar tiga bulan. Untuk proses pendidikan dan pengajaran, Anna memang menyiapkan kurikulum. Setidaknya ada delapan materi yang diberikan kepada para ibu rumah tangga tersebut.

Materi pertama berkaitan dengan persiapan komitmen dan manajemen waktu untuk menulis. Sebab, para ibu rumah tangga ini aktivitasnya juga cukup tinggi, jadi perlu diberikan kiat-kiat bagaimana cara menyisipkan waktu untuk menulis di tengah-tengah kesibukan mereka. Berikutnya terkait dengan proses penggalian ide. Anna dan para mentor lainnya selalu menganjurkan agar para ibu rumah tangga menulis sesuatu yang lekat dengan keseharian atau latar belakang mereka untuk mencari ide tulisan. Kemudian, adalah tentang cara membuat outline. Anna juga membagi tentang tata cara melakukan riset agar tulisan mereka dapat dipertanggung jawabkan.


Materi selanjutnya tentang cara menulis kalimat dan paragraf yang baik. Jadi, di sini seperti mengulang pelajaran yang dulu pernah diajarkan pada masa sekolah. Ada pula materi tentang bagaimana memanfaatkan dan mengelola media sosial.  Di sini ditekankan bahwa media sosial itu bukan hanya wadah untuk sekadara curhat, tapi juga bisa jadi sarana belajar dan promosi karya mereka nantinya. Terakhir, Anna juga mengajarkan tentang proses penerbitan sebuah buku dari awal hingga akhir. Pada materi ini, Anna juga melampirkan tentang cara alternatif menerbitkan sebuah buku, seperti melalui ebook dan audio book. Dari setiap angkatan selalu ada ibu rumah tangga yang mampu menuntaskan naskah siap terbit. Sekolah Perempuan selalu mencari dan memilihkan penerbit bonafid untuk naskah-naskah mereka. Sebagian ada juga yang ingin karyanya diterbitkan dalam bentuk ebook.

Setelah berselang sekitar tiga tahun, sudah cukup banyak naskah para ibu rumah tangga di Sekolah Perempuan yang akhirnya terbit dan dipasarkan. Jenis-jenis bukunya antara lain buku parenting, cerita anak, tutorial atau panduan, resep, novel, dan lain-lain. Tidak sedikit karya-karya yang kandas ketika dalam proses penggarapan. Sebagian peserta memilih menuangkan gagasannya dalam menulis di media seperti blog dan berbagai varian media sosial. Anna mengaku tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut. Karena terbit itu sebenarnya bukan tujuan, sebab yang paling utama adalah proses belajar yang mereka lewati. Mereka mengalahkan diri sendiri dengan menyempatkan menulis di tengah kesibukan mereka.

Hingga saat ini, Sekolah Perempuan telah memiliki 16 angkatan. Adapun total alumni Sekolah Perempuan, berjumlah sekitar 170 orang. Termasuk ibu rumah tangga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Ke depan, Anna berharap Sekolah Perempuan dapat menghasilka sejuta buku karya para ibu rumah tangga. Kata sejuta di sini menunjukkan bahwa Sekolah Perempuan memang sangat ingin menerbitkan banyak buku dari para perempuan atau ibu rumah tangga.

Sabtu, 20 Mei 2017

Peggy Melati Sukma, Hijrah Dari Dunia Selebritis Menuju Dunia Dakwah.


Tahun 2013 merupakan masa-masa terberat bagi Peggy Melati Sukma. Pesohor muslimah itu sempat mengalami depresi cukup hebat. Dua tahun lamanya sosok yang pernah tersohor dengan ekspresi "pusiiiing!" di sinetron Gerhana ini bergumul dengan kegelisahan. Apa-apa yang telah dibina selama dua puluh tahun terakhir mulai berantakan. Hidupnya seperti kehilangan arah. Perempuan kelahiran Cirebon ini mengaku dirinya menjadi sosok yang tak mampu mengendalikan diri. Lalu, itu berdampak pada relasinya dengan sekitar, terutama pada bisnisnya. Sehingga, ia banyak kehilangan orang-orang dekat, bahkan juga kehilangan rumah tangganya.

Saat itu, Peggy sering pulang larut malam hingga dini hari. Kesibukannya begitu melelahkan. Ia kian merasa tenggelam dan tidak bahagia. Peggy sempat mempertanyakan kehidupannya yang berjalan seperti itu. Bahkan, ia juga sempat marah kepada Allah. Ternyata, hal itu menjadi pengantar baginya untuk berhijrah. Peggy menjelaskan, tidak ada momentum khusus yang menjadi titik balik. Semua berjalan sebagai proses. Itu dimulai dengan kebiasaannya sampai di rumah pada larut malam. Peggy menyadari, hal itu merupakan kesempatan untuk belajar bangun malam (qiyamul lail). Kemudian, ia mulai berusaha merutinkan shalat tahajud di sepertiga malam. Adapun waktu tidurnya ia ambil ketika menumpang mobil pribadi dalam perjalanan pulang.


Usai shalat malam, Peggy merasa ada kerinduan dari dalam hatinya untuk memperbaiki hubungan dengan Allah. Dia merasa perlu mendapatkan keseimbangan dari ingar-bingar aktivitasnya selama ini. Menurut Peggy, kuncinya dalam berhijrah, memang harus mengenal diri sendiri dan mengenal Allah. Lalu, sikap yang mesti dilatihkan adalah sabar. Supaya sampai pada keikhlasannya. Sejak saat itu, Peggy giat mengunjungi majelis-majelis untuk belajar pada sejumlah alim ulama. Ia kemudian diperkenalkan pada makna hijrah. Kata itu memiliki dua arti. Secara istilah, hijrah merupakan peristiwa sejarah ketika Nabi Muhammad SAW berpindah dari Makkah ke Madinah. Secara umum, hijrah bermakna meninggalkan segala yang dilarang Allah dan menuju apa-apa yang dicintai Allah. 

Peggy merasa, sebelumnya ia tidak menyadari akar kegelisahannya. Selama ini, hidupnya hanya fokus pada urusan duniawi, seperti kekayaan atau popularitas. Di sisi lain, urusan ukhrawinya berantakan. Padahal, soal harta dan fisik adalah sementara. Peggy pernah mengalami beragam peran, seperti penyanyi, artis, model, duta di sejumlah lembaga terhormat, baik dalam maupun luar negeri, hingga dunia bisnis. Namun, semua itu tidak memberinya kebahagiaan sejati. Akhirnya, ia menyadari, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, Dia bukan melihat harta dan jasad, melainkan hati dan amalan. Segalanya merupakan milik Allah. Manusia tidak memiliki apa-apa. Karena itu, menurut Peggy, sudah sewajarnya untuk kembali, berserah diri kepada Allah, baik di kala senang maupun sulit. Tunjukkan langsung kepada Allah bahwa kita membutuhkan ampunan-Nya, dengan tepat waktu sholat, memperbaiki membaca Al-Quran, berpuasa, qiyamul lail, merapihkan (menutup) aurat, dan lain-lain yang diperintahkan Allah.


Menurut Peggy, hijrah membutuhkan perjuangan. Tidak serta merta yang ditinggalkan itu sesuatu yang tidak menyenangkan. Justru sebaliknya. Pelaku hijrah mungkin meninggalkan sesuatu yang disukai dan menjadi bagian dari dirinya dan sumber penghasilan. Satu hal penting dalam berhijrah adalah ridha orang tua. Dalam Al-Quran, Allah berkali-kali mengingatkan umat Islam soal ini. Bahkan, dalam Surah Lukman, Allah menyebut kewajiban berbakti kepada ibu dan ayah setelah larangan menyekutukan Allah.

Peggy merasa beruntung lantaran memiliki orang tua yang menyayanginya. Karena itu, dia menyarankan agar dalam berhijrah menuju ridha Allah, perbaiki terlebih dahulu hubungan diri dengan orang tua. Menurutnya, Allah menciptakan diri manusia melalui cinta kedua orang tua. Karena itu, bagi Peggy, ridha orang tua adalah pintu satu-satunya menuju taubat yang sesungguhnya. Jalan hijrah dimulai dari ridhanya kedua orang tua. Hal ini yang sering kali Peggy sampaikan dalam banyak kesempatan dakwah. Peggy menambahkan, jalinan dari taubat dan berbakti kepada orang tua adalah sikap ikhlas. Kemudian, hijrah bukanlan sebuah destinasi, melainkan proses yang berlangsung terus menerus. Banyak orang mengatakan, setelah hijrah itu akan mendapat banyak cobaan. Peggy pun menyetujui. Karena hijrah merupakan sebuah perjalanan. Jadi, jangan mengira, setelah hijrah, maka hidupnya senang, kemudian tidak berbuat apa-apa.


Kini, sosok Peggy Melati Sukma aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah. Ia dikenal sebagai penggagas dan pengelola gerakan Urban Syiar Project yang berfokus pada dakwah, pemberdayaan sosial, dan donasi kemanusiaan. Gerakan ini menjangkau dan menyalurkan bantuan di wilayah-wilayah konflik, seperti Palestina dan Suriah. Ia juga ikut membangun sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Gaza. Sampai sekarang, Peggy masih bergiat dakwah keliling Indonesia. Ia mengisi pelbagai acara pelatihan dan membangun 99 rumah belajar Al-Quran. Selain itu, Peggy juga menulis buku. Salah satu buku karyanya adalah Kujemput Engkau di Sepertiga Malam, yang menjadi best seller.

Peggy bersyukur, lantaran hidupnya kini menapaki proses hijrah dari dunia selebritis menuju ladang dakwah. Ia justru menemukan hidup yang lapang dan tenteram. Sampai saat ini, ia juga sudah mengunjungi 25 negara untuk berdakwah atau menjadi pembicara Muslimah. Ia pernah menjadi Duta Filantropi Dompet Dhuafa, Duta Islamic Book Fair, dan anggota Dewan Kelautan Indonesia. Saat ini, ia merupakan Duta Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).




Kamis, 04 Mei 2017

Willawati, Eksis Di Dunia Perfilman Tanah Air Bersama Kaninga Pictures.


Willawati selalu tertarik dengan dunia film. Dia tak pernah absen meluangkan waktunya untuk menonton film di bioskop setiap pekan. Dari ketertarikan tersebut, Willawati akhirnya ikut terlibat dalam produksi beberapa film nasional. Dia pun ikut memproduksi film pada 2014. Sebuah rumah produksi film mengajaknya bekerja sama untuk menerbitkan sebuah film berjudul Cinta Selamanya. Film itu dibintangi oleh aktor dan aktris kenamaan Indonesia, seperti Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan.

Tawaran kerja sama itu diterima Willawati. Kala itu ia bertindak sebagai eksekutif produser, yang tugasnya antara lain merumuskan konsep film dan menyediakan biaya atau anggaran produksi. Jadi, ia memang terlibat langsung dalam detail produksi sehari-hari. Film Cinta Selamanya berhasil dirilis dan diputar di bioskop-bioskop Tanah Air pada 2015 lalu. Kendati demikian, Willawati mengaku, masih banyak kekurangan yang ia rasakan dalam proses penggarapan dan produksi film tersebut. Berangkat dari pengalaman itu, pada tahun yang sama Willawati mendirikan Kaninga Pictures.


Selain sebagai wadah belajar dan bereksplorasi, pembentukan Kaninga Pictures dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan dalam dirinya sendiri. Dia selalu berintrospeksi apakah akan selalu ada kendala atau pengalaman kurang bagus dalam setiap proses produksi film seperti yang dirasakannya ketika menjadi eksekutif produser Cinta Selamanya. Sejak mendirikan Kaninga Pictures, Willawati selalu berupaya untuk menjalin kerja sama dengan banyak pihak. Ia dibantu oleh sebuah tim kreatif internal Kaninga Pictures. Tugas tim ini adalah menyeleksi dan memilih film apa yang akan diproduksi, melihat peluang pasar, kemudian akan dijual ke mana, dan lain-lain.

Sejak membentuk Kaninga Pictures, anggota Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) ini mengakui, cukup banyak pihak yang mendatanginya untuk mengajak bekerja sama. Mereka datang kemudian menawarkan proyek pembuatan film untuk dieksekusi. Willawati lalu akan mempelajari dulu proyeknya bersama tim internal Kaninga Pictures, lalu nanti akan ada yang diterima dan ada pula yang tidak. Film pertama yang diproduksi Kaninga Pictures adalah Terjebak Nostalgia. Salah satu aktor dan aktris yang berperan dalam film ini adalah penyanyi populer Raisa dan Chicco Jerikho. Film itu rencananya dirilis pada awal Februari  2016. Namun, karena ada suatu masalah, film akhirnya baru dirilis dan tayang pada 1 Desember 2016.


Selain film tersebut, Kaninga Pictures juga telah menggarap dan memproduksi beberapa film lainnya. Antara lain film I'am Hope, Bangkit, Night Bus, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Bid'ah Cinta, dan The Returning. Saat proses produksi, Willawati tetap bertindak sebagai eksekutif produser. Dua di antara film-film itu, yakni Bid'ah Cinta dan The Returning, diproduksi sendiri oleh Kaninga Pictures tanpa bekerja sama atau melibatkan pihak lain. Bid'ah Cinta merupakan film bernuansa Islami yang bercerita tentang adanya perbedaan-perbedaan pandangan dalam Islam dalam menyikapi persoalan bid'ah yang berhubungan dengan kisah percintaan.

Willawati mengungkapkan, pesan yang hendak disampaikannya dalam film itu adalah bahwa perbedaan pandangan dalam hidup pasti akan selalu ada. Tapi, perbedaan ini tidak mesti disikapi dengan emosi, apalagi sampai berseteru dan bertikai. Film Bid'ah Cinta dibintangi oleh beberapa aktor dan aktris Tanah Air, seperti Ayushita, Alex Abbad, dan Ibnu Jamil. Film ini telah dirilis dan diputar serentak di bioskop-bioskop Indonesia pada awal 2017.


Saat ini Willawati juga tengah menjalin kerja sama dengan Studio Ghibli. Studio ini merupakan studio film animasi terbesar asal Jepang. Karya-karya dari Studio Ghibli memang telah mendapat pengakuan dunia. Film animasi mereka yang berjudul Spirited Away, misalnya, mendapatkan cukup banyak penghargaan di festival film internasional, termasuk Piala Oscar. Terjalinnya kerja sama antara Kaninga Pictures dan Studio Ghibli memang terjadi secara tidak sengaja. Willawati mengaku diperkenalkan kepada tokoh-tokoh Studio Ghibli oleh rekan bisnisnya dalam bidang energi listrik di Jepang. Karena rekan bisnisnya itu tahu kalau Willawati punya perusahaan produksi film.

Willawati awalnya tidak mengetahui sama sekali tentang Studio Ghibli. Tetapi, setelah mengulik informasi dan bertanya kepada tim Kaninga Pictures, ia baru menyadari bahwa Studio Ghibli merupakan raksasa dalam produksi film animasi. Bahkan, bisa dibilang Studio Ghibli lebih besar dibandingkan Pixar atau Walt Disney. Dan menurut Willawati, ini kesempatan yang bagus untuk menjalin kerja sama dengan mereka. Setelah berkunjung ke Studio Ghibli di Jepang, Willawati mengatakan kepada mereka pentingnya untuk melakukan transfer ilmu kepada orang-orang yang juga menggeluti bidang produksi film animasi. Khususnya mereka yang berada di Indonesia.


Hasilnya, pada Agustus 2017, Studio Ghibli bekerja sama dengan Kaninga Pictures akan menggelar acara pemutaran film sekaligus pameran di Jakarta. Willawati juga akan mengajak dam melibatkan sejumlah praktisi film dan animator Indonesia. Hal ini agar mereka dapat menyerap ilmu dari tokoh-tokoh Studio Ghibli. Aktivitas Willawati bersama Kaninga Pictures merupakan ikhtiar untuk memperkaya dan memajukan dunia perfilman Tanah Air. Dia menilai, secara kreativitas, film-film Indonesia memiliki potensi untuk bersaing dengan film-film internasional. Kendati demikian, untuk meraih sebuah kualitas dalam bidang perfilman memang tidak mudah. Menurutnya, proses belajar yang tiada henti adalah satu hal yang perlu dilakukan oleh semua elemen perfilman di Indonesia, termasuk dirinya.