Rabu, 08 Februari 2017

Anggita Fathimah Siregar : Mengabdikan Diri Menjadi Pengajar Bagi Masyarakat Muslim Pedalaman Papua.


Sejak 2013, Anggita Fathimah Siregar telah mengabdikan diri sebagai guru di Pondok Pesantren al-Istiqomah, yang berada di distrik Walesi Wamena, Jayawijaya, Papua. Kendati jauh dari ingar bingar perkotaan, Anggita tetap tak surut melangkah. Niatnya untuk mendidik santri-santri Muslim asli Papua sudah bulat. Anggita mengungkapkan, sebelum menginjakkan kaki di bumi Papua, ia memang tidak pernah memberi perhatian khusus terhadap dinamika kehidupan masyarakat di sana. Ia juga tidak mengetahui bahwa terdapat distrik-distrik di Papua yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pada suatu waktu, ketika tengah melakukan perjalanan menggunakan pesawat, Anggita secara tak sengaja membaca majalah yang mengulas tentang aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia, yang notabene berlokasi di dataran tinggi Mimika, Papua. Entah mengapa, hatinya merasa terenyuh ketika membaca artikel tersebut. Ia membayangkan seluruh masyarakat Papua bisa merasakan hasil sumber daya alam yang berada di tanah mereka sendiri. Kalau saja bisa seperti itu, pasti masyarakat Papua, yang menurut sebagian kalangan adalah masyarakat tertinggal, mungkin bisa menjadi provinsi paling maju dan sejahtera kehidupannya dibandingkan provinsi-provinsi Indonesia lainnya.


Setelah momen itu, alumnus Fakultas Manajemen Ekonomi Universitas Bina Nusantara Jakarta tersebut tergugah nuraninya untuk membantu masyarakat Papua, khususnya dalam bidang pendidikan. Sepengetahuannya, masih cukup banyak lembaga pendidikan di sana, bukan hanya fasilitasnya yang kurang memadai, tetapi juga kekurangan tenaga pengajar. Anggita mengaku memang tidak memiliki jaringan pendidikan untuk mengantarkannya ke Papua. Ia juga tidak memanfaatkan lembaga seperti Indonesia Mengajar atau program Sarjana Mendidik di Daerah Terpencil (SM3T) agar membantunya tiba di sana. Dalam situasi demikian, Anggita mencoba memanfaatkan jejaring sosial Youtube. Di Youtube itulah, ia coba mencari komunitas Muslim Papua. Awalnya, Anggita hanya sekedar ingin tahu saja, apakah di sana ada komunitas Muslim atau tidak. Kemudian hasil dari penelusurannya menunjuk pada Pondok Pesantren al-Istiqomah yang berlokasi di distrik Walesi.

Dari Youtube, Anggita juga mengetahui nama pengunggah video Ponpes al-Istiqomah, yakni Mohammad Habibi. Ia pun mencari nama Mohammad Habibi melalui akun Facebook-nya. Ternyata berhasil ditemukan. Setelah menambahkannya sebagai teman, Anggita segera mengirimkan pesan dan mengutarakan niatnya untuk menjadi pengajar di sana. Tak lama, ia segera mendapat balasan, dan diberikan nomor telepon ketua Ponpes al-Istiqomah, yaitu Pak Sumadi. Setelah mendapatkan kontak Sumadi, Anggota kembali mengirimkan pesan singkat dan mengungkapkan keinginannya mengajar di Ponpes al-Istiqomah. Tak lupa, Anggita juga mengatakan, bahwa semua biaya keberangkatan ke sana akan ia tanggung sendiri, kecuali mungkin untuk makan dan tempat tinggal selama di sana. Dan ternyata Pak Sumadi berkenan.


Setelah melalui proses tersebut, akhirnya Anggita sampai di Ponpes al-Istiqomah. Ia kemudian diberi amanah untuk mengajar di madrasah ibtidaiyah yang lokasinya berdekatan dengan kompleks Ponpes al-Istiqomah. Ketika melihat kondisi Ponpes al-Istiqomah, Anggita mengaku cukup senang dan kagum. Selain kondisi ponpes yang cukup layak, di sana juga terdapat masjid yang boleh dibilang terbesar di Wamena, yaitu Masjid al-Aqso. Ketika mulai mengajar di madrasah ibtidaiyah, Anggita menemukan kelemahan sistem dan motivasi siswa dalam belajar. Menurutnya, rata-rata siswa yang bersekolah di sana hanya memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan ijazah. Belakangan, Anggita juga mengetahui bahwa nilai para siswa yang tertera di ijazahnya, juga merupakan bukan nilai murni siswa, tapi telah dibantu oleh pengajar.

Secara pribadi, ia tidak dapat menerima kenyataan demikian. Untuk membangkitkan umat Islam di Papua, khususnya yang berada di Walesi, sistem pendidikan harus lebih dahulu steril dari perbuatan tak jujur. Dalam konteks ini, dia menilai, baik atau buruknya nilai siswa harus sepenuhnya disandarkan pada kemampuan dan kejujuran siswa itu sendiri. Tanpa diintervensi pihak-pihak lain, seperti pengajar. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar, selain memberikan materi-materi akademis, Anggita pun selalu mendidik siswa agar senantiasa menjunjung kejujuran dan kedisiplinan. Ini juga untuk memacu pengajar-pengajar lain agar memiliki metode pembelajaran serupa. Sebab, kejujuran inilah yang sejatinya termasuk ajaran utama dalam Islam. Dengan metode seperti itu, menurutnya, akan lebih mudah memulai proses pembelajaran. Sebab, akan diketahui kelemahan dan kemampuan para siswa di bidang apa saja. Setelah itu, pengajar tinggal mengambil peran yang tepat untuk masing-masing peserta didik.


Selain di al-Istiqomah, Anggita juga terlibat dalam program pendidikan yang digagas oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) untuk daerah Papua. Oleh BSMI, ia diminta untuk mengajar di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di distrik Hitigima, Jayawijaya, yang merupakan salah satu daerah binaan BSMI. Kendati lokasinya cukup jauh dari al-Istiqomah, Anggita tetap melakoni pekerjaannya sebagai guru PAUD di distrik Hitigima. Namun, tak jarang pula ia mendapat ujian untuk sampai di sana. Anggita mengungkapkan, untuk sampai di Hitigima, ia selalu mengendarai sepeda motor milik Ponpes al-Istiqomah. Akses jalan yang masih didominasi tanah merah, kerap membuat ban motornya selip dan terperosok. Semakin dipacu, ban justru semakin terjebak dalam tanah. Tak jarang ia harus meminta pertolongan warga sekitar untuk mengatasi situasi demikian. Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan, Anggita juga pernah dihadang oleh sekelompok pemuda ketika tengah menempuh perjalanan menuju Hitigima. Mereka kerap meminta uang. Dan kalau tidak diberi, ia tidak diizinkan lewat. Namun, Anggita juga mengatakan bahwa ia adalah pendatang yang ingin mengajar dan mendidik masyarakat mereka sendiri. Kata-kata seperti itu, dikatakan Anggita, cukup bisa membuat mereka berpikir dan sadar, kemudian mempersilahkannya melintas.

Kendati mengalami berbagai hal yang kurang menyenangkan, Anggita tidak pernah merasa trauma. Menurutnya, hal itu terjadi karena batinnya telah betul-betul terjalin dengan para murid di PAUD Hitigima. Anggita menyadari pengorbanan besarnya tak bisa dibalas dengan materi dan gaji yang besar. Ia menyadari bahwa sumber dana untuk kegiatan pendidikan di sana masih sangat terbatas. Namun, hal tersebut tidak membuat Anggita tidak total dalam melakoni pekerjaannya sebagai pengajar. Dia bahkan mengaku selalu mencari donatur untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di sana yang masih kekurangan, seperti fasilitas atau sarana. Anggita tidak pernah malu untuk mencari donatur, dimulai dari orang-orang terdekatnya yang memang memiliki materi berlebih. Walaupun demikian, Anggita tetap meminta kepada pemerintah daerah setempat untuk turut andil dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Walesi dan daerah sekitarnya. Tidak hanya menyediakan fasilitas berupa tanah dan bangunan, tapi juga terlibat aktif di lapangan. Jadi, mereka juga bisa tahu bahwa para pengajar itu setengah mati perjuangannya selama di sana. mulai dari dihadang sekelompok pemuda, dipalak, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar